Ombudsman Ungkap Penyalahgunaan Wewenang dalam TWK Pegawai KPK

Ombudsman menemukan tiga dugaan pelanggaran atau maladministrasi dalam pelaksanaan TWK pegawai KPK.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 21 Jul 2021, 14:29 WIB
Diterbitkan 21 Jul 2021, 14:27 WIB
FOTO: Mahasiswa Tolak Tes Wawasan Kebangsaan dan Pelantikan Pegawai KPK jadi ASN
Mahasiswa yang tergabung dalam BEM Institut Pertanian Bogor menunjukkan poster saat melakukan aksi unjuk rasa di jalan Kuningan Persada sekitar Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (2/6/2021). Mereka menolak TWK dan pelantikan pegawai KPK menjadi ASN. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menemukan tiga hal dugaan pelanggaran atau maladministrasi dalam pelaksanaan tes wawasan kebangsaan (TWK) yang menjadi syarat alih status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi aparatur sipil negara (ASN).

Dugaan pelanggaran TWK KPK ditemukan Ombudsman mulai dari rangkaian proses pembentukan kebijakan, proses pelaksanaan dari peralihan, dan tahap penetapan hasil asesmen.

Anggota Ombudsman Robert Na Endi Jaweng mengatakan, dalam proses pembentukan kebijakan, pihaknya menemukan adanya penyisipan aturan, penyimpangan prosedur, hingga penyalahgunaan wewenang dalam pembentukan aturan dalam TWK.

Menurut Robert, proses penyusunan Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi (Perkom) Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai KPK menjadi ASN dimulai sejak Agustus 2020 dan dilanjutkan pada tahap harmonisasi pada akhir Desember 2020 hingga Januari 2021.

"Saat itu, klausul TWK belum muncul. Klausul tersebut baru muncul pada 25 Januari 2021 atau sehari sebelum rapat harmonisasi terakhir," ujar dia dalam jumpa pers virtual, Rabu (21/7/2021).

Robert menyebut, Ombudsman mendapati proses panjang sebelumnya dan harmonisasi empat hingga lima kali tidak muncul klausul TWK mengutip notulensi 5 Januari 2021.

"Munculnya klausul TWK adalah bentuk penyisipan ayat, pemunculan ayat baru. Munculnya di bulan terakhir proses ini," kata Robert.

Penyimpangan Prosedur dan Penyalahgunaan Wewenang

Robert mengatakan, dalam pembentukan Perkom 1 Tahun 2021, Ombudsman juga menemukan adanya penyimpangan prosedur dan penyalahgunaan wewenang.

Menururtnya, berdasarkan Peraturan Menkumham Nomor 23 tahun 2018, harmonisasi selayaknya dihadiri oleh pejabat pimpinan tinggi dalam hal ini Sekjen atau Kepala Biro, JPT, pejabat administrast dan panja. Hal ini dipatuhi hingga harmonisasi pada Desember 2021.

Namun, dalam rapat harmonisasi terakhir pada 26 Januari 2021, yang hadir bukan lagi jabatan pimpinan tinggi atau perancang, melainkan para pimpinan lembaga.

"Ada lima pimpinan yang hadir, yakni Kepala BKN, Kepala LAN, Ketua KPK, Menkumham, dan Menpan RB. Sesuatu yang luar biasa," kata Robert.

Menurut Robert, yang menjadi persoalan lanjutan yakni Berita Acara Rapat Harmonisasi itu ditandatangani oleh pihak-pihak yang tidak hadir dalam rapat, seperti Kepala Biro Hukum KPK dan Direktur Pengundangan, Penerjemahan, dan Publikasi Peraturan Perundang-undangan Ditjen PP Kemkumham.

"Sekali lagi yang hadir pimpinan, tapi yang tanda tangan berita acara adalah yang tidak hadir, yakni level JPT. Ombudsman Republik Indonesia berpendapat ada penyimpangan prosedur dan penyalahgunaan wewenang," kata dia.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Pegawai KPK Tidak Bisa Sampaikan Pendapat

FOTO: Aksi BEM SI Tolak Pelemahan KPK
Mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi BEM SI melakukan aksi unjuk rasa di kawasan Kuningan Persada sekitar Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (16/6/2021). Mereka menolak pelemahan KPK melalui TWK yang berujung penonaktifan 75 pegawai termasuk beberapa penyidik. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Selain itu, menurut Robert, Peraturan KPK Nomor 12 Tahun 2018 menyatakan, penyelarasan produk hukum peraturan wajib memperhatikan aspirasi atau pendapat pegawai KPK. Untuk mendapatkan aspirasi, rancangan ini wajib disebarluaskan dalam portal KPK.

Namun, Ombudsman menemukan penyebarluasan informasi Perkom Nomor 1 Tahun 2021 tidak disebarluaskan di portal internal KPK. Dengan demikian, tidak ada mekanisme pagawai KPK untuk mengetahui apalagi menyampaikan pendapat.

"Mungkin dari gosip atau informal tahu, tapi tidak resmi dan tidak ditempatkan di portal internal KPK selama proses yang sangat penting. Tidak ada kesempatan. Ombudsman berpendapat terjadi penyimpangan prosedur karena KPK tidak menyebarluaskan setelah dilakukan proses perubahan enam kali rapat," kata Robert.

Infografis Novel Baswedan, Perlawanan 75 Pegawai KPK

Infografis Novel Baswedan, Perlawanan 75 Pegawai KPK
Infografis Novel Baswedan, Perlawanan 75 Pegawai KPK (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya