Ketua Panja: RUU PKS Bakal Mengatur Sanksi Kekerasa Seksual di Dunia Digital

Langkah sinkronisasi yang dilakukan dengan menambahkan poin-poin yang belum diatur dalam UU Pornografi maupun UU ITE.

oleh Liputan6.com diperbarui 23 Jul 2021, 08:28 WIB
Diterbitkan 23 Jul 2021, 08:28 WIB
Kaum Hawa Desak DPR Segera Sahkan RUU PKS
Massa Kolaborasi Nasional menggelar aksi di depan Gedung DPR/MPR, Jakarta, Selasa (17/9/2019). Massa yang menuntut DPR segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) ini datang dari berbagai daerah. (Liputan6.com/JohanTallo)

Liputan6.com, Jakarta Ketua Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) Willy Aditya menyatakan bahwa RUU PKS akan mencakup isu kekerasan seksual di dunia digital.

"Dalam (dunia) digital, kami melakukan sinkronisasi dengan Undang-Undang Pornografi dan Undang-Undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik),” kata Willy Aditya saat dihubungi Kamis (22/7/2021). 

Adapun langkah sinkronisasi yang dilakukan adalah menambahkan poin-poin yang belum diatur dalam UU Pornografi maupun UU ITE. Poin-poin ini masih dalam proses peninjauan oleh Panja untuk mencegah terjadinya tumpang-tindih antara satu peraturan dengan peraturan yang lainnya.

"Kita hidup sudah bertransformasi ke era digital. Maka kemudian, kekerasan seksual juga terjadi di (dunia) digital,” katanya.

Terlebih, dengan munculnya fenomena-fenomena prostitusi dalam jaringan (daring) yang juga melibatkan anak di bawah umur.

Berdasarkan buku panduan Kekerasan Berbasis Gender Online yang disusun oleh Kusuma dan Arum (2020), terdapat enam aktivitas yang dapat dikategorikan sebagai jenis kekerasan yang dilakukan secara daring, yaitu: pelanggaran privasi, pengawasan dan pemantauan, perusakan reputasi, online harassment, ancaman dan kekerasan, serta community targeting.

Menurut Willy, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) masih belum cukup untuk menjadi payung hukum dalam memproses pelanggaran-pelanggaran kekerasan seksual yang terjadi secara terperinci, sehingga dibutuhkan RUU PKS untuk menutup kekurangan-kekurangan yang terdapat di dalam KUHP.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:


Kasus Kekerasan Seksual Meningkat

Willy juga menambahkan bahwa sinkronisasi yang dilakukan dalam penyusunan RUU PKS tidak hanya pada bidang digital, namun juga pada produk-produk hukum lainnya.

"Kami juga melakukan sinkronisasi dengan KUHP, Undang-Undang KDRT, dan Undang-Undang Perkawinan,” katanya memaparkan.

Selama lebih dari delapan tahun, RUU PKS masih berada dalam proses diskusi dan belum disetujui untuk disahkan dalam forum legislatif. Sementara kasus kekerasan seksual di Indonesia terus meningkat. Pada tahun 2020 tercatat 2.945 kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan di ranah publik dan pribadi.

Untuk itu, Ketua Panja menekankan pentingnya memperjuangkan RUU PKS sebagai respon dari pemerintah atas situasi darurat kekerasan seksual, sebagaimana yang telah diserukan oleh Komisi Nasional (Komnas) Perempuan. Willy menyatakan bahwa Panja akan berupaya semaksimal mungkin untuk mengesahkan RUU PKS di tahun 2021.

"Kita tidak boleh menutup mata tentang ancaman kekerasan seksual pada perempuan, anak, dan laki-laki,” kata Willy.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya