Liputan6.com, Jakarta Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat masih mempelajari pengajuan justice collaborator (JC) yang dilayangkan Direktur PT Dua Putra Perkasa Pratama (DPPP) Suharjito. Suharjito merupakan terdakwa dugaan suap kasus izin ekspor benih benur lobster (BBL) di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang melibatkan mantan menteri Edhy Prabowo.
"Kemarin pada persidangan sebelumnya, saudara mengajukan surat tertulis tentang pengajuan justice collaborator. Sehingga itu masih kami cermati kami pelajari tentang urgensi atau relevansinya," kata hakim ketika persidangan, Rabu (24/3/2021).
Ketika persidangan, majelis hakim mengaku heran dengan kasus yang turut menyeret Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo. Lantaran dari sekian banyak izin perusahan, hanya Suharjito yang dipersangkakan terkait dugaan suap. Majelis hakim masih mempelajari permohonan pengajuan Suharjito.
Advertisement
"Ya kalau memang banyak, 65 perusahaan bisa saja punya potensi seperti Pak Suharjito. Nah persoalannya, ini dari sekian yang diberi izin ekspor BBL maupun izin budidaya ada sekian perseroan atau perusahaan. Tetapi yang dihadirkan dipersidangan hanya satu. Itu kan juga menjadi pertanyaan dan catatan majelis dalam hubungannya dengan permohonan saudara," tuturnya.
Menanggapi hal itu, salah satu pengacara Suharjito, Adwin Rahardian mengatakan, pengajuan JC sudah sedari awal diajukan kliennya ketika proses penyidikan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bahkan sebelum adanya pelimpahan berkas ke Jaksa Penuntut Umum (JPU).
"Soal permohonan JC tentu dari awal proses penyidikan kita sudah sampaikan ke penyidik sebelum pelimpahan ke JPU. Bukan apa-apa, itu karena itikad baik dan kooperatif saja apapun akan siap menjawab dengan sejujur-jujurnya termasuk di BAP terdakwa bisa dieksplor dari hal-hal saudara terdakwa ketahui itu juga," katanya.
Usai sidang, Adwin Rahardian menjelaskan alasan mengajukan JC. Suharjito telah berlaku kooperatif selama peroses penyidikan sampai dengan persidangan. Dia juga sudah mengakui perbuatannya. Sehingga, pihaknya berharap majelis hakim mengabulkan permohonan tersebut.
"Ya dari pertama emang kan kooperatif dari mulai proses penyidikan, dan buat pak Harjito tidak ada beban, dia memang mengakui perbutannya ya. Terlepas perbuatannya itu memenuhi unsur pidana atau tidak kan itu biar kemudian majelis hakim yang menilai. Karena Pak Harjito sendiri dia memberikan uang karena diminta," katanya.
Adwin menuturkan, sidang selanjutnya Suharjito akan membeberkan semua yang diketahui perihal perkara suap izin ekspor benih benur lobster. Semuanya akan disampaikan saat pemeriksaan Suharjito sebagai terdakwa, dalam sidang selanjutnya.
"Jadi apa yg dia tahu nanti dia akan ungkap di pemeriksaan terdakwa minggu depan," ucapnya.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Dakwaan Suharjito
Sekedar informasi, terdakwa Suharjito telah mengakui adanya pemberin fee terkait izin ekspor BBL kepada Staf Khusus (Stafsus) Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo. Pemberian itu bermula ketika dirinya sebagai pengusaha mengalami kesulitan untuk melakukan ekspor benur.
"Dalam perjalanan permohonan izin 4 Mei hingga 18 Juni baru ada (izin), kita ini sudah paham budidaya, tapi kita alami kesulitan dalam urusan izin," kata Suharjito ketika dihadirkan secara virtual pada sidang Rabu (24/3).
Karena merasa alami kesulitan, Suharjito lantas menghubungi anak buahnya untuk menanyakan kembali kepada Dirjen Budidaya terkait perizinan untuk melakukan ekspor benih lobster yang dijalankannya.
"Notabane-nya saya tanyakan ke anak buah saya (bernama) Agus, 'kenapa masalahnya Gus? Coba tanyakan ke Dirjen Budidaya apa masalahnya, kalau untuk mendapat izin, dan kalau mendapat izin sudah berlomba-lomba, padahal Kementerian KKP yang bidangi budidaya paham tentang hal budidaya," ujar Suharjito sambil tirukan percakapan dengan anak buahnya.
Setelah mengutus Agus salah satu anak buahnya, Suharjito mendapatkan laporan apabila dirinya diminta menyerahkan uang Rp5 miliar agar izin ekspor benurnya terbit. Dengan adanya permintaan tersebut, Siharjito lantas menyanggupi untuk membayar sejumlah uang dengan cara dicicil.
"Dikemudian hari, Saudara Agus (staf Suharjito) nanya ke Dirjen Budidaya, (katanya) tanyakan Stafsus, di situ lah ada letak komitmen yang harus disampaikan ke saya (komitmen) uang, disampaikan Saudara Agus kisaran Rp 5 miliar bisa dicicil. Akhirnya saya membayar komitmen itu USD77.000 yang disampaikan Agus. Saya cicil, USD77.000 sama dengan Rp 1 miliar," kata Suharjito.
Reporter : Bachtiarudin Alam
Sumber: Merdeka
Advertisement