15 Januari 1974: Peristiwa Malari, Aksi dan Rusuh Mahasiswa Sambut PM Jepang di Jakarta

Malapetaka 15 Januari 1974 atau dikenal dengan Malari 1974, merupakan peristiwa demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan sosial yang terjadi usai kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka ke Indonesia.

oleh Nanda Perdana Putra diperbarui 15 Jan 2021, 11:26 WIB
Diterbitkan 15 Jan 2021, 11:26 WIB
malari-jendral-140112c.jpg
Peristiwa Malari

Liputan6.com, Jakarta Malapetaka 15 Januari 1974 atau dikenal dengan Malari 1974, merupakan peristiwa demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan sosial yang terjadi usai kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka ke Indonesia.

Tanaka naik Pesawat Super DC-8 JAL yang mendarat di Bandara Halim Perdanakusuma, pukul 19.45. Tanpa upacara militer dan sambutan kenegaraan, hanya ada kalungan bunga.

Presiden Soeharto pun menemui Tanaka dan rombongannya di Istana Negara, 15 Januari 1974. Sementara ribuan mahasiswa dan pelajar SMA turun ke jalan menentang kedatangan Tanaka.

Tanaka dianggap sebagai simbol modal asing yang mesti dilawan. Long march dari Kampus Universitas Indonesia Salemba menuju Univeritas Trisakti di Grogol itu mengusung tiga tuntutan yakni pemberantasan korupsi, perubahan kebijakan ekonomi mengenai modal asing, dan pembubaran lembaga Asisten Pribadi Presiden.

Berdasarkan Majalah Tempo: Lari Dari Malari edisi 4 Februari 2008, aksi ini berujung kerusuhan. Menurut Hariman Siregar, ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (DM UI) sekaligus pimpinan aksi massa, unjuk rasa mahasiswa usai pukul 14.30 WIB.

"Sedangkan kerusuhan terjadi satu jam kemudian," katanya.

Massa yang mengaku dari kalangan buruh pada akhirnya menyerbu Pasar Senen, Blok M, dan kawasan Glodok. Mereka menjarah serta membakar mobil buatan Jepang dan toko-toko.

Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Jenderal Soemitro sebelumnya sempat menghadang massa di Sarinah, Jakarta Pusat. Dia berniat mengalihkan massa agar tidak mengarah ke Istana Presiden.

"Ayo, ikut saya, kita jalan sama-sama ke Kebayoran!," teriaknya. "Maksud saya, mau membuat tujuan mereka menyimpang, supaya jangan sampai ke arah Monas."

Dalam buku Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 (1996), orasi itu berhasil. Massa berangsur bubar dan kecemasan demonstran akan memasuki Monas pun hilang.

Dialog Jalanan Mahasiswa

Kepada Tempo, Soemitro mengaku menawarkan dialog antara Dewan Mahasiswa (DM) UI dengan Tanaka. Si Perdana Menteri Jepang sudah bersedia. Namun DM UI menjawab "dialog diganti dengan dialog jalanan."

Dalam buku Bang Ali, Demi Jakarta 1966-1977 (1995), pada 16 Januari 1974 demonstrasi belum juga mereda. Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin alias Bang Ali yang resah memutuskan pergi ke kampus UI Salemba.

"Saya masuk dari belakang, dari rumah sakit," ujar Bang Ali.

Kabar Bang Ali ada di UI pun sampai ke telinga Soemitro. Dia kemudian meminta Bang Ali meneruskan dialog ke mahasiswa dan berpesan, "Katakan kepada mahasiswa bahwa persoalan sudah selesai, usahakan supaya aksi mahasiswa mereda."

Malamnya, Bang Ali mengajak Hariman ke TVRI. Dalam siaran itu, Hariman mengumumkan bahwa permasalahan sudah selesai. Imbauan Hariman akhirnya mampu meredam aksi mahasiswa.

Hanya saja, pada akhirnya kerusuhan sudah terjadi. Tercatat 807 mobil dan motor buatan Jepang dibakar, 11 orang meninggal dunia, 300 luka-luka, 144 buah bangunan rusak berat, 160 kilogram emas hilang dari toko-toko perhiasan.

Atas kerawanan situasi kala itu, Soeharto bahkan mesti mengantar Tanaka menggunakan helikopter menuju Bandara Halim Perdanakusuma, sebelum kembali ke negaranya.

Hariman Siregar kemudian diseret ke pengadilan dengan tuduhan melakukan tindakan subversi. Empat bulan sidang, vonis enam tahun penjara pun diketok. Selama dibui, ayahnya meninggal, istri sakit, dan anak kembarnya meninggal.

"Saya dianggap merongrong kewibawaan negara," kata Hariman.

Sejarawan Asvi Warman Adam mengatakan dalam sebuah artikelnya, peristiwa Malari mengubah perjalanan Indonesia. Soeharto melakukan represi secara sistematis.

Aparat menangkap total 750 orang, di antaranya pemimpin mahasiswa dan cendekiawan seperti Hariman Siregar, Sjahrir, Yap Thiam Hien, Mohtar Lubis, Rahman Tolleng, dan Aini Chalid.

"Bayangkan, tanggal 11 Januari masih dipeluk-peluk Soeharto, tanggal 17 gue ditangkap," kenang Hariman.

Pada 11 Januari, Soeharto memang menerima Hariman bersama tokoh mahasiswa lain di Bina Graha. Dia bermaksud meredam aksi mahasiswa. Sjahrir, yang ikut ditahan setelah peristiwa tersebut, menilai Malari adalah bentuk konsolidasi kekuatan Soeharto.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Malari Masih Misteri

Mereka yang ditahan dikenakan Undang-Undang Antisubversi. Sebagian dibebaskan setahun setelah dipenjara sebab terbukti tidak terlihat.

Hingga kini persoalan kerusuhan itu tidak pernah terungkap. Sjahrir mengatakan, pengadilan tidak mampu membuktikan mahasiswa ada di balik aksi pembakaran mobil dan penjarahan itu.

Tidak heran jika muncul dugaan bahwa malapetaka 15 Januari adalah imbas rivalitas Jenderal Soemitro dan Ali Moertopo yang merupakan asisten pribadi Presiden dan Kepala Operasi Khusus waktu itu.

Soemitro dituding memiliki ambisi kekuasaan seperti disebut dalam Dokumen Ramadi. Menurut Asvi Warman, Ramadi saat itu dikenal dekat dengan Ali Moertopo.

Almarhum Soemitro mengaku pernah bertanya ke Ali Moertopo soal isu rivalitas itu, jauh sebelum Malari meletus.

"Li, suara di luar mengatakan kamu rival saya. Itu tidak bisa, saya ini masih militer, tak punya tujuan politik. Kamu bintang dua, saya bintang empat. Kamu Deputi Bakin, saya Pangkopkamtib dan Wapangab. Jarak kita terlalu jauh untuk jadi rival. Tapi, kalau kamu mau jadi presiden, itu hakmu." Ali Moertopo langsung membantah, "O, tidak. Tidak ada pikiran seperti itu," sebut Soemitro mengutip Ali.

Dikutip dari Majalah Tempo: Penumpang Gelap Malari edisi 14 Oktober 2013, setelah peristiwa Malari ini Soeharto punya seribu alasan melakukan penangkapan. Anehnya, mereka yang ditangkap tidak harus terkait dengan peristiwa Malari.

Sosok yang selalu melemparkan protes kepada pemerintah sejak 1970 hingga 1974 juga disikat. Mulai dari kelompok Partai Sosialis Indonesia dan pendukung Sukarno, hingga pendukung Soeharto pada 1966.

Proses tangkap menangkap itu pun terpecah antara kubu Soemitro dan Ali. Untuk kepentingan pemeriksaan, tahanan Malari dibagi jadi tiga kelompok dengan kode berbeda.

Mahasiswa dan sosialis masuk ke Grup Kelinci, kelompok Sukarnois ke dalam Grup Geladak, dan kelompok Islam dimasukkan ke Grup Kembang Sepatu.

"Saya lihat dan bertemu dengan mereka. Alasan penangkapannya aneh-aneh," ujar Hariman.

Di tubuh militer, Soemitro menjadi korban dengan dicopotnya dari jabatan Panglima Kopkamtib. Mayor Jenderal Sutopo Juwono, Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) juga lengser.

Kedua jenderal itu disebut-sebut satu kubu melawan Ali. Soetopo kemudian dijadikan duta besar di Belanda, sementara Soemitro menolak tawaran sebagai duta besar di Amerika Serikat.

Untuk kubu Ali, Soeharto hanya membubarkan institusi asisten pribadi. Ali malah naik pangkat menjadi letnan jenderal dan diberi jabatan Wakil Kepala Bakin. Gelombang protes pun berhenti.

Peristiwa Malari dinilai sukses dimanfaatkan untuk melibas kelompok yang berpotensi merongrong kekuasaan. Sementara misteri masih menyelimuti Malapetaka 15 Januari dan Hariman hanya bisa berharap agar pemerintah segera mengungkap kejadian itu.

 

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya