Liputan6.com, Jakarta - Imlek leluasa dirayakan di Tanah Air sejak era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dan Megawati Soekarnoputri. Perayaan Imlek merupakan wujud ikhtiar memperkuat kesadaran keindonesiaan yang menjunjung tinggi keberagaman, serta merayakan kebinekaan Indonesia untuk mencapai cita-cita bangsa.
"Presiden Abdurrahman Wahid atau akrab kita sapa Gus Dur mencabut larangan perayaan Imlek secara terbuka sebagaimana diatur dalam Inpres No 14/1967. Saat itu, Presiden Gus Dur melalui Kepres No 6/2000 mencabut inpres No 14/1967. Sementara Presiden Megawati Soekarnoputri menerbitkan Kepres No 19/2002 yang menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional," papar sejarawan Bonnie Triyana di Jakarta, Jumat (12/2/2021).
Baca Juga
Hal tersebut diungkapkan Bonnie saat menjadi narasumber dalam perayaan Imlek 2021 di DPP PDI Perjuangan dengan tajuk Imlekan Bareng Banteng.
Advertisement
Bonnie menjelaskan, pada 1 Juni 1945, Bung Karno menyatakan secara tegas dalam pidatonya bahwa nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme modern yang melampui sekat-sekat sempit identitas keagamaan, ras dan etnisitas.
"Menurut Bung Karno, Indonesia adalah negeri untuk semua golongan yang dipersatukan oleh rasa senasib sepenanggungan dalam menghadapi kolonialisme dan berbagai jenis penindasan oleh manusia terhadap manusia lain dan oleh sebuah bangsa terhadap bangsa lainnya," jelas Bonnie terkait perayaan Hari Imlek .
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Kebijakan Rasialis Kolonial Belanda
Kesadaran kebangsaan tumbuh semakin kuat, lanjut dia, sejak Ikrar Pemuda digaungkan pada 28 Oktober 1928. Ikrar ini memperkokoh kesadaran kebangsaan yang telah dirintis sejak awal abad ke-20.
Salah satunya menentang kebijakan rasialis kolonial Belanda.
"Kesadaran sebagai bangsa yang setara dengan bangsa lainnya itu merupakan sikap tegas menentang kebijakan rasialis pemerintah kolonial Belanda melalui Regeerings Reglement 1854 yang membagi masyarakat Hindia Belanda ke dalam segregasi rasial yakni: pertama, Golongan Eropa, kedua Timur Asing (Cina, Arab, India) dan ketiga Inlanders (bumiputera)," papar Bonnie.
Ikrar Pemuda 1928 menjadi tonggak historis penting wujud menguatnya kesadaran Keindonesiaan sebagai antitesis dari kesadaran pra-Indonesia yang masih terbelenggu diskriminatif dan rasialistis.
"Dengan demikian, politik identitas yang kerapkali dimainkan hingga hari ini merupakan wujud kesadaran pra-keindonesiaan yang sarat bernuansa kolonial dan tak sesuai dengan jiwa kemerdekaan," pungkas Bonnie.
Advertisement