Liputan6.com, Jakarta - Nama Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan (Sekjen KKP) Antam Novambar muncul dalam surat dakwaan matan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo. Edhy didakwa meneripa suap sekitar Rp 25,7 milar terkait pengurusan percepatan izin ekspor benih bening lobster (BBL) atau benur.
Dalam surat dakwaan disebutkan bahwa Antam Novambar diminta oleh Edhy Prabowo untuk membuat nota dinas kepada Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan. Nota Dinas itu, nantinya jadi dasar penerbitan bank garansi di Bank Negara Indonesia (BNI 46).
Jaksa menyebut, Antam membuat nota dinas Nomor: ND.123.1/SJ/VII/2020 tanggal 1 Juli 2020 perihal tindak lanjut pelaksanaan peraturan menteri kelautan dan perikanan Nomor 12 Tahun 2020 tentang pengelolaan lobster, kepiting, dan rajungan di wilayah RI.
Advertisement
"Pada tanggal 1 Juli 2020, Antam Novambar selaku Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia membuat nota dinas kepada Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan," ujar Jaksa KPK di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (15/4/2021).
Jaksa mengatakan, nota dinas tersebut kenudian ditindaklanjuti Kepala Balai Besar Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan Jakarta I (Soekarno-Hatta) Habrin Yake. Dari situ kemudian terbit surat komitmen agar para eksportir benur menaruh uang ke dalam bank garansi tersebut
Para eksportir diwajibkan membayar Rp 1.000 per-ekor benih lobster. Besaran jaminan itu ditentukan Edhy dan dikoordinir staf khususnya bernama Andreau Misanta Pribadi.
Setelah ada kebijakan itu, tiap eksportir yang akan mengekspor benih lobster diwajibkan membayar uang jaminan ke bank garansi. Atas kebijakan itu juga, Edhy berhasil mengumpulkan Rp 52,31 miliar
"Walaupun Kementerian Keuangan RI belum menerbitkan revisi Peraturan Pemerintah tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) ekspor BBL, sehingga kemudian terkumpul uang di Bank Garansi yang jumlah seluruhnya sebesar Rp 52.319.542.040," ucap Jaksa.
Â
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Dakwaan Edhy Prabowo
Diberitakan Edhy Prabowo didakwa menerima suap sebesar USD 77 ribu atau sekitar Rp 1,1 miliar dan Rp 24.625.587.250 oleh tim jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Jika ditotal, dugaan suap yang diterima Edhy sebesar Rp 25,7miliar. Suap berkaitan dengan pengurusan izin ekspor benih bening lobster (BBL) atau benur di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
"Telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, telah menerima hadiah atau janji," ujar Jaksa KPK dalam dakwaannya di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (15/4/2021).
Jaksa menyebut, Edhy Prabowo menerima USD 77 ribu dari pemilik PT. Dua Putera Perkasa Pratama (PT. DPPP) Suharjito. Edhy menerima uang tersebut melalui Amiril Mukminin selaku sekretaris pribadinya, dan Safri yang merupakan Staf Khusus Menteri dan Wakil Ketua Tim Uji Tuntas Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster.
Pemberian uang tersebut dilakukan pada 16 Juni 2020 di di Kantor KKP Gedung Mina Bahari IV Lantai 16. Uang diberikan Suharjito kepada Safri sambil mengatakan 'ini titipan buat Menteri'. Selanjutnya Safri menyerahkan uang tersebut kepada Edhy Prabowo melalui Akiril Mukminin.
Sementara penerimaan uang sebesar Rp 24.625.587.250 diterima Edhy dari para eksportir benur lainnya. Namun jaksa tak menyebut siapa saja eksportir tersebut. Jaksa hanya menyebut uang itu diterima Edhy melalui Amiril Mukminin, Ainul Faqih selaku staf pribadi Iis Rosita Dewi (anggota DPR sekaligus istri Edhy Prabowo), Andreau Misanta Pribadi selaku Staf Khusus Menteri dan Ketua Tim Uji Tuntas Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster, dan Siswandhi Pranotoe Loe selaku Komisaris PT Perishable Logistic Indonesia (PT PLI) dan pemilik PT Aero Citra Kargo (PT ACK).
Jaksa menyebut, pemberian suap dilakukan agar Edhy mempercepat proses persetujuan pemberian izin budidaya lobster dan izin ekspor BBL kepada PT. DPPP dan para eksportir BBL lainnya yang bertentangan dengan kewajiban Edhy sebagai menteri.
"Padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yaitu dengan maksud supaya terdakwa bersama-sama Andreau Misanta Pribadi dan Safri mempercepat proses persetujuan pemberian izin budidaya lobster dan izin ekspor BBL kepada PT. DPPP dan para eksportir BBL lainnya," kata Jaksa.
Advertisement