HEADLINE: Banjir Kerap Berulang di Jakarta dan Daerah Sekitar, Bukti Koordinasi Tak Berjalan?

Wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya dikepung banjir parah pada Sabtu 20 Februari 2021 lalu. Mengapa ini hampir terjadi saban tahun,di mana titik pangkal masalahnya?

oleh Muhammad AliAdy AnugrahadiYopi Makdori diperbarui 23 Feb 2021, 00:01 WIB
Diterbitkan 23 Feb 2021, 00:01 WIB
FOTO: Banjir Jakarta, Jalan Kemang Raya Tertutup Air
Petugas menggunakan perahu karet mengevakuasi beberapa warga yang terjebak banjir di kawasan Jalan Kemang Raya, Jakarta, Sabtu (20/2/2021). Hujan yang mengguyur Jakarta sejak Jumat (19/2) membuat sejumlah titik di Jakarta terendam banjir. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Hujan yang mengguyur sejak Jumat malam hingga Sabtu pagi, 19-20 Februari 2021 lalu membuat wilayah Jakarta dan sekitarnya terkepung banjir. Ketinggian air di masing-masing daerah bervariasi, antara 50 centimeter hingga mencapai 1,5 meter.

Banyak mereka yang korban banjir, membawa barang semampunya untuk kemudian mengungsi ke tempat lebih aman. Namun tak sedikit juga yang terperangkap dalam rumah. Mereka terjebak setelah air bah terus meninggi hingga akhirnya tim SAR menjemput untuk mengevakuasinya.

Pengamat Tata Kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga menilai curah hujan tinggi di hulu Puncak Bogor menjadi faktor banjir di Ibu Kota dan sekitarnya. Selain itu juga belum maksimalnya pembenahan sungai-sungai yang melintasi Jakarta.

"Kondisi itu memaksa bahwa pembenahan sungai dengan pembebasan lahan salah satu opsi harus diambil. Karena kalau lihat kemarin, kapasitas daya tampung sudah tidak memadai. Jadi sungai harus dilebarkan dulu kemudian kerja sama dengan pemerintah pusat untuk menata bantaran kali," kata dia saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Senin (22/2/2021).

Namun tugas membebaskan dan melebarkan sungai berada di pemerintah daerah. Karena di tempat itu ada warga DKI yang tinggal di bantaran sungai. "Itu yang harus dipahami pembagian tugasnya jelas. Baru kemudian kita bisa bicara tentang pelebaran dan pengerukan untuk memperdalam kapasitas," ucap dia.

Nirwono memaparkan, yang tidak kalah penting dalam penanggulangan banjir ialah memperbaiki atau merevitalisasi 109 setu atau danau dan waduk. Dengan begitu, air hujan dapat ditampung di tempat-tempat itu yang kemudian dialirkan ke sungai terdekat.

"Jadi jangan semuanya langsung dituangkan ke sungai. Seperti yang dilakukan di Taman Waduk Pluit itu. Setu, waduk, dikeruk, diperlebar. Bersih dari sampah itu meningkatkan kapasitas," ujar dia.

Mobil menerjang banjir yang menggenangi Jalan Tol JORR di kawasan TB Simatupang, Jakarta Selatan, Sabtu (20/2/2021). Banjir terjadi akibat luapan Kali Serua yang berada di pinggir jalan tol. (merdeka.com/Arie Basuki)

Selanjutnya untuk banjir lokal, menurut dia, harus ada pelebaran saluran air di jalur-jalur tersebut. Saluran air saat ini hanya mampu menampung 100 milimeter per hari. Sehingga air akan meluber bila curah hujan melebihi angka tersebut. Nirwono menyarakan, kapasitas saluran air harus ditingkatkan minimal dua atau tiga kali lipat.

"Umpamanya 1,5 meter, maka untuk jalan-jalan utama seperti Jalan Sudirman-Thamrin, Gatot Subroto, MT Haryono, itu mungkin dengan luas jalan yang lebar dan trotoar yang lebar berarti salurannya harus 5 meter misalnya. Karena hitungan tiga kali lipat. Jadi tidak bisa seperti sekarang yang hanya 1,5 meter. Jadi pengerjaan saluran drainase menurut saya juga harus dilakukan kalau kita ingin hidari banjir lokalnya," terang dia.

Nirwono menilai koordinasi antara pusat dengan daerah tidak berjalan maksimal. Ia menyontohkan Ciliwung, secara teknis kewenangannya berada di pemerintah pusat, tetapi kiri-kanannya melipir ke pemerintah daerah. Artinya, kata dia, kalau banjir kemarin luapan Ciliwung, Sunter, Pesanggerahan, Grogol, sungainya harus dibenahi, kiri kanan harus dilebarkan.

"Nah program pembenahan sungai berhenti sejak tahun 2017. 3,5 tahun kemudian karena perbedaan konsep pendekatan artinya mengorbankan sungai yang dibenahi. Ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah dan pusat tidak hamonis," kata dia.

 

Banjir Setinggi 30 centimeter Menggenangi Terminal Kampung Rambutan, Jakarta Timur pada Rabu (1/1/2020). (Foto: Nanda Perdana Putra/Liputan6.com)

Jadi menurutnya, musibah banjir kemarin harusnya membuat pemerintah DKI legowo untuk mau melanjutkan program yang sudah diinisiasi pemerintah pusat. Pemerintah pusat juga harus memberikan gateman chek karena yang dikorbankan tidak hanya pemukiman di bantaran kali, tapi juga warga DKI dan Jabodetabek secara keseluruhan.

"Semuanya orang yang enggak kena banjir tapi kalau lingkungannya banjir engak bisa ke mana-mana. Artinya kotanya juga lumpuh. Jadi ini yang harus dilakukan oleh pemerintah pusat untuk menegur bahkan kalau tidak ada perubahan, berhak dilakukan intervensi untuk melakukan pembenahan minimal sungainya dulu, setu, danau, waduk bisa dilakukan pemerintah pusat," ujar dia.

Nirwono mengungkapkan badan koordinasi untuk pemerintah daerah se-Jabodetabek sebenarnya sudah ada. Namun itu tidak berjalan lantaran hanya terbatas koordinasi tanpa adanya sanksi bagi mereka yang enggan membenahi bantaran kali.

"Sementara Jakarta mau, kemudian Depok dan Tangerang, mau apa (enggak)? Kalau sungai enggak bisa per wilayah, semuanya sama. Tapi kalau nanti umpamanya Jakarta melakukan pembenahan bantaran sungai tapi Depok Bogor tidak mau melakukan, juga percuma. Apakah pemerintah pusat berani menegur Depok dan Bogor untuk melakukan hal yang sama. Di sinilah perlunya intervensi pemerintah pusat," terang dia.

Intinya, kata dia, harus ada kekuatan yang mampu memaksa seluruh kota dan kabupaten untuk mau melakukan kesepakatan. Kalau datang rapat kordinasi, ucap Nirwono, biasanya pulang dengan jalan masing masing.

"Harus ada instrumen dan memaksa kesepakatan yang diambil pemerintah Jabodetabek, juga harus dilakukan bersama-sama. Ini yang menurut saya harus dipikirkan bentuk penegasannya tadi itu, sanksinya paling tidak," ujar dia.

Dia menjelaskan salah satu contoh paling mudah penyebab banjir adalah adalah alih fungsi lahan di puncak Bogor. Dengan begitu, Pemerintah Kabupaten Bogor wajib menghentikan izin pembangunan serta menghijaukan kawasan di puncak.

"Tetapi secara teknis kalau dibiarkan, yang dirugikan Jakarta, tapi kalau dihijaukan Jakarta untung. Tetapi bagi Bogor enggak menguntungkan, karena secara teknis jadi tempat PAD (Pendapatan Asli Daerah) dia kalau ada tempat wisata. Nah itu istrumen dari pusat. Misalnya berikan jatah ekologis jadi diberi hibah kepada Kabupaten Bogor untuk melakukan itu," terang dia.

Infografis Jakarta Kembali Dikepung Banjir. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Jakarta Kembali Dikepung Banjir. (Liputan6.com/Abdillah)

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Siapa Bertanggung Jawab Banjir Jakarta?

Pengamat Kebijakan Publik Universitas Indonesia, Bambang Istianto menilai sebenarnya soal banjir Jakarta tak bisa dilepaskan dalam kaitannya dengan variabel lingkungan. Jakarta, kata dia, hanya hilirnya air yang jika tidak dibenahi hulunya, persoalan banjir akan terus terulang.

"Kan memang dari dulu juga enggak pernah selesai. Sekarang sejauh mana hilirnya itu dibenahi, jika air mengalir ke Jakarta itu seberapa jauh gubernur itu melakukan aktivitas untuk mengambil kebijakan-kebijakan di hilir ini mengurangi potensi banjir, misalnya bagaimana saluran air itu tersier, sekunder itu dibenahi," ujar dia saat dihubungi Liputan6.com, Senin (22/2/2021).

Dia menilai, persoalan banjir merupakan tanggung jawab pemerintah Provinsi Jawa Barat. Pemprov Jabar dianggapnya memiliki kewenangan untuk mengamankan reboisasi yang di situ bercokol PTP yang bagaimana melakukan peremajaan hutan.

"Hutan itu kan menahan air. Nah ketika hutan itu diperuntukan tidak semestinya, ya otomatis air ke bawah semua. Jangankan Jakarta, wong di situ sendiri juga kena banjir bandang," ucap dia.

"Dari dulu pandangan saya bahwa ya hulu itu harus dibenahi, Bogor, Cianjur. Itu kan wilayah Jabar ya sudah parah rusaknya hutan-hutan lindung di sana," imbuh Bambang.

Ia menegaskan perlu adanya turun tangan dari pusat untuk menahan eksploitasi di hulu Puncak, Bogor. Sebab yang bermain di sana bukan tingkat rakyat kecil lagi, namun sudah pada tingkat korporasi.

"Persoalannya kan bukan soal yang melanggar ekosistem itu rakyat biasa, kalau rakyat biasa kan cukup saja kepala daerah. tapi ketika korporasi, siapa yang bisa melawan? Itu persoalannya, ini persoalan politik. Saya kira (Presiden Jokowi) mengambil keputusan untuk bagaimana korporasi-korporasi yang selama ini bermain di hulu untuk berbagai kepentingan, kapan bisa mereboisasi hutan-hutan," ucap dia.

"Tanpa itu, susah kalau hanya DKI. Ini kan hanya limpahan banjir, ya kena getahnya," tegasnya lagi.

Bambang menyoroti bendungan Ciawi dan Sukamahi yang menjadi salah satu solusi dalam pengendalian banjir (flood control) Jakarta. Menurutnya, fasilitas ini harus dirawat agar nantinya dapat tetap berfungsi dengan baik.

Pembangunan Bendungan Sukamahi dan Ciawi di Kabupaten Bogor ini merupakan upaya pemerintah dalam mengurangi kerentanan kawasan Ibu Kota Jakarta dari bencana banjir. Pembangunan dilakukan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Ciliwung-Cisadane.

Kepala BBWS Ciliwung Cisadane Bambang Heri Mulyono, saat dimintai konfirmasi terkait perkembangan bendungan ini tidak memberikan tanggapan. Sambungan telepon Liputan6.com tidak dijawab dan pesan melalui WhatsApp pun hanya contreng biru tanpa ada balasan.

Namun begitu, dikutip dari pu.go.id, yang tayang pada Senin 7 Desember 2020 lalu disebutkan pembangunan bendungan ini merupakan bagian dari rencana induk pengendalian banjir (flood control) Jakarta, sesuai kontrak kerja akan rampung tahun 2021.

Menteri PUPR Basuki Hadimuljono mengatakan, sebagai bendungan kering maka pengoperasian bendungan ini akan berbeda dengan bendungan lain. Kedua bendungan ini baru akan digenangi air pada musim hujan. Sementara pada musim kemarau bendungan ini kering.

Bendungan Kering di Ciawi dan Sukamahi merupakan yang pertama kalinya dibangun di Indonesia. Kedua bendungan ini bukan untuk keperluan irigasi atau air baku, namun untuk meningkatkan kapasitas pengendalian banjir.

Pembangunan Bendungan Sukamahi yang sudah direncanakan sejak tahun 1990-an mulai dibangun tahun 2017 dan progresnya sudah mencapai 60 persen. Sedangkan progres lahan yang sudah bebas telah mencapai 40,86 hektare atau 92,67 persen dari kebutuhan 46,7 hektare.

Pekerjaan berjalan kini meliputi galian tubuh bendungan, grouting tubuh bendungan, bangunan pelimpah (clearing dan pengecoran), pekerjaan hidromekanikal, pembangunan fasilitas umum (gardu pandang, masjid, gudang, landscaping), dan clearing area lahan.

Kontrak pembangunan Bendungan Sukamahi senilai Rp 447,39 miliar ditandatangani pada 20 Desember 2016 dengan kontraktor PT. Wijaya Karya-Basuki KSO. Bendungan Sukamahi memiliki daya tampung 1,68 juta meter kubik dan luas area genangan 5,23 hektare.

Sementara progres konstruksi Bendungan Ciawi saat ini sudah sebesar 73 persen. Progres konstruksi bendungan ini lebih cepat dari rencana sebesar 71,5 persen. Kontrak pekerjaan Bendungan Ciawi ditandatangani pada 23 November 2016 dengan kontraktor pelaksana PT. Brantas Abipraya dan PT. Sacna. Pembangunannya telah mulai pada 2 Desember 2016.

Pengadaan lahan kedua bendungan dilakukan dengan skema dana talangan, kontraktor membiayai terlebih dahulu dan nantinya akan dibayarkan melalui Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN).

Bendungan Ciawi direncanakan memiliki volume tampung 6,05 juta meter kubik dan luas genangan 39,40 hektare dengan biaya pembangunan sebesar Rp 798,7 miliar. Bendungan ini didesain untuk mengurangi debit banjir yang masuk ke Jakarta dengan menahan aliran air dari Gunung Gede dan Gunung Pangrango sebelum sampai ke Bendung Katulampa yang kemudian mengalir ke Sungai Ciliwung. Rampungnya pembangunan Bendungan Ciawi akan mereduksi banjir sebesar 111,75 meter kubik per detik.

Dari penelusuran debit banjir kala ulang 50 tahun, dengan dibangunnya Bendungan Ciawi dan Bendungan Sukamahi mengurangi debit banjir di Pintu Air Manggarai sebesar 577,05 meter kubik per detik. Bila dikurangi dengan debit Sungai Ciliwung yang nantinya dialirkan Kanal Banjir Timur melalui Sodetan Ciliwung sebesar 60 meter kubik per detik maka debit di Pintu Air Manggarai sebesar 517,05 meter kubik per detik.

Di samping pembangunan infrastruktur fisik, Kementerian PUPR juga memiliki sistem peringatan dini banjir telemetri yang mencatat tinggi muka air di beberapa pintu air dan pos pengamatan seperti Pos Katulampa, Pintu Air Depok, dan Pintu Air Manggarai. Selain itu juga telah diatur tingkat siaga dan kewenangan buka tutup pintu air.

Kementerian PUPR melalui BBWSCC setiap jamnya melakukan pembaharuan informasi Tinggi Muka Air (TMA) sungai di pintu air/pos pengamatan, cuaca di lokasi dan kategori statusnya, tidak hanya di Sungai Ciliwung tetapi juga sungai-sungai lainnya di area Jabodetabek.

Kondisi Terkini DKI dan Penyangga

Setelah banjir mengepung wilayah Jakarta sejak Sabtu dinihari, 20 Febuari 2021 lalu, warga kini sudah mulai bernapas lega. Air yang merendam pemukiman maupun tempat lainnya itu telah pergi tanpa sisa. Warga sekarang ini pun sibuk membersihkan perabotan-perabotan rumah tangga maupun lingkungan dari lumpur serta sampah sisa banjir.

Di RW 01, Kelurahan Rawa Buaya, Jakarta Barat, misalnya, banjir dengan ketinggian 1,5 meter yang merendam wilayah itu kini sudah menyusut total. Penanganan banjir di wilayah itu dinilai cukup cepat berkat kesigapan aparatur Pemprov DKI Jakarta.

"Penanganan tahun ini luar biasa pemerintah sigap dengan bapak gubernur, wali kota dan ASN lainnya luar biasa, yang tadinya Rawa Buaya itu keringnya antara empat hingga lima hari, sekarang 1X24 jam kering," ucap Ketua RW 01, Barat Arif Sahri, Senin (22/2/2021).

"Alhamdullah Rawa Buaya nol, nihil, tidak ada air," tegasnya lagi.

Bukan cuma di Rawa Buaya, Jakarta Barat, wilayah Jatipadang, Jakarta Selatan juga kini sudah tidak banjir. Lokasi yang tadinya terendam air setinggi 1,5 meter saat ini tinggal menyisakan sampah yang menumpuk di tengah-tengah aliran sungai.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memastikan banjir yang merendam wilayah Ibu Kota sudah surut seratus persen. Dia menegaskan kondisi Jakarta pada Senin (22/2/2021) sudah normal kembali.

"Senin dini hari jam 3 pagi tadi, dipastikan 100 persen sudah surut. Jadi alhamdulillah Senin pagi seluruh kegiatan perekonomian kegiatan pemerintahan bisa berlangsung tanpa ada gangguan sedikit pun akibat curah hujan ekstrem pada Sabtu yang lalu," kata Anies, di Balai Kota Jakarta, Senin (22/2/2021).

Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu menuturkan, kondisi tersebut merupakan upaya positif yang dilakukan Pemprov DKI bersama seluruh jajaran terkait dalam penanganan banjir Jakarta 2021. Sebab, kata dia, dengan curah hujan ekstrem, banjir di Jakarta telah surut dalam kurun 24 jam.

Anies menyampaikan, curah hujan di Jakarta pada Jumat-Sabtu kemarin mencapai 226 mm per hari. Angka ini melebihi curah hujan di kota-kota penyangga Jakarta, seperti Bekasi, Tangerang, dan Bogor sebesar 150 mm lebih per hari.

Dia menyebut berdasarkan data dari BMKG sejumlah wilayah kawasan pesisir utara Pulau Jawa berisiko mengalami curah hujan ekstrem. Pemprov DKI akan terus meningkatkan kinerja terkait kewaspadaan curah hujan yang tinggi di kawasan Jabodetabek. Hal tersebut guna mengantisipasi dampak yang ada.

"Insya Allah di pekan-pekan ke depan kita akan tingkatkan kinerjanya sehingga curah hujan yang turun di kawasan Jabodetabek khususnya Jakarta bisa menjadi rahmat dan kita kurangi sesedikit mungkin dampaknya," jelasnya.

Sedangkan Pelaksana tugas (Plt) Kepala Pelaksana BPBD DKI Jakarta, Sabdo Kurnianto mengungkapkan, modifikasi cuaca saat ini sudah dilakukan. Hal ini untuk redistribusi curah hujan yang berpotensi banjir di wilayah Jabodetabek.  

"Sejak kemarin sudah dilakukan teknologi modifikasi cuaca oleh BNPB dengan BPPT dengan TNI AU sedang dilakukan modifikasi cuaca," kata dia saat dihubungi Liputan6.com, Senin (22/2/2021).

Dia menegaskan, Pemprov DKI tetap siaga menghadapi ancaman bencana banjir. Semua pihak dilibatkan dalam penanganan tersebut. "Kolaborasi dengan masyakarat,TNI-Polri," ucap dia.  

Wilayah  yang banjirnya sudah surut juga terjadi di kota penyangga DKI, Tangerang. Setelah sempat terputus karena terendam banjir, akses Jalan raya KH Hasyim Ashari yang menghubungkan Kota Tangerang menuju DKI Jakarta, sudah bisa dilewati.

Genangan banjir hanya terdapat di tepi jalan yang berbatasan dengan Kali Angke. Padahal kemarin, jalan raya itu terendam hingga sepinggang orang dewasa.

"Alhamdulillah jalan ini sudah bisa lewati, banjir akibat luapan Kali Angke juga mulai surut perlahan. Kita pantau terus kondisi di dalam pemukiman," tutur Wali Kota Tangerang, Arief R Wismansyah, Minggu 21 Februari 2021).

Menurutnya, bukan hanya di Ciledug Indah saja yang banjirnya mulai surut. Terpantau beberapa lokasi banjir mulai surut bahkan sudah tidak ada lagi air yang menggenang. "Saya pantau beberapa lokasi sudah mulai surut, seperti di wilayah Kecamatan Karawaci, Angke dan beberapa titik lainnya" jelas Arief.

Untuk di Depok, Pejabat Sementara Wali Kota Depok, Sri Utomo mengungkapkan banjir di wilayahnya telah surut. Masyarakat dimintas waspada akan timbulnya penyakit pascabanjir. Untuk penanganan banjir dan longsor, Pemerintah Kota Depok telah menurunkan bantuan dari Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, Dinas Sosial, hingga Dinas Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan Kota Depok.

“Kami sudah menurunkan bantuan ditiap kesatuan dinas membantu warga yang terdampak banjir dan longsor, serta bantuan logistik,” ucap Sri Utomo.

Sri Utomo meminta, masyarakat dapat mengantisipasi dan mencegah terjadinya banjir kembali. Masyarakat diimbau dapat merawat dan membersihkan saluran air, tidak membuang sampah ke aliran kali, hingga melakukan penanaman pohon dan membuat lubang biopori sebagai resapan air saat hujan turun.

“Jangan biarkan saluran tersembuat karena sampah karena akan menghambat jalannya air sehingga berpotensi terjadinya banjir dan genangan air,” tutup Sri Utomo.

Sementara itu kondisi berbeda dialami masyarakat Kabupaten Bekasi. Di tempat itu, sebanyak 17 kecamatan, hingga Senin (22/2/2021), masih terendam banjir dengan ketinggian bervariasi.

Ke-17 kecamatan tersebut adalah Tambun Selatan genangan air 50-150 cm, Cibitung genangan air 50-150 cm, Setu genangan air 50-150 cm, Cikarang Selatan genangan air 50-70 cm, Cikarang Pusat genangan air 50-150 cm, Cibarusah genangan air 50-80 cm, Cikarang Utara genangan air 50-150 cm, Sukawangi genangan air 40-60 cm, Muaragembong genangan air 40 cm, Serang Baru genangan air 50-70 cm.

Selain itu, Cikarang Timur genangan air 50-150 cm, Cikarang Barat genangan air 50-100 cm, Babelan genangan air 50-60 cm, Sukakarya genangan air 50-70 cm, Tambun Utara genangan air 50-80 cm, Kedungwaringin genangan air 80-150 cm, dan Pebayuran genangan air 80 cm.

Bupati Bekasi, Eka Supria Atmaja, mengatakan titik banjir semakin meluas pascajebolnya tanggul Citarum di Kampung Babakan Banten, Sumber Urip, Pebayuran, Sabtu 20 Februari 2021 malam.

Eka menuturkan banjir yang melanda wilayahnya disebabkan faktor alam. Tingginya curah hujan selama dua hari terakhir, kata dia, membuat debit air sungai Citarum terus bertambah, sehingga memicu tanggul jebol sepanjang kurang lebih 100 meter.

"Ini sebenarnya air kiriman dari hulu, misalkan daerah Cikarang Utara dari Cilemahabang yang meluap ke beberapa desa. Atau kali Cikarang termasuk sungai Cibeet dan Citarum," kata Eka, Senin (22/2/2021).

Lanjut Eka, sejauh ini sudah banyak warga yang dievakuasi, dan ditempatkan di sejumlah posko pengungsian. Proses evakuasi yang dibantu personel TNI dan Polri, sebagian menggunakan helikopter lantaran kondisi banjir yang cukup parah.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya