Liputan6.com, Jakarta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi terkait pengadaan barang dan jasa, perizinan, dan pembangunan infrastruktur di Pemprov Sulsel Tahun Anggaran 2020-2021.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayogha mengatakan, sosok Nurdin Abdullah yang pernah menyabet penghargaan Bung Hatta Anti-Corruption Award (BHACA) tahun 2017, jangan membuat pengawasan jadi melemah.
"Dari kasus ini kita dapat mengambil pelajaran bahwa pengawasan publik tidak sepatutnya melemah ketika terdapat sosok yang dikenal bersih dan inovatif menduduki posisi pejabat publik," kata Egi dalam keterangannya, Minggu (28/2/2021).
Advertisement
Menurut dia, pejabat publik memiliki kewenangan yang besar sehingga potensi penyelewengan selalu terbuka lebar. "Pengawasan ini krusial jika melihat kecenderungan publik yang seringkali melonggarkan pengawasannya atau permisif terhadap perilaku pejabat publik yang dikenal sebagai sosok orang baik," tutur Egi.
Dia menegaskan, penetapan tersangka terhadap Nurdin Abdullah sudah semestinya menjadi pintu masuk bagi KPK untuk menelusuri aspek-aspek lain yang berkaitan.
Menurut Egi, KPK perlu menelusuri hal tersebut untuk membuktikan apakah ada pihak lain yang turut menikmati uang tersebut, baik individu, atau organisasi seperti partai politik. "Jika terbukti, maka pihak-pihak tersebut patut untuk ikut dijerat," kata dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Singgung Biaya Politik Mahal
Egi menjelaskan, hal ini bisa saja berkaitan. Praktek balas budi akibat biaya politik dalam kontestasi pemilu di Indonesia yang mahal, bisa jadi satu alasan melakukan perbuatan tercela tersebut.
"Kasus Nurdin juga menunjukkan pentingnya pengawasan terhadap proyek-proyek infrastruktur secara keseluruhan," kata dia.
Reporter: Rifa Yusya Adilah
Sumber: Merdeka.com
Advertisement