Pacitan Diintai Tsunami 28 Meter, BMKG Ingatkan Pemda Siapkan Skenario Terburuk

Masyarakat, khususnya yang berada di wilayah pesisir pantai harus segera mengungsi ke dataran yang lebih tinggi jika merasakan guncangan gempa yang besar.

oleh Yopi Makdori diperbarui 13 Sep 2021, 09:08 WIB
Diterbitkan 13 Sep 2021, 09:08 WIB
Ilustrasi tsunami
Gelombang tinggi di laut Gunung Kidul Yogyakarta. (Liputan6.com/Sunariyah)

Liputan6.com, Jakarta Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati mengingatkan masyarakat dan pemerintah daerah Pacitan untuk siap dengan skenario terburuk gempa dan tsunami

Hal tersebut dilakukan untuk menghindari dan mengurangi risiko bencana gempa dan tsunami yang mengintai pesisir selatan Jawa akibat pergerakan lempeng tektonik Indo-Australia dan Eurasia. 

"Berdasarkan hasil penelitian, di Pantai Pacitan memiliki potensi tsunami setinggi 28 meter dengan estimasi waktu tiba sekitar 29 menit. Adapun tinggi genangan di darat berkisar sekitar 15-16 meter dengan potensi jarak genangan mencapai 4 - 6 kilometer dari bibir pantai,” beber Dwikorita dalam keterangan tulis, Senin (13/9/2021).

Dwikorita menyebut, dengan skenario tersebut maka masyarakat yang berada di zona bahaya perlu berlatih rutin utk melakukan langkah evakuasi mandiri bila mendapatkan Peringatan Dini Tsunami maksimum 5 menit setelah gempa terjadi. 

Masyarakat, khususnya yang berada di wilayah pesisir pantai harus segera mengungsi ke dataran yang lebih tinggi jika merasakan guncangan gempa yang besar. 

"Untuk masyarakat yang berada di pantai, tidak perlu menunggu perintah, aba-aba, atau sirine, segera lari karena waktu yang dimiliki hanya sekitar 29 menit,  sedangkan jarak tempat yang aman yang lebih tinggi cukup jauh,” ujarnya.

Dwikorita mengatakan, yang namanya skenario artinya masih bersifat potensi yang bisa saja terjadi atau bahkan tidak terjadi. Namun demikian, masyarakat dan pemerintah daerah harus sudah siap dengan skenario terburuk tersebut. 

Artinya, lanjut Dwikorita, jika masyarakat dan pemerintah daerah siap, maka jumlah korban jiwa maupun kerugian materi dapat diminimalisir. Dengan skenario terburuk ini, kata dia, pemerintah daerah bersama-sama masyarakat bisa lebih maksimal mempersiapkan upaya mitigasi yang lebih komprehensif. 

"Jika masyarakat terlatih maka tidak ada istilah gugup dan gagap saat bencana terjadi. Begitu gempa terjadi, baik masyarakat maupun pemerintah sudah tahu apa-apa saja yang harus dilakukan dalam waktu yang sangat terbatas tersebut,” tegas dia. 

Dwikorita menegaskan, hingga saat ini tidak ada satu pun negara di dunia yang bisa memprediksi kapan terjadinya gempa dan tsunami secara tepat dan akurat. Lengkap dengan perkiraan tanggal, jam, lokasi, dan magnitudo gempa.

"Semua masih sebatas kajian yang didasarkan pada salah satunya adalah sejarah gempa di wilayah tersebut," kata dia. 

 

Siapkan Sarana Evakuasi

Penampakan Pulau Sebesi Pasca Tsunami Selat Sunda
Sejumlah kapal nelayan yang terdampar pasca gelombang Tsunami Selat Sunda di Dusun Tiga Regahan Lada, Pulau Sebesi, Lampung Selatan, Minggu (30/12). Sebagian warga mengungsi ke Kalianda. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Sementara itu, BMKG memberi rekomendasi kepada pemerintah daerah untuk menyiapkan dan menambah jalur-jalur evakuasi lengkap dengan rambu-rambu di zona merah menuju zona hijau. 

Mengingat luasnya zona bahaya (zona merah) dan padatnya pemukiman penduduk, maka Pemerintah Daerah harus lebih cermat dan tepat dalam memperhitungkan jumlah dan lokasi jalur evakuasi yang diperlukan.

Pertimbangannya adalah jarak lokasi tempat evakuasi, waktu datangnya gelombang genangan tsunami, kelayakan jalur, serta menyiapkan mekanisme dan sarana prasarana evakuasi secara tepat. 

Pemerintah daerah, lanjut Dwikorita, juga perlu mempersiapkan secara khusus sarana dan prasarana evakuasi bagi kelompok lanjut usia (lansia) dan difabel. Selain itu, masyarakat juga harus terus diedukasi mengenai potensi bencana dan cara menghadapinya. 

"Saya rasa perlu juga disiapkan semacam Tempat Evakuasi Sementara (TES) ataupun Tempat Evakuasi Akhir (TEA) sebagai tempat penampungan khusus bagi warga yang mengungsi dengan ketersediaan stock/cadangan logistik yang memadai," pungkas dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya