Jejak 'Istimewa' Jaksa Pinangki

Eks jaksa Pinangki Sirna Malasari kembali ramai jadi perbincangan publik. Dia disebut mendapat keistimewaan. Berikut ulasannya.

oleh Nanda Perdana Putra diperbarui 06 Agu 2021, 14:17 WIB
Diterbitkan 06 Agu 2021, 14:14 WIB
FOTO: Sidang Lanjutan Pinangki Sirna Malasari Simak Kesaksian Andi Irfan Jaya
Terdakwa suap dan tindak pidana pencucian uang terkait pengurusan fatwa Mahkamah Agung untuk Djoko S Tjandra, Pinangki Sirna Malasari saat sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (7/12/2020). Sidang mendengar keterangan saksi, salah satunya Andi Irfan Jaya. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta Eks jaksa Pinangki Sirna Malasari kembali ramai jadi perbincangan publik. Setelah terlibat dengan kasus buronan Djoko Tjandra, kini dia disebut-sebut masih berstatus PNS dan mendapatkan gaji bulanan, meski statusnya sudah terpidana.

Adalah Masyarakat Anti Korupsi (MAKI) yang mengungkap kejanggalan tersebut. Organisasi itu pula lah yang awalnya membuat jaksa Pinangki masuk radar aparat penegak hukum dalam kasus Djoko Tjandra.

Pinangki merupakan Kepala Subbagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung (Kejagung). Fotonya bersama Djoko Tjandra dan pengacara, Anita Kolopaking viral di sosial media.

MAKI pun melaporkan dugaan pertemuan tersebut ke kejaksaan. Koordinator MAKI Boyamin Saiman menduga agenda itu terjadi pada 2019 lalu di Kuala Lumpur, Malaysia, dalam rangka memuluskan rencana permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan Djoko Tjandra.

Kejagung akhirnya menetapkan jaksa Pinangki sebagai tersangka. Dalam pengadilan yang bergulir, dia terbukti bersalah dalam kasus korupsi pengurusan fatwa di Mahkamah Agung (MA).

Majelis hakim menyatakan, jaksa Pinangki terbukti menerima suap 500 ribu USD dari Djoko Tjandra. Dia juga terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang dengan total 375.229 USD atau senilai Rp 5,25 miliar.

Jaksa Pinangki juga dinyatakan terbukti melakukan pemufakatan jahat bersama Djoko Tjandra, Andi Irfan Jaya, dan Anita Kolopaking. Mereka menjanjikan uang 10 juta USD untuk pejabat Kejagung dan MA demi pengurusan fatwa.

"Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Pinangki Sirna Malasari oleh karena itu dengan pidana penjara selama 10 tahun dan denda Rp600 juta subsidair 6 bulan," kata ketua hakim majelis saat membacakan putusan di PN Tipikor Jakarta, Senin 8 Februari 2021.

Hukuman yang dijatuhkan hakim ini lebih berat dari tuntuntan jaksa. Jaksa lewat tuntutannya hanya menuntut hukuman penjara selama 4 tahun untuk terdakwa.

Jaksa Pinangki kemudian mengajukan banding. Publik lantas dibuat geger dengan hasil yang keluar. Pasalnya, ketua majelis hakim Muhammad Yusuf dengan anggota Haryono, Singgih Budi Prakoso, Lafat Akbar, dan Reny Halida Ilham Malik, mengabulkan gugatan tersebut.

Pengadilan Tinggi DKI mengubah vonis yang dijatuhkan terhadap Pinangki. "Mengubah Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 8 Februari 2021 Nomor 38/Pid.Sus-TPK/2020/PN Jkt.Pst yang dimintakan banding tersebut sekedar mengenai pidana penjara yang dijatuhkan terhadap terdakwa," demikian bunyi putusan PT DKI yang dikutip pada Senin 14 Juni 2021.

Majelis hakim tetap menyatakan, jaksa Pinangki terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi, pencucian uang, dan pemufakatan jahat terkait kasus korupsi Djoko Tjandra. Hanya saja, Pengadilan Tinggi menyunat vonis Pinangki dari 10 tahun menjadi 4 tahun penjara.

"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tersebut oleh karena itu dengan pidana penjara selama 4 tahun dan denda sebesar Rp 600 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan," bunyi putusan.

Pada putusannya, majelis hakim banding menyebut Pinangki mengaku bersalah dan menyesali perbuatannya serta telah mengikhlaskan dipecat dari profesinya sebagai jaksa.

"Oleh karena itu, dia masih dapat diharapkan akan berperilaku sebagai warga masyarakat yang baik," demikian bunyi putusan dikutip.

Alasan kedua, vonis disunat karena Pinangki adalah seorang ibu dari anaknya yang masih balita berusia 4 tahun, sehingga layak diberi kesempatan untuk mengasuh dan memberi kasih sayang kepada anaknya dalam masa pertumbuhannya.

Ketiga, Pinangki sebagai wanita harus mendapat perhatian, perlindungan, dan diperlakukan secara adil.

Keempat, perbuatan Pinangki tidak terlepas dari keterlibatan pihak lain yang turut bertanggung jawab, sehingga kadar kesalahannya memengaruhi putusan ini.

Kelima, tuntutan pidana jaksa penuntut umum selaku pemegang azas Dominus Litus yang mewakili negara dan pemerintah dianggap telah mencerminkan rasa keadilan masyarakat.

 

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Disparitas Penegakan Hukum

Penyunatan vonis ini saja sudah mengejutkan. Namun, nyatanya tak berhenti di situ. Publik kembali terkejut setelah MAKI membuka jaksa Pinangki belum juga dieksekusi ke lembaga pemasyarakatan (lapas) usai divonis Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.

"Berdasarkan penulusuran MAKI, hingga saat ini Pinangki masih ditahan di Rutan Kejagung dan belum dilakukan eksekusi putusan empat tahun penjara dalam bentuk dipindah ke Lapas Wanita Pondok Bambu atau Lapas Wanita lainnya," kata Koordinator MAKI Bonyamin Saiman yang dikutip dari Antara, Sabtu 31 Juli 2021.

Menurut dia, ini jelas menunjukkan ketidakadilan dan diskriminasi atas narapidana wanita lainnya. 

"Telah terjadi disparitas (perbedaan) dalam penegakan hukum," ucap Bonyamin.

Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat (Kajari Jakpus) Riono Budi Santoso beralasan, belum dieksekusinya jaksa Pinangki lantaran terkendala teknis dan administrasi.

"Sebenarnya enggak ada apa-apa. Hanya masalah teknis dan administratif di Kejari Jakarta Pusat," kata Riono dalam keterangannya, Minggu 1 Agustus 2021.

Dia mengatakan, eksekusi jaksa Pinangki masih menunggu keputusan kasasi Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Kejagung. Sebab, hukuman Pinangki pada tingkat banding dipangkas menjadi 4 tahun penjara, dari 10 tahun penjara. 

Namun rupanya, tim penuntut umum tidak mengajukan upaya hukum kasasi. "Sebelumnya kami memang terlebih dulu memastikan apakah mengajukan kasasi atau tidak," kata Riono.

Tak lama berselang, akhirnya Jaksa Eksekutor Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat mengeksekusi terpidana Pinangki Sirna Malasari ke Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Tangerang, Banten, untuk menjalani pidana penjara selama empat tahun sesuai putusan Pengadilan Tinggi Jakarta, Senin 2 Juli 2021.

"Sudah diekseskusi sekitar pukul 14.00 WIB tadi di LP Tangerang," kata Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat Riono Budisantoso saat dikonfirmasi Antara.

Eksekusi atas Pinangki ke Lapas Tangerang berdasarkan Surat Perintah Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat Nomor Print-539/M.1.10/Fu/07/2021 tanggal 30 Juli 2021.

Atas surat perintah tersebut, jaksa eksekutor Kejari Jakarta Pusat melaksanakan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan negeri Jakarta Pusat Nomor 38/Pid.Sus/2020/PN.Jkt.Pst tanggal 8 Februari 2021 jo Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 10/Pid.Sus/2021/PT.DKI tanggal 14 Juni 2021 yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht).

 

Keistimewaan

Kegegeran publik ternyata belum usai. Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman mengungkapkan bahwa jaksa Pinangki masih belum dipecat dari Kejaksaan Agung. Karena itu, Pinangki disebutnya masih menerima gaji atas posisi jabatannya tersebuut.

"Sampai saat ini jaksa Pinangki belum diberhentikan, karena memang pada dulu saat tersangka ditahan pas sidang itukan belum berkekuatan hukum tetap. Sehingga masih nonaktif sifatnya, karena non aktif maka masih berhak gaji setidaknya 50 persen lah. Soal diterima atau tidak itu urusan lain. Tapi Pinangki masih berhak," kata Boyamin saat dihubungi Merdeka, Kamis (5/8/2021).

Boyamin menjelaskan pemberhentian tidak hormat tersebut harus segera dikeluarkan berdasarkan peraturan pemerintah Nomor 53 Tahum 2010 yang mengatur pendisiplinan PNS.

"Di mana salah satu pemberhentian jaksa itu apabila dia melanggar hukum dan sudah berkekuatan hukum tetap, dan apabila di atas lima tahun maka dia diberhentikan tidak hormat," katanya.

Oleh sebab itu, Boyamin meminta kepada Kejaksaan Agung untuk segera berkoordinasi kepada MenpanRB dan BKN terkait tindak lanjut pemberhentian tidak hormat Pinangki.

"Nah kalau toh, berlama-lama ini kejaksaan diduga melanggar aturan dan yang dikhawatirkan masyarakat diduga keistimewaan terhadap Pinangki," ujarnya.

 

Bantahan Kejaksaan Agung

Menanggapi hal itu, Kejaksaan Agung (Kejagung) menyampaikan, proses surat pemberhentian tidak hormat jaksa Pinangki masih berlangsung, sejak putusan PN Jakarta Pusat dan hasil Banding PT DKI Jakarta yang telah berkekuatan hukum tetap kepada Pinangki sejak 14 Juni 2021.

"Dengan putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap, maka saat ini proses pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS, Pinangki Sirna Malasari, dalam tahap proses dan dalam waktu dekat akan dikeluarkan Keputusan Pemberhentian Tidak Dengan Hormat Sebagai PNS," kata Kapuspenkum Kejagung, Leonard Eben Ezer Simanjuntak dalam keterangannya, Kamis 5 Agustus 2021.

Meski demikian, Leonard membantah terkait kabar soal Pinangki Sirna Malasari yang masih menerima gaji dan berstatus sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN). Sebab, semua hak Pinangki sudah diberhentikan sejak September 2020.

"Kami sampaikan bahwa gaji Pinangki Sirna Malasari sudah tidak diterima (diberhentikan) sejak September 2020, sedangkan tunjangan kinerja dan uang makan juga sudah tidak diterima lagi oleh yang bersangkutan sejak Agustus 2020," terang Leonard.

Berdasarkan keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor 164 Tahun 2020 tanggal 12 Agustus 2020, jaksa Pinangki sudah diberhentikan sementara. Artinya, sejak saat itu Pinangki tak lagi berprofesi sebagai jaksa.

"Pinangki telah diberhentikan sementara dari jabatan PNS dan secara otomatis yang bersangkutan tidak lagi sebagai Jaksa," tandas Leonard.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya