Nadiem Makarim di Tengah Isu Reshuffle Kabinet dan Megawati

Isu reshuffle kabinet menguat seiring disatukannya Kemendikbud dan kemenristekdikti. Hal ini membuat posisi Menteri Pendidikan Nadiem Makarim dipertanyakan.

oleh Muhammad Radityo Priyasmoro diperbarui 22 Apr 2021, 00:03 WIB
Diterbitkan 22 Apr 2021, 00:03 WIB
Pertemuan Megawati dan Nadiem Makarim.
Pertemuan Ketua Umum PDIP Megawati dan Menteri Pendidikan Nadiem Makarim. (Foto: Istimewa).

Liputan6.com, Jakarta Isu reshuffle kabinet menguat seiring disatukannya Kemendikbud dan kemenristekdikti. Hal ini membuat posisi Menteri Pendidikan Nadiem Makarim dipertanyakan. Apakah dipertahankan atau dilepas.

Di tengah isu tersebut, Nadiem Makarim mengunggah pertemuan dirinya bersama Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri melalui akun Instragramnya. Hal ini menambah spekulasi keberadaan dirinya sebagai pembantu Presiden Jokowi.

Pertemuan Nadiem dengan pucuk pimpinan tertinggi partai yang mengkaderisasi Presiden Jokowi tersebut berlangsung selama dua jam pada Selasa 20 April 2021. Pertemuan dilakukan di kediaman Megawati, Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat.

"Ngobrol dua jam sama Bu Mega, diskusi strategi mempercepat Merdeka Belajar dan Profil Pelajar Pancasila. Saya banyak belajar dari pengalaman beliau," tulis Nadiem di akun media sosialnya.

Melalui keterangan, Megawati pun langsung menjelaskan pertemuannya dengan Nadiem. Pertemuan tersebut tidak berlangsung empat mata. Turut hadir mendampingi, antara lain Kepala BPIP Yudian Wahyudi, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasona Laoly, Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah, dan juga Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristyanto.

Megawati memastikan pertemuan itu mendiskusikan pendidikan Pancasila sebagai materi pembelajaran, bukan membahas reshuffle kabinet.

"Selain sebagai dasar dan ideologi negara kita, Pancasila juga berfungsi sebagai kepribadian bangsa Indonesia, sehingga kalau menurut saya mata pelajaran Pancasila itu wajib masuk dalam kurikulum pendidikan di semua jenjang," kata Megawati dalam keterangan tertulis diterima, Rabu (21/4/2021).

Selain itu, pertemuan ini menyinggung Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2021 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Diketahui, Megawati juga notabenennya Ketua Dewan Pengarah BPIP.

"Jadi ini dalam rangka membahas revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2021 Tentang Standar Nasional Pendidikan yang sempat menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat," jelas Megawati.

Megawati menilai, PP tersebut tidak memasukkan mata pelajaran Pancasila dan Bahasa Indonesia sebagai mata pelajaran wajib.

Karenanya, dia mengajak Nadiem untuk berdiskusi lebih banyak terkait pentingnya Pancasila sebagai bagian dari fundamental karakter bangsa Indonesia.

"Jadi penting mata pelajaran Pancasila dan Bahasa Indonesia dimasukan dalam Standar Pendidikan Nasional karena begitu fundamentalnya fungsi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita agar generasi muda kita tidak kehilangan jati dirinya," kata Megawati.

Senada, Ketua DPP PDIP Ahmad Basarah menuturkan, keduanya berdiskusi terkait Pancasila sebagai dasar pendidikan kewarganegaraan dan bukan soal isu reshuffle kabinet.

"Jadi Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum negara sehingga semua pembentikan peraturan perundang-undangan harus bersumber dan tidak boleh menyimpangi apalagi bertentangan dengan Pancasila," kata Basarah yang juga ikut dalam pertemuan tersebut, saat dikonfirmasi, Rabu (21/4/2021).

Basarah menambahkan, selain dalam UU 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Pancasila juga sudah diatur mata kuliah mata kuliah wajib.

"Mestinya yang dilakukan pemerintah dalam membentuk PP 57 tahun 2021 juga merujuk kepada UU 12 tahun 2012 tersebut bukan malah melanjutkan kekosongan hukum pada UU Sisdiknas tersebut", jelas Wakil Ketua MPR RI ini.

Sementara, Ketua DPP PDIP yang juga Menkumham, Yassona H Laoly juga turut hadir dalam pertemuan tersebut. Dia membenarkan bahwa yang disinggung adalah soal Pancasila dan berdiskusi terkait materi pendidikan kewarganegaraan semakin hangat. Kepada Nadiem,

Yassona berpesan bahwa akan mendukung kebijakan yang membawa Pancasila bila andil di kementeriannya dibutuhkan.

"Kami siap memberikan dukungan maksimal untuk harmonisasi perundang-undangan dalam merevisi PP 57 tahun 2021 tersebut," kata dia.

Bukan Pertama Kali

Sekretaris Jenderal DPP PDIP Hasto Kristiyanto menilai, pertemuan Menteri Pendidikan Nadiem Makarim dan ketua umum partainya Megawati Soekarnoputri adalah hal yang wajar.

Menurut dia, sosok Megawati yang dikenal sebagai negarawan dan mempunyai pengalaman yang luas. Bahkan dia menyebut pertemuan ini bukan kali pertama.

"Pertemuan dengan Pak Nadiem sudah dilakukan beberapa kali, guna membahas politik pendidikan yang bertumpu pada upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Politik pendidikan untuk meletakkan landasan kebudayaan bagi kemajuan bangsanya melalui penguasaan iptek, politik pendidikan yang berakar pada sejarah perjuangan bangsa," kata Hasto, Rabu (21/4/2021).

Karenanya, yang dibahas dari dua jam pertemuan itu diantaranya politik pendidikan, pentingnya Pancasila, dan juga pendidikan budi pekerti serta kebudayaan.

Menurut Hasto, Megawati berulang kali menekankan pentingnya pendidikan karakter dan pendidikan yang menggelorakan rasa cinta pada tanah air tidak hanya melalui teori, namun juga praktek, guna memahami apa itu gotong royong, nasionalisme, dan pengenalan Indonesia yang begitu plural.

"Jadi bukan hanya aspek kognitif saja. Ibu Mega juga banyak menceritakan pengalamannya ketika oleh Bung Karno diminta belajar di Perguruan Cikini yang didirikan oleh para pejuang perempuan," jelas Hasto.

Terkait kabar reshuffle kabinet, menurutnya PDIP selalu memegang prinsip bahwa hal tersebut adalah hak prerogatif Presiden Joko Widodo atau Jokowi.

"Pertemuan tersebut tidak membahas hal itu. Karena persoalan pendidikan sebagai dasar kemajuan bangsa merupakan hal yang fundamental," jelas Hasto.

Karenanya, yang dibahas dari dua jam pertemuan itu di antaranya politik pendidikan, pentingnya Pancasila, dan juga pendidikan budi pekerti serta kebudayaan.

Menurut Hasto, Megawati berulang kali menekankan pentingnya pendidikan karakter dan pendidikan yang menggelorakan rasa cinta pada tanah air tidak hanya melalui teori, namun juga praktik guna memahami apa itu gotong royong, nasionalisme, dan pengenalan Indonesia yang begitu plural.

"Jadi bukan hanya aspek kognitif saja. Ibu Mega juga banyak menceritakan pengalamannya ketika oleh Bung Karno diminta belajar di Perguruan Cikini yang didirikan oleh para pejuang perempuan," jelas Hasto.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Nadiem Dianggap Jadi Beban Politik Jokowi

FOTO: Mendikbud - DPR Evaluasi Belajar dari Rumah hingga Kesiapan Rekrutmen Guru Honorer
Mendikbud Nadiem Makarim (kiri) mengikuti rapat kerja dengan Komisi X DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (16/11/2020). Rapat membahas evaluasi program belajar dari rumah terkait subsidi kuota internet serta isu-isu kesiapan rekrutmen guru honorer tahun 2021. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Sementara, Wakil Ketua Umum PPP Arsul Sani mencatat, ada 3 peristiwa beruntun dalam waktu berdekatan terkait Kementerian Pendidikan. Dia menilai, deretan peristiwa di kementerian yang dinakhodai Nadiem Makarim ini menambah beban politik Presiden Jokowi.

"Pertama, hilang atau tidak ada-nya frase agama dalam draft / rancangan peta jalan pendidikan nasional (PJPN). Kedua, tidak tercantumnya Pancasila dan Bahasa Indonesia dalam peraturan pemerintah yang diprakarsai yang kemudian menjadi PP No. 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan. Ketiga, soal hilangnya pendiri NU dan pahlawan nasional KH Hasyim Asyari," kata Arsul melalui keterangan tertulisnya, Rabu (21/4/2021).

Pria yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua MPR RI ini menuturkan, sejumlah kalangan Nahdhiyin, khususnya yang tergabung dalam Lingkaran Profesional Nahdhiyin (NU Circle) menyampaikan kepadanya bahwa ternyata bukan hanya nama KH Hasyim Asyari saja yang tidak muncul dalam Kamus Sejarah Indonesia, melainkan juga nama Gus Dur.

"Nama Gus Dur tidak ditempatkan sebagai tokoh sentral yang dimuat tersendiri dalam peristiwa sejarah. Juga nama Jenderal Sumitro dan Sumitro Djojohadikusumo, ayah kandung Prabowo Subianto. Juga tokoh Islam serta anggota PPKI, Abdul Kahar Muzakir," lanjut dia.

Menurut amatan Arsul, nama KH Abdurrahman Wahid hanya muncul untuk melengkapi sejarah beberapa tokoh seperti ketika menerangkan Ali Alatas yang ditunjuk sebagai Penasehat Menteri Luar Negeri pada masa pemerintahan Gus Dur. Atau, ketika melengkapi sejarah tokoh Megawati Sukarnoputri dan Widjojo Nitisastro.

"Ini mengherankan justru ada nama Abu Bakar Ba'asyir dalam deretan tokoh sejarah itu. Ini dipertanyakan kepada saya selaku pimpinan MPR-RI atas kemunculan sosok Abu Bakar Ba’asyir yang termuat di halaman 11," tutur dia.

Secara pribadi, Arsul mengaku heran, mengapa nama mantan narapidana kasus terorisme yang menolak membuat pernyataan setia pada ideologi Pancasila ini justru muncul sebagai tokoh pada buku atau kamus yang diterbitkan oleh Direktorat Sejarah Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ini.

"Jajaran Kemendikbud alih-alih mengurangi beban dan kecurigaan politik yang selama ini masih dihembuskan kepada Presiden Jokowi oleh kalangan tertentu, tapi malah menambahnya," dia menandasi.

 

Dibela PSI

Ketua DPP PSI Tsamara Amani Alatas membela Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim terkait pihak-pihak yang mengkritisi sejumlah kebijakan yang dikeluarkan. Pasalnya Nadiem menuai kritik di tengah isu reshuffle kabinet.

Kritikan yang muncul baru-baru ini yakni hilangnya nama pendiri Nahdlatul Ulama KH Hasyim Asy'ari di Kamus Sejarah Indonesia. 

"Isu reshuffle kabinet yang beredar di media seminggu ini menghasilkan keriuhan politik salah satunya serangan tajam kepada Mendikbud Nadiem Makarim," kata Tsamara dalam keterangannya, Rabu (21/4/2021).

"Terakhir Nadiem dituduh menerbitkan buku Kamus Sejarah yang tidak mencantumkan pahlawan nasional yang juga pendiri Nahdatul Ulama, KH Hasyim Asy'ari," imbuhnya.

Tsamara menjelaskan bahwa Kamus Sejarah Indonesia terbitan Kemendikbud itu dibuat pada era mantan Mendikbud Muhadjir Effendi. Tsamara menilai kamus tersebut pun belum dicetak.

"Pertama, fakta menunjukkan buku Kamus Sejarah itu dibuat pada tahun 2017 ketika Mendikbudnya Muhadjir Effendi, bukan Nadiem Makarim. Kedua, sesuai dengan keterangan resmi Kemendikbud, Kamus Sejarah itu masih berupa draf dan oleh karena itu belum dipublikasi," ujar dia.

Oleh sebab itu, Tsamara meminta sejumlah pihak untuk tidak menyerang Nadiem Makarim. Tsamara meminta kritik yang disampaikan ke Nadiem bersifat konstruktif bukan fitnah.

"Maka, stop serang dan zalimi Mas Menteri Nadiem Makarim demi kepentingan politik jangka pendek. Mas Menteri tentu saja tidak sempurna. Kritik boleh saja bahkan dianjurkan. Tapi kritiklah dengan substansi yang kuat untuk perbaiki dunia pendidikan kita, bukan kritik yang menjurus kepada fitnah," ucapnya.

Di sisi lain, Tsamara menilai ada pihak yang membocorkan draf itu ke publik. Tsamara meminta pihak terkait untuk mengusut dugaan tersebut.

"Selain itu, pelaku pembocoran draft Kamus Sejarah yang kemungkinan besar dilakukan dari dalam tubuh birokrasi Kemendikbud harus diusut tuntas," tutupnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya