Special Content: Kecelakaan Sriwijaya Air, Momentum Evaluasi Sistem Penerbangan Indonesia

Jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ182 membuat dunia industri penerbangan Indonesia kembali menjadi sorotan.

diperbarui 25 Sep 2021, 00:28 WIB
Diterbitkan 15 Jan 2021, 13:00 WIB
Ilustrasi kecelakaan pesawat (Liputan6.com / Abdillah)
Ilustrasi kecelakaan pesawat (Liputan6.com / Abdillah)

Jakarta - Tragedi kembali menimpa industri penerbangan Indonesia. Pesawat Boeing 737-500 milik Sriwijaya Air dengan nomor penerbangan SJ 182 jatuh di sekitar Pulau Laki dan Pulau Lancang, Kepulauan Seribu pada Sabtu siang WIB (9/1/2021), setelah sebelumnya hilang kontak beberapa menit usai lepas landas.

Pesawat dengan rute Jakarta-Pontianak itu lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang dengan tujuan Bandara Supadio, Pontianak. Sebelum jatuh, pesawat Sriwijaya Air SJ 182 sempat keluar jalur penerbangan, yakni menuju arah barat laut.

Air Traffic Controller (ATC atau petugas pengatur lalu lintas udara) lalu menanyakan pilot tentang arah terbang pesawat. Tapi, hanya dalam hitungan detik, pesawat dilaporkan hilang kontak pukul 14.40 WIB. Pesawat lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, pukul 14.36 WIB. Jadwal tersebut mundur dari jadwal penerbangan sebelumnya 13.35 WIB. Penundaan keberangkatan karena faktor cuaca.

Pesawat itu hilang kontak pada posisi 11 nautical mile di sebelah utara Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, setelah melewati ketinggian 11.000 kaki dan pada saat menambah ketinggian di 13.000 kaki. Terdapat 62 orang dalam pesawat nahas tersebut. Rinciannya, 6 kru aktif plus 56 penumpang yang terdiri dari 46 penumpang dewasa, 7 anak-anak, dan 3 bayi.

 

Hingga Kamis (14/1/2021), proses pencarian puing-puing dan penumpang pesawat Sriwijaya Air SJ 182 masih dilakukan tim gabungan di sekitar Pulau Lancang dan Pulau Laki, Kepulauan Seribu. Tubuh korban meninggal yang ditemukan langsung dibawa ke Rumah Sakit Kramat Jati, Jakarta Timur untuk dilakukan proses identifikasi oleh tim Disaster Victim Identification (DVI) Polri. Sementara itu, potongan besar dan serpihan pesawat Sriwijaya Air SJ 182 diserahkan ke Komite Nasional Keselamatan Transportasi atau KNKT.

Pada Selasa (12/1/2021), kotak hitam pesawat Sriwijaya Air SJ-182 berhasil ditemukan di perairan Kepulauan Seribu sekitar pukul 16.30 WIB. Kotak tersebut lalu dibawa menggunakan Sea Rider oleh beberapa penyelam, di antaranya Kopaska dan Dislambair.

Kotak yang ditemukan berisi flight data recorder telah diserahkan ke Komite Nasional Keselamatan Transportasi atau KNKT. Berikutnya, pencarian Cockpit Voice Recorder (CVR) atau perekam suara kokpit masih dilakukan. Black box atau kotak hitam terdiri dari dua perangkat yakni CVR dan FDR.

Jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ182 membuat dunia industri penerbangan Indonesia kembali menjadi sorotan. Tidak sedikit yang memunculkan pertanyaan tentang standar keamanan dan keselamatan penerbangan komersial tanah air. Apalagi, ini bukan pertama kalinya pesawat komersial Indonesia mengalami kecelakaan hingga menimbulkan korban jiwa yang tidak sedikit.

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, mengungkapkan, Presiden Jokowi meminta ada perbaikan dalam tata kelola di industri penerbangan supaya kejadian seperti Sriwijaya Air tidak terulang lagi.

"Pak Presiden menugaskan kepada kami untuk melakukan suatu improvement, dan proses ini menjadi suatu pelajaran yang mahal tetapi baik, dan diinstruksikan jangan sampai terulang lagi," ucap Budi Karya kepada wartawan, Selasa (12/01/2021).

Terakhir kali peristiwa pesawat komersial jatuh terjadi pada 29 Oktober 2018. Kala itu, pesawat boeing 737 Max milik Lion Air Flight 610 rute Jakarta-Pangkal Pinang jatuh di lepas pantai Karawang, Jawa Barat, 15 menit setelah lepas landas. Sebanyak 189 orang yang terdiri dari 179 penumpang dewasa, 1 penumpang anak, 2 bayi, 2 pilot, dan 5 kru dinyatakan meninggal dunia.

Berdasarkan hasil investigasi saat itu, KNKT menyimpulkan penyebab kecelakaan Lion Air Flight 610 Jakarta-Pangkal Pinang pada 29 Oktober 2020 adalah gabungan antara faktor mekanik, desain pesawat boeing 737 Max, serta kurangnya dokumentasi tentang sistem pesawat.

Selain itu, faktor lain yang berkontribusi adalah kurangnya komunikasi dan kontrol manual antara pilot dan kopilot beserta distraksi dalam kokpit. Boeing 737 Max sempat dilarang terbang, karena beberapa kali jatuh yang disebabkan kendala teknis. Perusahaan Boeing pun terkena sanksi denda Rp 35 triliun karena dianggap menutup-nutupi cacat produksi 737 Max.

Saksikan Video Pilihan di bawah Ini

Perkara Pesawat

FOTO: Keluarga Korban Sriwijaya Air SJ-182 Mulai Mendatangi Crisis Center di Bandara Soetta
(merdeka.com/Imam Buhori)

Pesawat Sriwijaya Air SJ 182 yang jatuh di perairan Kepulauan Seribu bertipe Boeing 737-500. Pesawat itu diketahui telah berusia 26 tahun dan tipe ini sudah tidak lagi diproduksi oleh Boeing, selaku produsen pesawat.

Boeing 737-500 pertama kali diperkenalkan pada 1987 dan terbang perdana 30 Juni 1989 oleh Southwest Airlines. Menurut data Aviation Safety Network, sejauh ini pesawat Boeing 737-500 total mengalami delapan kecelakaan dengan jumlah korban tewas mencapai 220 jiwa. Kendati demikian, di sejumlah negara lain, Boeing 737-500 masih banyak digunakan, baik untuk pesawat penumpang maupun kargo. Pimpinan maskapai Sriwijaya Air sendiri pada Sabtu (9/1/2021) menegaskan, pesawat SJ 182 beroperasi dalam kondisi baik.

Namun, seperti diberitakan Channel News Asia (CNA) melalui artikel berjudul "Sriwijaya Air crash places Indonesia's aviation safety under fresh spotlight", separuh lebih armada Sriwijaya Air ternyata sebelumnya sempat dikandangkan Kementerian Perhubungan karena faktor kelaikan terbang.

Kemenhub melalui Ditjen Perhubungan Udara mengakui, pesawat Sriwijaya Air SJ 182 masuk hanggar pada 23 Maret 2020 dan tidak beroperasi hingga Desember 2020 atau sekitar sembilan bulan. Hal itu diketahui dari hasil pemeriksaan Ditjen Perhubungan Udara terhadap semua pesawat dari seluruh maskapai yang tidak dioperasikan.

Namun, sebelum akhirnya pesawat Sriwijaya Air SJ 182 dapat beroperasi kembali mengangkut penumpang, Kemenhub telah melaksanakan protokol yang dibutuhkan sesuai Perintah Kelaikudaraan (Airworthiness Directive), yang diterbitkan regulator penerbangan sipil di Amerika Serikat (Federal Aviation Administration/FAA) pada 24 Juli 2020.

"Perintah Kelaikudaraan tersebut mewajibkan operator yang mengoperasikan pesawat jenis Boeing 737-300/400/500 dan B737-800/900 untuk melakukan pemeriksaan engine sebelum dapat diterbangkan," terang Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub, Novie Riyanto lewat keterangan resmi Senin (11/1/2021).

Ditjen Perhubungan Udara melaksanakan pemeriksaan guna memastikan Perintah Kelaikudaraan sudah dilakukan pada semua pesawat sebelum dioperasikan kembali oleh maskapai. Untuk Sriwijaya Air SJ 182, inspektur kelaikudaraan Ditjen Perhubungan Udara telah melakukan pemeriksaan korosi pada kompresor tingkat 5 (valve 5 stages engine due corrosion) pada 2 Desember 2020.

Lalu pada 14 Desember 2020, Ditjen Perhubungan Udara juga melaksanakan inspeksi. Pesawat mulai beroperasi kembali tanpa penumpang/No Commercial Flight pada 19 Desember 2020. Baru pada 22 Desember 2020, pesawat beroperasi kembali dengan penumpang/Commercial Flight.

Berdasarkan database Aviation Safety Network pun Sriwijaya Air diketahui memiliki catatan keamanan yang baik. Tercatat, dalam empat insiden sebelumnya yang dialami Sriwijaya Air, tidak ada korban jiwa sama sekali.

Menurut Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), Suryanto Cahyono, usia pesawat tidak terlalu relevan dengan terjadinya kecelakaan. Dia menjelaskan, yang terpenting dari pesawat adalah perawatan berkala sesuai regulasi yang berlaku.

Senada dengan Suryanto, anggota Ombudsman yang juga pengamat penerbangan, Alvin Lie, menyebut usia pesawat tidak ada urusannya dengan keselamatan. Alvin mengambil contoh pesawat Boeing 747 yang dipakai presiden Amerika Serikat, yang usianya sudah puluhan tahun tapi tidak ada masalah.

"Asal perawatannya bagus, bahkan pesawat yang sudah digunakan terbang puluhan ribu jam itu, masih bisa dinolkan lagi jamnya. Mesinnya diganti. Tulang-tulang strukturnya di X-ray lagi kalau ada metal yang rusak atau hairline crack, diganti. Itu pesawat bisa jadi baru lagi, walaupun usianya sudah 30 atau 40 tahun, tapi secara teknisnya itu sudah nol lagi jam terbangnya," terang Alvin Lie ketika dihubungi Liputan6.com.

Periode Buruk Industri Penerbangan Indonesia

Banner Infografis Pesawat Sriwijaya Air Jatuh. (Liputan6.com/Abdillah)
(Liputan6.com/Abdillah)

Terkait jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ 182 di perairan Kepulauan Seribu, Alvin Lie, menekankan setiap pihak untuk tidak berspekulasi soal penyebabnya. Menurut Alvin Lie, sebaiknya kita menunggu hasil penyelidikan KNKT, karena investigasi kecelakaan pesawat membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

"Masalah kejadian kecelakaan Sriwijaya Air, itu kan belum diketahui apa penyebabnya. Jangan kemudian tiba-tiba loncat menyimpulkan bahwa ini karena perawatannya buruk. Ini apanya yang buruk. KNKT saja belum menyelidiki kok sudah menyimpulkan bahwa itu pasti penyebabnya apa, kemudian apa yang harus diperbaiki. Nanti, ibaratnya nanti ada orang keseleo, kita beri obat pusing. Nah, bukan hanya salah, orang yang keseleo itu malah mati karena salah makan obat kan," ketus Alvin Lie.

Pria yang juga mantan pilot ini mengakui, penerbangan komersial Indonesia pernah menjalani masa-masa yang sangat buruk. Alvin Lie menyebut tahun 2000 sampai 2014, dunia penerbangan komersial tanah air buruk sekali. Bahkan, pada 2007 sampai 2016, maskapai Indonesia sempat dilarang masuk Amerika Serikat. Lalu, pada 2007 sampai 2018, Uni Eropa juga pernah menetapkan larangan serupa bagi maskapai Indonesia.

"Waktu itu karena kita dinilai buruk dalam safety. Kita masuk kategori II ICAO (Organisasi Penerbangan Sipil Internasional)," ungkap Alvin Lie.

Alvin membeberkan, ketika periode buruk industri penerbangan Indonesia dari 2000-2014, faktornya kala itu karena regulasinya tidak benar dan regulatornya tidak beres. Selain itu, menurut dia, operator airlines-nya juga tidak disiplin.

"Itu kan kita lihat, pesawat berjatuhan. Tapi sejak tahun 2016, hanya ada kecelakaan satu kali, Air Asia, setelah itu enggak ada lagi, Lion Air yang boeing 737 max itu enggak masuk hitungan karena di luar kendali kita."

"Nah, tahun 2016, pemerintah sudah melakukan banyak perbaikan. Regulasinya diperbaiki, organisasi regulatornya diperbaiki. Kualitas dan kuantitas SDM regulatornya diperbaiki. Infrastrukturnya diperbaiki. Pelayanan navigasinya diperbaiki. Pelayanan manajemen bandaranya diperbaiki. Kemudian, operator airlines-nya diperbaiki. Banyak yang sudah diperbaiki sehingga tahun 2018, Indonesia kembali lagi masuk kategori I ICAO," jelasnya.

Kategori I ICAO artinya negara bersangkutan dinilai mematuhi standar keselamatan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional. Alvin berpendapat, Indonesia sesungguhnya terus melakukan peningkatan keamanan dan keselamatan industri penerbangannya dalam 5 tahun terakhir.

"Bukan hanya sekadar masuk kategori 1, kita ini bahkan masuk nomor 6 atau 8 terbaik safety record-nya di dunia. Coba lihat dari tahun 2016-2017, tidak ada kecelakaan-kecelakaan fatal. Itu sekali terjadi, Lion Air boeing 737 Max tahun 2018. Yang mana bukan kesalahan Indonesia, bukan kesalahan Lion Air. Itu barang (pesawat) cacat sejak pabrik. Bahkan boeing sebagai pembuat pesawat pun dikenakan denda, karena mereka menyembunyikan kelemahan-kelemahan Max itu," tuturnya.

"Kita mengakui kita pernah memasuki masa-masa buruk. Tapi, ketika kita sudah memperbaiki, kita juga harus percaya diri bahwa kita ini sekarang salah satu (penerbangan) terbaiknya dunia."

Membaiknya industri penerbangan di Indonesia juga diamini pakar penerbangan Amerika Serikat Geoffrey Thomas. Dalam wawancaranya dengan AP, pemimpin redaksi AirlineRatings.com ini melihat ada banyak peningkatan di dunia aviasi Indonesia setelah munculnya larangan terbang di Amerika Serikat dan Eropa.

"Kemajuan industri ini meningkat signifikan dan pengawasan menjadi lebih ketat. Kemajuan itu antara lain inspeksi yang semakin intens, regulasi yang lebih kuat, fasilitas dan perawatan yang lebih baik, dan pilot yang semakin terlatih," ujar Geoffrey Thomas kepada AP.

Hal serupa juga disebut Reuters, yang memberitakan sebenarnya catatan keselamatan udara Indonesia mengalami peningkatan selama beberapa tahun terakhir. Salah satunya dengan menerima evaluasi yang baik dari badan penerbangan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 2018.

Pemberitaan media asing soal statistik tingginya angka kecelakaan pesawat di Indonesia dinilai Alvin Lie tidak relevan. Dia heran mengapa banyak media di Indonesia yang mengutip statistik media asing tersebut, padahal hal itu tidak menggambarkan wajah industri penerbangan tanah air saat ini.

"Ada media asing yang menyebutkan, itu Indonesia jumlah kecelakaan pesawatnya tuh terbanyak kedelapan di dunia. Pesan saya, tolong agak cerdas dalam membaca suatu statistik. Angka yang dipublikasikan itu sejak tahun kapan? Sejak tahun 1945, nah kalau ditarik, kita bisa tanya, kenapa diambilnya dari tahun 1945? Pada waktu itu Garuda (Indonesia) pun belum ada," kata Alvin Lie.

"Pemerintah sudah ganti beberapa kali. Tahun 1945 itu bandara ada berapa? Kita ini kan tidak bisa terus disamakan. Kemudian itu statistik kecelakaan pesawat militer juga dicampur dengan kecelakaan pesawat sipil. Itu kan tidak patut. Karena pengaturannya beda, pesawat militer misinya juga beda," bebernya.

Pangkas Jadwal Penerbangan Selama Pandemi COVID-19

Ilustrasi pilot
(iStock)

Seperti maskapai Indonesia lainnya, Sriwijaya Air telah memangkas jadwal penerbangannya selama pandemi COVID-19. Hal ini berimbas pada pemotongan gaji para kru maskapai. Jam terbang bulanan pilot dan ko-pilot juga tergolong rendah selama pandemi ini. Demikian pula dengan kinerja mekanik dan teknisi pesawat yang juga harus lebih diperhatikan.

Seperti dikutip dari Reuters, maskapai-maskapai dianjurkan lebih berhati-hati ketika menghidupkan kembali armada mereka setelah beberapa bulan dikandangkan. Bukan hanya pesawat, sumber daya manusia (SDM) seperti pilot dan ko-pilot, pramugara/pramugari, serta mekanik dan teknisi pun perlu diperhatikan.

Terdapat potensi bahaya usai armada pesawat lama tidak dioperasikan di antaranya; pilot rustiness (menurunnya keterampilan sebab jarang terbang), kesalahan perawatan, dan kemungkinan serangga yang membuat sarang sampai bisa memblokir sensor-sensor utama pesawat.

Berdasarkan data International Air Transport Association (IATA), pada tahun ini terjadi peningkatan pendaratan yang tak mulus di sebuah bandara. Hal ini bisa mengakibatkan pendaratan keras, pendaratan yang keluar jalur landasan pacu (pesawat tergelincir keluar), dan tabrakan.

Tapi, sesungguhnya Indonesia memiliki pilot-pilot berkualitas, yang juga dipakai oleh negara-negara lain. Alvin Lie mengungkapkan bagaimana pilot-pilot Indonesia berstandar internasional.

"Untuk mendapatkan lisensi itu kan ada persyaratannya. Persyaratan pengetahuan teori, praktek, kemudian pilot-pilot, terutama untuk pesawat komersil, setiap 6 bulan harus dicek kesehatannya. Setiap 6 bulan harus diuji simulator," ujarnya.

"Simulator itu adalah bagaimana pilot itu menghadapi kondisi krisis di pesawat, yang terlalu berbahaya kalau itu dilakukan di pesawat beneran. Misalnya, baru take-off mesinnya terbakar, apa yang dilakukan. Kemudian tiba-tiba ada kerusakan ini dan itu, apa yang harus dilakukan. Ini diuji, dan kalau tidak lolos, ya grounded (tidak boleh terbang)," terang pria berusia 59 tahun ini.

Sudah Memenuhi Standar

Sementara itu, keraguan soal aspek keamanan dan keselamatan yang dimiliki industri penerbangan dengan tarif pesawat yang tergolong cukup murah, Alvin Lie mengatakan, semua maskapai di Indonesia sebenarnya sudah memenuhi standar teknis keselamatan.

"Jadi tidak ada yang tidak bagus, tidak ada yang jelek. Semuanya bagus, kalau tidak memenuhi standar keselamatan, izinnya pasti minimal dibekukan. Bahwa kalau maskapai itu masih boleh beroperasi, berarti dari aspek keselamatannya terjamin. Perawatan pesawatnya bagus, teknisinya bagus, pilot-pilotnya juga memenuhi syarat. Itu baru bisa beroperasi," paparnya.

"Nah, kenapa harganya beda? Itu cuma pelayanannya, Fasilitasnya. Makanya ada yang harga tiketnya mahal, oh dapat makannya enak. Bisa termasuk bagasi. Kalau beli yang murah harga tiketnya, tidak termasuk bagasi. Kalau bagasi bayar lagi. Nanti enggak dapat makan, makan bayar lagi. Nanti milih kursi bayar lagi. Jadi hal-hal seperti itu saja yang membedakan," ucap pria kelahiran Semarang, Jawa Tengah ini.

Pekerjaan Rumah Industri Penerbangan

Pesawat Tergelincir dan Jatuh
Ilustrasi pesawat terbang (iStockphoto)

Anggota Komisi V DPR, Suryadi Jaya Purnama, menilai masalah utama dari industri penerbangan di Indonesia adalah aturan yang tidak ditegakkan pemerintah.

"Sebetulnya aturan yang berkaitan dengan penerbangan itu kan bersifat internasional dan sudah sangat detail. Hanya saja di Indonesia faktor pengawasan dan penegakan aturan yang masih lemah," kata Suryadi kepada Liputan6.com.

"Contohnya tahun lalu ketika dua Direktur Sriwijaya Air mengundurkan diri gara-gara mereka merekomendasikan agar beberapa pesawat tidak terbang. Tapi kan itu tidak ditanggapi. Lalu bagaimana respons pemerintah? Pemerintah tidak mendukung, bahkan sampai saat ini Sriwijaya dibiarkan terbang dan beroperasi."

Suryadi menjelaskan, dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang penerbangan, ada kewajiban bagi operator untuk melaporkan aktivitas penerbangan mereka setiap bulan. Tapi, dengan adanya Omnibus Law, ketentuan wajib lapor itu dihapus dan sampai saat ini tidak ada lagi aturan yang mewajibkan.

"Itu juga menjadi penyebab longgarnya aturan, sehingga para operator penerbangan, semakin tidak taat terhadap berbagai aturan yang ada. Aturan yang ketat saja tidak ditaati, apalagi aturannya diperlonggar."

Menurut Suryadi, pemerintah seharusnya tidak boleh kompromi dengan aturan keselamatan dan maintenance pesawat.

"Coba sekarang Sriwijaya hanya punya tiga orang mekanik dan dua orang teknisi. Bagaimana bisa mereka manage 24 pesawat yang dimiliki. Apalagi pesawatnya rata-rata pesawat tua. Jadi, masalah utamanya adalah penegakan aturan dari regulator, dalam hal ini Menteri Perhubungan."

"Contoh terbaru soal protokol kesehatan di pesawat. Lion Air tidak ada jarak penumpang satu dengan yang lain. Kursi terisi full. Berbeda dengan Garuda misalnya, ada selang-seling. Tapi kenapa sanksinya tidak diberikan. Tetap saja mereka boleh terbang dan menjual tiket, harusnya kan dibatasi penjualan tiketnya. Ini contoh aturan ada, tapi penerapannya tidak konsisten," ucap dia.

 

Momentum Evaluasi

Suryadi berharap, kecelakaan yang menimpa Sriwijaya Air bisa jadi momentum untuk evaluasi menyeluruh sistem penerbangan di Indonesia. "Karena secara statistik, kita cukup banyak mengalami kecelakaan pesawat, berbeda dengan beberapa negara lain yang sangat ketat dan disiplin dalam penerapan aturan penerbangan."

Namun, pengamat penerbangan, Gerry Soejatman, dalam akun Twitter pribadinya @GerryS menyarankan pemerintah untuk tidak tergesa-gesa dalam mengambil langkah-langkah reaktif setelah kecelakaan pesawat Sriwijaya Air SJ 182. Gery menilai, hal itu malah bisa memperburuk keselamatan penerbangan Indonesia.

Gerry berpendapat, industri penerbangan Indonesia sudah baik, tapi masih banyak pekerjaan rumah (PR). PR utama Indonesia adalah bagaimana menjaga kemampuan surveillance (pengawasan), monitoring (pemantauan), dan enforcement (penegakan hukum) dalam dunia penerbangan, selagi merelaksasi kebijakan-kebijakan aspek komersil.

"Setelah Pak Budi Karya mengisi posisi Menteri Perhubungan, saya lihat kita kembali ke common sense approach (pendekatan akal sehat) bagi regulasi dan hasilnya tingkat kecelakaan pun cepat turun ke bawah angka rata-rata dunia," tulis Gerry dalam akun Twitter pribadinya.

Ketika terjadi kecelakaan Lion Air JT 610 pada 2018, banyak tekanan dari berbagai pihak, tapi Gerry melihat Indonesia sudah belajar dari pengalaman selama 2015-2016 dengan tidak mengubah peraturan-peraturan, tetapi meningkatkan kemampuan pengawasan dan pemantauan. Hasilnya, angka kecelakaan pesawat di Indonesia terus turun hingga hanya setengah dari angka rata-rata dunia pada 2019.

"Relaksasi pasal-pasal aspek komersil di UU no.1/2009 tentang penerbangan dilakukan pada UU Cipta Kerja yang cukup kontroversial aspek non-penerbangannya. Namun, perubahan-perubahan untuk penerbangan tersebut sudah sangat diperlukan, guna meningkatkan kompetisi dan competitiveness maskapai-maskapai Indonesia," kata pria lulusan University of Technology Sydney ini.

"Apakah penerbangan Indonesia sudah baik? Sudah, namun PR masih banyak dan kita tidak boleh lengah! Kemampuan surveillance/monitoring Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (Ditjen Hubud) Kementerian Perhubungan Republik Indonesia harus terus ditingkatkan, dan peraturan-peraturan harus terus beradaptasi dengan perkembangan pasar dan dunia."

 

INFOGRAFIS

INFOGRAFIS: Deretan Kecelakaan Pesawat di Indonesia dalam 5 Tahun Terakhir (Liputan6.com / Abdillah)
INFOGRAFIS: Deretan Kecelakaan Pesawat di Indonesia dalam 5 Tahun Terakhir (Liputan6.com / Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya