Hari Bhayangkara dan Cerita di Balik Penyebutan KKN hingga Kapolri

Kepolisian modern Hindia Belanda yang dibentuk antara tahun 1897-1920 adalah cikal bakal dari terbentuknya Kepolisian Negara Republik Indonesia saat ini.

oleh Nanda Perdana Putra diperbarui 01 Jul 2021, 08:39 WIB
Diterbitkan 01 Jul 2021, 07:33 WIB
Ilustrasi Polri (Liputan6.com/Arfandi Ibrahim)
Ilustrasi Polri (Liputan6.com/Arfandi Ibrahim)

Liputan6.com, Jakarta Hari Bhayangkara, sebutan untuk Hari Ulang Tahun (HUT) Polri, diperingati setiap tanggal 1 Juli. Berdasarkan sejarahnya, tanggal tersebut pun membawa perubahan nama jabatan Kepala Polisi menjadi Kapolri.

Berdasarkan laman resmi Polri di polri.go.id yang dikutip Liputan6.com, Rabu (30/6/2021), sebelum kemerdekaan Indonesia, patih Kerajaan Majapahit, Gajah Mada, membentuk pasukan pengamanan yang disebut dengan Bhayangkara dan bertugas melindungi raja dan kerajaan.

Kemudian di masa kolonial Belanda, pembentukan pasukan keamanan diawali dari masyarakat pribumi yang diambil untuk menjaga aset dan kekayaan orang Eropa di Hindia Belanda. Pada 1867, sejumlah warga Eropa di Semarang merekrut 78 orang pribumi untuk menjaga keamanan mereka.

Pada masa Hindia Belanda, terdapat bermacam-macam bentuk kepolisian. Seperti veld politie (polisi lapangan), stands politie (polisi kota), cultur politie (polisi pertanian), bestuurs politie (polisi pamong praja), dan lainnya.

Wewenang operasionalnya ada pada residen yang dibantu asisten residen. Rechts politie dipertanggung jawabkan pada procureur generaal (Jaksa Agung).

Diterapkan pula pembedaan jabatan bagi bangsa Belanda dan pribumi. Pribumi tidak diperkenankan menjabat hood agent (bintara), inspekteur van politie, dan commisaris van politie. Selama menjadi polisi, pribumi diberikan jabatan mantri polisi, asisten wedana, dan wedana polisi.

Kepolisian modern Hindia Belanda yang dibentuk antara tahun 1897-1920 adalah cikal bakal dari terbentuknya Kepolisian Negara Republik Indonesia saat ini.

Di masa pendudukan Jepang, kepolisian Indonesia terbagi menjadi Kepolisian Jawa dan Madura yang berpusat di Jakarta, Kepolisian Sumatera berpusat di Bukittinggi, Kepolisian wilayah Indonesia Timur berpusat di Makassar, dan Kepolisian Kalimantan yang berpusat di Banjarmasin.

Tiap kantor polisi dikepalai oleh seorang pejabat kepolisian dari pribumi. Hanya saja, selalu didampingi oleh pejabat Jepang yang disebut sidookaan dan lebih berkuasa dari kepala polisi.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Saat Kemerdekaan Indonesia

Ilustrasi polri (sumber: polri.go.id)
Ilustrasi polri (sumber: polri.go.id)

Usai Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, pemerintah militer Jepang membubarkan Peta dan Gyu-Gun. Sementara polisi tetap bertugas, termasuk waktu Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Kepolisian pun resmi menjadi kepolisian Indonesia yang merdeka. Inspektur Kelas I (Letnan Satu) Polisi Mochammad Jassin, Komandan Polisi di Surabaya, pada 21 Agustus 1945 memproklamasikan Pasukan Polisi Republik Indonesia sebagai langkah awal.

Dia mengadakan pembersihan dan pelucutan senjata terhadap tentara Jepang yang kalah perang, juga membangkitkan semangat moral dan patriotik seluruh rakyat mau pun satuan-satuan bersenjata yang sedang dilanda depresi dan kekalahan perang yang panjang.

Badan Kepolisian Negara (BKN) sendiri dibentuk oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 19 Agustus 1945. Kemudian tanggal 29 September 1945, Presiden Soekarno melantik R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo menjadi Kepala Kepolisian Negara (KKN).

Di masa itu, kepolisian berada dalam lingkungan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dengan nama Djawatan Kepolisian Negara, yang hanya bertanggung jawab masalah administrasi. Sedangkan masalah operasional bertanggung jawab kepada Jaksa Agung.

Mulai 1 Juli 1946 dengan Penetapan Pemerintah tahun 1946 No. 11/S.D. Djawatan Kepolisian Negara bertanggung jawab langsung kepada Perdana Menteri. Tanggal inilah yang setiap tahun diperingati sebagai Hari Bhayangkara sampai sekarang.

Polri pun menyatakan dirinya combatant yang tidak tunduk pada Konvensi Jenewa dan berjuang untuk seluruh wilayah Indonesia. Polisi Istimewa diganti menjadi Mobile Brigade, sebagai kesatuan khusus untuk perjuangan bersenjata, seperti dikenal dalam pertempuran 10 November di Surabaya, di front Sumatera Utara, Sumatera Barat, juga persoalan PKI di Madiun.

Pada masa kabinet presidential, pada tanggal 4 Februari 1948 dikeluarkan Tap Pemerintah No. 1/1948 yang menetapkan bahwa Polri dipimpin langsung oleh presiden/wakil presiden, dalam kedudukan sebagai perdana menteri/wakil perdana menteri.

Saat memasuki revolusi fisik, Jenderal R.S. Soekanto mulai menata organisasi kepolisian di seluruh wilayah Indonesia. Pada Pemerintahan Darurat RI (PDRI) yang diketuai Mr. Sjafrudin Prawiranegara dan berkedudukan di Sumatera Tengah, Jawatan Kepolisian dipimpin KBP Umar Said pada 22 Desember 1948.

Hasil Konferensi Meja Bundar antara Indonesia dan Belanda dibentuk Republik Indonesia Serikat (RIS), maka R.S. Sukanto diangkat sebagai Kepala Jawatan Kepolisian Negara RIS dan R. Sumanto diangkat sebagai Kepala Kepolisian berkedudukan di Yogyakarta.

Keppres RIS No. 22 tahun 1950 menyatakan bahwa kebijaksanaan politik polisional Jawatan Kepolisian RIS berada di bawah perdana menteri dengan perantaraan jaksa agung, sedangkan dalam hal administrasi pembinaan, dipertanggungjawabkan pada menteri dalam negeri.

Umur RIS sendiri hanyalah beberapa bulan. Sebelum dibentuk Negara Kesatuan RI pada 17 Agustus 1950, pada 7 Juni 1950 dengan Tap Presiden RIS No. 150 organisasi-organisasi kepolisian negara-negara bagian disatukan dalam Jawatan Kepolisian Indonesia.

Peleburan tersebut menyadarkan bahwa kepolisian negara menjadi dipimpin secara sentral, baik di bidang kebijaksanaan siasat kepolisian maupun administratif organisatoris.

Orde Lama dan Orde Baru

Ilustrasi lambang TNI dan Polri (Liputan6.com / Abdillah)
Ilustrasi lambang TNI dan Polri (Liputan6.com / Abdillah)

Dengan dibentuknya negara kesatuan pada 17 Agustus 1950 dan diberlakukannya UUDS 1950 yang menganut sistem parlementer, Kepala Kepolisian Negara tetap dijabat R.S. Soekanto yang bertanggung jawab kepada perdana menteri/presiden.

Awalnya, Polri di Jakarta menggunakan kantor bekas Hoofd van de Dienst der Algemene Politie di Gedung Departemen Dalam Negeri. Hingga kemudian R.S. Soekanto merencanakan kantor sendiri di Jalan Trunojoyo 3, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dengan sebutan Markas Besar Djawatan Kepolisian Negara RI (DKN) yang menjadi Markas Besar Kepolisian sampai sekarang.

Sampai periode ini, kepolisian berstatus tersendiri antara sipil dan militer yang memiliki organisasi dan peraturan gaji tersendiri. Anggota Polri terorganisir dalam Persatuan Pegawai Polisi Republik Indonesia (P3RI), tidak ikut dalam Korpri. Sementara bagi istri polisi, sejak zaman revolusi sudah membentuk organisasi yang sampai sekarang dikenal dengan nama Bhayangkari, tidak ikut dalam Dharma Wanita ataupun Dharma Pertiwi.

Organisasi P3RI dan Bhayangkari ini memiliki ketua dan pengurus secara demokratis dan pernah ikut Pemilu 1955 dan memenangkan kursi di Konstituante dan Parlemen. Waktu itu, semua gaji pegawai negeri berada di bawah gaji angkatan perang.

Hanya saja, P3RI memperjuangkan perbaikan gaji dan berhasil melahirkan Peraturan Gaji Polisi (PGPOL) di mana gaji Polri relatif lebih baik dibanding dengan gaji pegawai negeri lainnya dengan mengacu standar PBB.

Dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, setelah kegagalan Konstituante, Indonesia kembali ke UUD 1945. Namun dalam pelaksanaannya banyak menyimpang dari UUD 1945.

Jabatan Perdana Menteri yang diisi Ir. Juanda diganti dengan sebutan Menteri Pertama. Polri masih tetap di bawah Menteri Pertama sampai keluarnya Keppres No. 153/1959 tertanggal 10 Juli di mana Kepala Kepolisian Negara diberi kedudukan Menteri Negara ex-officio.

Pada 13 Juli 1959 dengan Keppres No. 154/1959, Kapolri juga menjabat sebagai Menteri Muda Kepolisian dan Menteri Muda Veteran. Pada 26 Agustus 1959 dengan Surat Edaran Menteri Pertama No. 1/MP/RI1959, sebutan Kepala Kepolisian Negara berubah menjadi Menteri Muda Kepolisian yang memimpin Departemen Kepolisian, sebagai ganti dari Djawatan Kepolisian Negara.

Saat Presiden Soekarno menyatakan akan membentuk ABRI yang terdiri dari Angkatan Perang dan Angkatan Kepolisian, R.S. Soekanto menyampaikan keberatannya dengan alasan untuk menjaga profesionalisme kepolisian. Dari situ, 15 Desember 1959 R.S. Soekanto mengundurkan diri setelah menjabat Kapolri/Menteri Muda Kepolisian, sehingga berakhirlah karier Bapak Kepolisian RI tersebut sejak 29 September 1945 hingga 15 Desember 1959.

Dengan Tap MPRS No. II dan III tahun 1960 ditetapkan bahwa ABRI terdiri atas Angkatan Perang dan Polisi Negara. Berdasarkan Keppres No. 21/1960, sebutan Menteri Muda Kepolisian ditiadakan dan selanjutnya disebut Menteri Kepolisian Negara bersama Angkatan Perang lainnya dan dimasukkan dalam bidang keamanan nasional.

Tanggal 19 Juni 1961, DPR-GR mengesahkan UU Pokok kepolisian No. 13/1961. Dalam UU ini, disebutkan bahwa kedudukan Polri sebagai salah satu unsur ABRI yang sama sederajat dengan TNI AD, AL, dan AU.

Sebutan Kapolri

Suasana Mabes Polri
Mabes Polri. (Foto: Radityo Priyasmoro/Liputan6.com).

Dengan Keppres No. 94/1962, Menteri Kapolri, Menteri/KASAD, Menteri/KASAL, Menteri/KSAU, Menteri/Jaksa Agung, Menteri Urusan Veteran dikoordinasikan oleh Wakil Menteri Pertama bidang pertahanan keamanan. Dengan Keppres No. 134/1962 menteri diganti menjadi Menteri/Kepala Staf Angkatan Kepolisian (Menkasak).

Kemudian Sebutan Menkasak diganti lagi menjadi Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian (Menpangak) dan langsung bertanggung jawab kepada presiden sebagai kepala pemerintahan negara. Dengan Keppres No. 290/1964, kedudukan, tugas, dan tanggung jawab Polri ditentukan sebagaimAlat Negara Penegak Hukum, Koordinator Polsus, Ikut serta dalam pertahanan, Pembinaan Kamtibmas, Kerkaryaan, dan sebagai alat revolusi.

Berdasarkan Keppres No. 155/1965 tanggal 6 Juli 1965, pendidikan AKABRI disamakan bagi Angkatan Perang dan Polri selama satu tahun di Magelang. Sementara pada tahun 1964 dan 1965, pengaruh PKI bertambah besar karena politik NASAKOM Presiden Soekarno dan PKI mulai mempengaruhi sebagian anggota ABRI dari keempat angkatan.

Pengalaman pahit dari peristiwa G30S/PKI yang menunjukkan tidak adanya integrasi di antara unsur ABRI, maka untuk meningkatkan integrasi, tahun 1967 dengan SK Presiden No. 132/1967 tanggal 24 Agustus 1967 ditetapkan Pokok-Pokok Organisasi dan Prosedur Bidang Pertahanan dan Keamanan.

Isinya menyatakan ABRI merupakan bagian dari organisasi Departemen Hankam meliputi Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Angkatan Kepolisian yang masing-masing dipimpin oleh Panglima Angkatan dan bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan kewajibannya kepada Menhankam/Pangab. Jenderal Soeharto sebagai Menhankam/Pangab yang pertama.

Setelah Soeharto dipilih sebagai presiden pada tahun 1968, jabatan Menhankam/Pangab berpindah kepada Jenderal M. Panggabean. Perkembangan Polri sendiri mengalami masa sulit lantaran secara universal bukan merupakan angkatan perang.

Akhirnya pada l 1969 dengan Keppres No. 52/1969, sebutan Panglima Angkatan Kepolisian diganti kembali sesuai UU No. 13/1961 menjadi Kepala Kepolisian Negara RI, namun singkatannya tidak lagi KKN tetapi Kapolri. Pergantian sebutan ini diresmikan pada tanggal 1 Juli 1969.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya