Saiful Mujani: Amandemen Hidupkan GBHN dan Pemilihan Presiden oleh MPR Mengubur Demokrasi

Pendiri Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) itu berujar, jika presiden dipilih MPR, maka hal itu menyalahi prinsip demokrasi presidensial karena presiden akan bergantung pada MPR.

oleh Yopi Makdori diperbarui 19 Agu 2021, 16:02 WIB
Diterbitkan 19 Agu 2021, 16:01 WIB
Diskusi Temuan Survei Nasional Tentang ISIS dan NKRI
Sosiolog dari Universitas Indonesia, Tamrin Amal Tomagola (kiri) didampingi KH. Masdar F. Mas’udi (tengah) dan Saiful Mujani memberikan pemaparan dalam acara temuan survei terkait ISIS, Jakarta, Minggu (4/6). (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Liputan6.com, Jakarta Guru Besar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Saiful Mujani menegaskan bahwa wacana amandemen konstitusi dengan tujuan menghidupkan  Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), atau mengembalikan peran Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk dapat memilih presiden harus ditolak.

Pasalnya ia menilai sistem terbaik adalah demokrasi presidensial, di mana presiden dipilih langsung oleh rakyat, bukan diwakilkan oleh MPR RI.

"Amandemen untuk menghidupkan GBHN dan peran MPR memilih presiden harus dilawan," kata Saiful dalam keterangan tulis yang diterima Liputan6.com, Kamis (19/8/2021).

Pendiri Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) itu berujar, jika presiden dipilih MPR, maka hal itu menyalahi prinsip demokrasi presidensial karena presiden akan bergantung pada MPR.

GBHN dan pemilihan presiden oleh MPR, kata dia mengubur demokrasi presidensialisme yang dalam sejarah terbukti lebih baik dari parlementarisme maupun MPR-isme. 

"Kalau MPR membuat GBHN yang harus dipatuhi presiden, maka MPR di atas presiden dan itu menyalahi demokrasi. Karena mandat yang diberikan rakyat kepada anggota MPR setara dengan mandat yang diberikan kepada presiden. Tidak boleh ada yang lebih berwenang menurut dasar demokrasi mereka," ucapnya.

Hakikat Demokrasi Presidensial

Gedung DPR
Gedung DPR/MPR di Jalan Jenderal Gatot Subroto, Jakarta. (Liputan6.com/Devira Prastiwi)

Saiful menerangkan, hakikat demokrasi presidensial adalah presiden dipilih langsung oleh rakyat, presiden diberi mandat langsung oleh rakyat untuk menjadi pemimpin eksekutif, untuk membuat dan menjalankan program yang dijanjikan dalam kampanye, dengan masa berkuasa tetap.

"Presiden setara dengan DPR dan DPD karena sama-sama dipilih rakyat, ketiganya tidak boleh saling menjatuhkan," tegasnya.

Menurutnya MPR-isme, istilah Saiful untuk menjelaskan sistem di mana MPR diberi wewenang untuk memilih presiden telah dilalui oleh bangsa ini.

Sebut saja pengalaman gagal demokrasi parlementer 1945-1959, kemudian kegagalan MPR-isme 1959-1966. Serta MPRS-isme otoritarian Orde Baru dan pengalaman MPRS-isme demokratis 2001 yang membuat Abdurrahman Wahid atau Gus Dur jatuh. 

"Dengan segala plus minusnya, demokrasi presidensial 2004 - sekarang membuat politik cukup stabil, pembangunan lumayan berjalan," tegas dia. 

"Mau mengubah ini dengan memperlemah demokrasi presidensial? Lewat peran MPR yang diperkuat dengan GBHN? Melalui peran MPR memilih presiden? No way," sambungnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya