Pembahasan Haluan Negara di Amandemen UUD 1954, Pakar: Upaya Elite Kembalikan Power MPR

Selain kesalahan pada pelaksanaannya, Bivitri juga menyoroti jika konsep PPHN sudahlah ketinggalan zaman dalam penyelenggaraan negara modern yang mendukung inovasi dan juga adaptif.

oleh Liputan6.com diperbarui 19 Agu 2021, 12:17 WIB
Diterbitkan 19 Agu 2021, 11:32 WIB
Gedung DPR
Gedung DPR/MPR di Jalan Jenderal Gatot Subroto, Jakarta. (Liputan6.com/Devira Prastiwi)

Liputan6.com, Jakarta - Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menilai wacana Amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang bakal memasukan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) hanyalah kemauan Majelis Permusyaratan Rakyat (MPR) untuk mendapatkan kewenangan lebih besar.

Wacana memasukkan PPHN dalam Amandemen UUD 1945 sebelumnya di singgung Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) saat pidato di Sidang Tahunan MPR 2021, Senin, 16 Agustus 2021. 

"Ini keinginan MPR saja untuk mengambil kembali power-nya atau kekuatan politiknya yang dulu sudah dikembalikan ke rakyat pada Amandemen 1999-2002 yang sebenarnya tidak perlu juga. Karena MPR kan hanya ada kalau DPR dan DPD bersidang, bukan lembaga tersendiri seperti dulu. Jadi ini salah kaprah, karena maunya elite politik," kata Bivitri ketika dihubungi merdeka.com, Rabu (18/8/2021).

Terlebih, Bivitri menjabarkan jika saat ini Amandemen dengan menghidupkan kembali sistem Garis Beras Haluan Negara (GBHN) yang kini diwacanakan dalam PPHN sudah tidak relevan.

Lantaran, dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) yang jadi dasar Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) sudahlah bagus dari aspek perumusan maupun kontrol.

"Jikalau masih ada yang tidak selaras, kesalahan bukan pada dokumen, harus berbentuk RPJM atau PPHN. Tetapi ada dalam pelaksanaannya," terangnya.

Selain kesalahan pada pelaksanaannya, Bivitri juga menyoroti jika konsep PPHN sudahlah ketinggalan zaman dalam penyelenggaraan negara modern yang mendukung inovasi dan juga adaptif. Alhasil, haluan negara sudah tidak perlu ditentukan secara ketat.

"Model RPJM yang sekarang sudah bagus, apalagi levelnya kebijakan di tingkat UU, sedangkan PPHN yang diinginkan MPR kan levelnya 'ketinggian' di atas UU, sehingga tidak felksibel dan akan banyak implikasi negatif untuk kebijakan teknis. Padahal namanya penyelenggaraan negara cukup teknis. Kalau mau yang tidak teknis, sudah ada juga, yaitu UUD 1945 sendiri dan Pancasila," kata dia.

Adapun kalau MPR tetap memaksakan memasukan PPHN dalam Amandemen UUD 1945, Bivitri menyakini hal tersebut tidak akan membawa manfaat karena sudah tidak sesuai dengan sistem ketatanegaraan saat ini.

"Sehingga adanya PPHN nanti tidak akan ada manfaatnya, karena tidak ada implikasi hukum tata negara apabila tidak diikuti. Karena Presiden tidak bisa lagi dijatuhkan dengan alasan politik pelanggaran PPHN seperti halnya dulu Soekarno dianggap melanggar haluan negara," ujar dia.

Sarat Kepentingan Politik

Lebih lanjut Bivitri menyebut jika kemungkinan besar pembahasan PPHN dalam Amandemen UUD 1945, akan melebar dan sarat akan kepentingan. Karena tidak ada aturan yang mewajibkan pembahasan sesuai agenda secara pasti.

Walaupun dalam Pasal 37 UUD 1945 telah diatur tata aturan pengajuan perubahan pasal-pasal baru dapat diagendakan apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR, pengubahan harus dihadiri 2/3 dari jumlah anggota, dan keputusan harus 50% +1. Akan tetapi hal tersebut hanyalah mengatur soal kuorum dan bisa berubah dengan mudah sesuai persetujuan anggota.

"Jika ini jadi dibahas, maka kemungkinan pembahasan melebar tetap ada. Bila kita lihat Pasal 37, itu hanya berbicara kuorum. Tidak berbicara soal agenda. jadi bisa saja ada agenda tambahan di tengah dan bisa disetujui sepanjang disetujui sesuai kuorum," ujar dia.

"Dan jangan lupa dalam politik tawar -menawar itu sering terjadi, sangat terbuka peluang, agar PPHN masuk, ada yang harus disetujui. Bahkan kalau dilihat sekarang saja, DPD setuju karena mereka juga punya agenda sendiri, yaitu penguatan DPD," tambahnya.

 

Tidak Akan Kurangi Kewenangan Pemerintah

Gedung DPR
Gedung DPR/MPR di Jalan Jenderal Gatot Subroto, Jakarta. (Liputan6.com/Devira Prastiwi)

Sebelumnya, wacana soal amandemen UUD1945 telah disinggung Bamsoet saat pidato di Sidang Tahunan MPR 2021, Senin (16/8) lalu. Dia menyebut amandemen konstitusi hanya akan terbatas dan hanya fokus pada pokok-pokok haluan negara (PPHN), tidak akan melebar pada perubahan pasal lain.

"Perubahan terbatas tidak memungkinkan untuk membuka kotak Pandora, eksesif terhadap perubahan pasal-pasal lainnya," kata Bamsoet di Kompleks Parlemen Senayan, Senin (16/8).

Pasalnya, Bamsoet menyebut, PPHN diperlukan untuk memastikan potret wajah Indonesia 50-100 tahun mendatang.

“50-100 tahun yang akan datang, yang penuh dengan dinamika perkembangan nasional, regional dan global sebagai akibat revolusi industri, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi,” ungkapnya..

Keberadaan PPHN, lanjutnya, tidak akan mengurangi kewenangan pemerintah untuk menyusun cetak biru pembangunan nasional baik dalam bentuk Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), maupun Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM).

"PPHN akan menjadi payung ideologi dan konstitusional dalam penyusunan SPPN, RPJP, dan RPJM yang lebih bersifat teknokratis. Dengan PPHN, maka rencana strategis pemerintah yang bersifat visioner akan dijamin pelaksanaannya secara berkelanjutan tidak terbatas oleh periodisasi pemerintahan yang bersifat electoral,” tandasnya

Bamsoet menyampaikan jika MPR telah memiliki susunan rencana atau time table terkait waktu kapan amandemen terbatas Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 akan mulai dilakukan.

"Ada, berdasarkan rapat kami dengan badan pengkajian dan pimpinan ada time table nya," kata Bamsoet kepada wartawan, Rabu (18/8).

Walau tidak dijelaskan secara rinci kapan waktu dimulainya, Bamsoet mengklaim jika proses mekanismenya akan dijalankan sesuai pasal 37 UUD 1945. Sebagaimana pengajuan perubahan pasal-pasal baru dapat diagendakan apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR.

Sedangkan untuk mengubah pasal-pasal sidang harus dihadiri 2/3 dari jumlah anggota MPR, dan putusan untuk mengubah pasal-pasal hanya dapat dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50% +1 dari seluruh anggota MPR.

"Dan itu dokumen harus jelas alasannya, pasal ayat mana yg mau dikurangi atau ditambah. dengan argumentasi yang kuat. jadi harus awalnya didukung oleh sepertiga. Itu (tahapannya) belum kelar," lanjutnya," terangnya.

"Pengambilan keputusannya melalui suatu forum sidang paripurna yang harus dihadiri sekurang-kurangnya dua pertiga. Jadi kalau ada satu partai saja yang tidak hadir, boikot misalnya, tidak setuju, itu dihitung nanti. kurang satu aja tidak bisa dilanjutkan," lanjutnya.

Sehingga persyaratan tersebut sangat penting dipenuhi, karena jika tidak pembahasan Amandemen Terbatas UUD 1945 tidak bisa dilangsungkan. "Jadi kehadiran fisik dalam pengambilan keputusan untuk memenuhi kuorum dua pertiga," jelasnya.

Lebih lanjut ketika sempat disinggung soal kemungkinan adanya wacana pembahasan tiga periode jabatan presiden dalam amandemen kali ini, Bamsoet mengatakan jika MPR tidak pernah membahas hal tersebut.

"Kami tidak pernah bicara mengenai 3 periode (jabatan presiden) di MPR ini," katanya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya