Gugurnya Bapak Penerbangan Indonesia Usai Pesawatnya Ditembak Belanda

29 Juli 1947, Bapak Penerbangan Indonesia, Agustinus Adisucipto gugur saat pesawat yang dia tumpangi ditembak pesawat Belanda.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 29 Jul 2021, 09:11 WIB
Diterbitkan 29 Jul 2021, 09:10 WIB
Ilustrasi Pesawat Terbang
Ilustrasi pesawat terbang. (dok. Unsplash.com/@trinitymmoss)

Liputan6.com, Jakarta - 29 Juli 1947, Bapak Penerbangan Indonesia, Agustinus Adisuciptogugur saat pesawat yang dia tumpangi ditembak pesawat Belanda.

Pesawat Dakota VT-CLA yang ditumpangi Agustinus Adisucipto ditembak pesawat P-40 Kitty Hawk Belanda di Dusun Pandeyan, Kelurahan Bangunharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul. Dakota VT-CLA baru saja kembali membawa bantuan obat-obatan dari Palang Merah Malaya menuju Pangkalan Udara Maguwo.

Pesawat Kittyhawk Belanda menembak secara bertubi-tubi ke arah pesawat Dakota VT-CLA. Pesawat yang tersedia untuk Indonesia berkat jasa Biju Patnaik, seorang pengusaha dan pilot dari Orissa, India itu secara otomatis kehilangan ketinggian dan mendarat darurat di Selatan Kota Yogyakarta.

Dakota VT-CLA membentur pohon, patah menjadi dua dan terbakar, hanya sebagian ekornya saja yang masih utuh.  Semua awak pesawat dan penumpang meninggal dunia kecuali seorang penumpang yang duduk di bagian ekor pesawat.

Penumpangnya yang tewas yakni Agustinus Adisucipto, Abdulrachman Saleh, Adisumarmo Wiryokusumo, Zainal Arifin, pilot Alexander Noel Constantine, Co Pilot Squadron Leader Inggris Roy Hazelhurst, Juru Tehnik India Bidha Ram dan Ny. Constantine, sedangkan yang selamat yakni Gani Handonotjokro.

Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya terhadap bangsa dan negara, Adisucipto dianugerahi pangkat Laksamana Muda Udara (Anm). Di tempat jatuhnya pesawat didirikan tugu peringatan dan nama Pangkalan Udara Maguwo, Yogyakarta diganti menjadi Pangkalan Udara Adisutjipto.

Kejadian ini menimbulkan protes Indonesia. Penerbangan pesawat itu resmi dan telah mendapatkan izin dunia internasional, termasuk pemerintah Belanda. Pesawat Dakota VT-CLA mengangkut obat-obatan bantuan dari Palang Merah Malaya untuk Indonesia, bukan berisi persenjataan.

Pada saat Agresi Militer Belanda I, Komodor Udara Agustinus Adisucipto dan Komodor Udara Abdulrahman Saleh diperintah terbang ke India menggunakan pesawat Dakota VT-CLA. Penerobosan blokade udara Belanda menuju India dan Pakistan berhasil dilakukan.

Sebelum pulang ke Indonesia, Dakota VT-CLA singgah di Singapura untuk mengangkut bantuan obat-obatan Palang Merah Malaya. Sehingga pesawat baru berangkat kembali pada pukul 13.00 WIB.

Sementara itu, di Lapangan Udara Maguwo, Kepala Staf Agkata Undara (KSAU) Suryadi Suryadarma telah menunggu kedatangan pesawat ini. Soerjadi sempat memerintahkan agar pesawat tidak perlu berputar-putar sebelum mendarat, untuk menghindari kemungkinan serangan udara terhadap pesawat tersebut.

Saat telah mendekati Lapangan Udara Maguwo pada pukul 16.30 WIB, pesawat bersiap untuk mendarat. Namun tiba-tiba dari arah Utara, muncul dua pesawat Kittyhawk milik Belanda yang diawaki oleh Lettu B.J. Ruesink dan Serma W.E. Erkelens, yang langsung menembaki pesawat tersebut.

Adisucipto gugur dalam serangan pengecut itu. Ketika gugur usianya baru 31 tahun. Dia adalah Bapak Penerbangan Indonesia.

Adisucipto merupakan penerbang pertama Indonesia yang berani menerbangkan pesawat dengan bendera merah putih. Adisucipto dengan berani menerbangkan pesawat jenis Nishikoren yang dicat merah putih dari Tasikmalaya ke Maguwo, Yogyakarta pada 27 Oktober 1945.

Pesawat bobrok peninggalan Jepang berkelir merah putih itu sengaja dia terbangkan di sekitar Yogyakarta untuk membakar semangat rakyat Indonesia melawan penjajahan yang masih terjadi di beberapa wilayah.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Perintis Pendidikan Penerbangan

Adisucipto lahir tanggal 3 Juli 1916 di Salatiga, Jawa Tengah. Dia merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Sejak lulus dari MULO (Meer Uitgebried Lager Onderwijs/setingkat SMP), Sucipto berhasrat mengikuti tes penerimaan Sekolah Penerbangan di Kalijati. Dia menyatakan keinginannya kepada ayahnya, tetapi ayahnya tidak setuju.

Begitu juga saat Adisucipto lulus dari Algemeene Middelbare School (AMS) bagian B di Semarang pada 1936, Adisucipto kembali meminta restu orangtuanya untuk masuk Sekolah Penerbangan. Namun ayah Adisucipto memintanya menjadi seorang dokter dan kuliah di Genneskundige Hooge School (Sekolah Tinggi Kedokteran) di Jakarta.

Meski demikian, Adisucipto secara diam-diam mengikuti test penerimaan Militaire Luchtvaart Opleidings School (Sekolah Pendidikan Penerbangan Militer) di Kalijati. Dia lulus dengan hasil yang sangat memuaskan. Untuk itu dia meminta bantuan Asisten Residen di Salatiga. Kali ini sang ayah meluluskan hasrat Adisucipto yang keras hati itu.

Dengan kepandaian yang dimilikinya, masa pendidikan yang seharusnya ditempuh dalam waktu tiga tahun, dapat diselesaikannya dalam waktu dua tahun. Di Kalijati inilah Adisucipto berkenalan dengan Suryadi Suryadarma, seorang perwira lulusan Akademi Militer di Breda.

Ketika revolusi meletus, Adisucipto pindah ke Yogyakarta. Dengan berdasarkan Maklumat Pemerintah pada tanggal 5 Oktober 1945, di Yogyakarta didirikan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Bagian Penerbangan pada Markas Tertinggi TKR. Bagian tersebut bertugas membangun dan menyusun Penerbangan Militer, di samping menjadi perintis bagi Penerbangan Sipil.

Sebagai kepala diangkat Komodor Udara Suryadi Suryadarma. Suryadi memanggil Adisucipto untuk turut membantu menyusun kekuatan di udara. Adisucipto ditugaskan di bidang pendidikan dengan wewenang penuh.

Di samping tugas tersebut, Adisucipto juga diserahi tugas memimpin kesatuan operasi dengan basis Maguwo. Itulah sebabnya Adisucipto disebut perintis utama dalam sejarah pendidikan penerbangan di Indonesia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya