Jakarta - Sudah lebih dari lima tahun Endah (32) tinggal di daerah Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara. Sejak itu, ia tak pernah menggunakan air tanah dalam kehidupan sehari-hari, terutama untuk dimasak.
Endah dan suami lebih memilih menggunakan air PAM Jaya (Perusahaan Daerah Air Minum Jakarta Raya). Ini bukan tanpa sebab. Ketika pindah ke Kalibaru, ia sempat ingin memakai air tanah di tokonya yang letaknya tak jauh dari rumah, tapi ternyata air yang keluar berwarna kuning.
Advertisement
Advertisement
Baca Juga
Melihat kondisi air demikian, Endah pun enggan menggunakannya untuk kehidupan sehari-hari. Beruntung air PAM di tempat tinggalnya tergolong baik kualitasnya.
"Air PAM bisa dipakai buat mandi, bisa juga buat masak," ucap Endah kepada Liputan6.com.
Kendati belakangan pelayanan PAM hampir tidak pernah ada gangguan, dia jauh-jauh hari menyiasati dengan memasang toren air, yang digunakan menampung air PAM. Hal itu Endah lakukan untuk berjaga-jaga apabila ada gangguan dalam pelayanan PAM.
Bukan Pilihan
Di utara Jakarta yang dekat dengan laut, air tanah boleh jadi bukan pilihan bagi sebagian warga untuk digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun terus berupaya memasukkan program PAM untuk beberapa daerah di Jakarta Utara yang penurunan tanahnya sudah kritis dan rawan.
Kepala Seksi Perencanaan Bidang Geologi, Konservasi Air Baku, dan Penyediaan Air Bersih DKI Jakarta, Elisabeth Tarigan, menyatakan, pemakaian air tanah di Jakarta yang dimonitor oleh pihaknya adalah yang tercatat. Wanita yang akrab disapa Lisa itu mengatakan, dalam hal ini Pemprov DKI Jakarta lebih fokus memonitor pemakaian jenis Air Tanah Dalam, yang baru dapat ditemukan pada kedalamanan mencapai 100 meter. Sebab, menurut Elisabeth, kategori air tanah itu yang lebih berpengaruh dalam penurunan muka tanah.
Air Tanah sendiri digolongkan menjadi dua jenis yakni Air Tanah Dalam dan Air Tanah Freatik. Air Tanah Freatik letaknya dangkal atau tidak jauh dari permukaan tanah dan berada di atas lapisan kedap air seperti air sumur, yang dapat ditemukan pada kedalaman mencapai 20 meter.
Lisa menyebut bahwa yang diawasi Pemprov DKI Jakarta adalah air tanah yang dipakai dalam skala besar yaitu untuk industri. Biasanya, kata Lisa, industri memakai air tanah kategori Air Tanah Dalam, yang berada pada lapisan tertutup atau confined. Perhatian Pemprov DKI saat ini masih untuk area lapisan confined.
Di kedalaman tanah mencapai 100 meter, menurut Lisa, posisi Air Tanah Dalam seperti sebuah ice cream wafer, di mana ice cream berada di tengah-tengah sementara wafer menutupnya di atas dan di bawah. Lisa menjelaskan, untuk menembus lapisan confine terbilang susah dan butuh waktu lama secara alamiah.
Sementara untuk pengambilan air tanah dangkal atau Freatik di rumah-rumah pribadi, Pemprov DKI tidak mengatur dan tidak melakukan pengawasan dari rumah ke rumah. Namun, keinginan Pemprov yakni semua air bersih warga disediakan dengan sistem perpipaan yang terdapat di DKI Jakarta.
Lisa mengatakan, walaupun dalam segi jumlah kecepatan dan pengaruh pemakaian air tanah antara rumah pribadi dan industri berbeda, dampaknya tetap ada untuk penurunan muka tanah di masa depan. Selain itu, Pemprov DKI juga tidak dapat mengontrol soal kualitas air tanah yang dipakai masyarakat. "Sebab, di beberapa daerah Jakarta, kualitas air tanah masih bagus, tapi di sejumlah wilayah lain sudah tidak bagus," kata Lisa kepada Liputan6.com.
Eksploitasi Air Tanah dan Penurunan Muka Tanah
Salah satu penyebab penurunan muka tanah di Kota Jakarta adalah karena pengambilan air tanah. Penyebab lainnya yakni akibat beban konstruksi, akibat konsolidasi alami tanah aluvium, dan penurunan tanah tektonik.
Penurunan muka tanah akibat ekstraksi atau pengambilan air tanah menjadi fenomena yang dominan terjadi di Jakarta. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sudah merekomendasikan supaya wilayah DKI Jakarta yang laju amblesan tanahnya besar, agar mengurangi eksploitasi air tanah di area-area tersebut.
Penurunan muka tanah erat kaitannya dengan genangan banjir dan tingkat kerusakan yang terjadi akibat adanya banjir. Seperti dilansir Antara, BPPT melalui Pusat Teknologi Reduksi dan Resiko Bencana (PTRRB) menganjurkan Pemprov DKI Jakarta menerbitkan peraturan daerah pelarangan pengambilan air tanah, terutama di area-area yang kritis mengalami penurunan muka tanah atau amblesan.
Berdasarkan catatan Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), kerusakan Cekungan Air Tanah (CAT) Jakarta yang berakibat terjadinya penurunan muka tanah adalah akibat eksploitasi air tanah yang berlebihan. Cekungan Air Tanah adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas hidrogeologis, tempat semua kejadian hidrogeologis seperti proses pengimbuhan, pengaliran, dan pelepasan air tanah berlangsung.
Badan Geologi Kementerian ESDM mencatat lebih dari 4.500 sumur produksi yang mengambil air tanah Jakarta untuk keperluan komersil. Belum lagi sumur-sumur ilegal yang tidak memiliki izin pengusahaan air tanah, yang tidak masuk dalam hitungan. Kondisi itu yang membuat penurunan muka tanah Jakarta kian menjadi ancaman serius.
Harus Dikendalikan
Kepala Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta, Yusmada Faizal, mengungkapkan, pengendalian pemakaian air tanah memang merupakan salah satu skema mengatasi penurunan muka tanah atau land subsidence. Selain itu, pihaknya juga melakukan konservasi air tanah.
"Pengawasan dan penindakan terhadap upaya pengambilan air tanah yang berlebihan, pembatasan dan pelarangan izin pengambilan air tanah di seluruh sektor," papar Yusmada dalam Webinar bertajuk 'Jakarta The Sinking City'.
Pada periode 2011-2018, laju penurunan muka tanah di Jakarta memang turun menjadi 12 cm per tahun, dari periode sebelumnya yang mencapai 20 cm per tahun. Yusmada optimistis laju penurunan muka tanah Ibu Kota dapat dikendalikan menjadi tidak di atas 10 cm jika pengendalian pengambilan air tanah terus dilakukan.
Di sisi lain, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, mengatakan, titik penurunan muka tanah di Ibu Kota berkurang menjadi lima titik dari sebelumnya 20 titik. Hal itu disebabkan berkurangnya aktivitas pengambilan air tanah untuk konsumsi air bersih.
Dalam diskusi virtual bertajuk 'Pelayanan Merata Air Minum Jakarta', Anies juga mengklaim kegiatan pengambilan air tanah berkurang, karena sudah ada pasokan air dari sumber lain, salah satunya program PAM.
Advertisement
Aturan Pengambilan Air Tanah
Untuk jenis Air Tanah Dalam, aturan mengenai pengambilan air tanah sesungguhnya sudah ada. Pemprov DKI Jakarta sendiri mengenakan pajak atas air tanah. Selain itu, terdapat pula aturan soal perizinan pemakaian air tanah.
Kepala Seksi Perencanaan Bidang Geologi, Konservasi Air Baku, dan Penyediaan Air Bersih DKI Jakarta, Elisabeth Tarigan, menjelaskan, setiap bangunan yang ingin mengambil air tanah, harus mengajukan perizinan terlebih dahulu. Izin dikeluarkan oleh Kementerian ESDM dan pengajuan prosesnya melalui PTSP (Pelayanan Terpadu Satu Pintu).
Menurut wanita yang akrab disapa Lisa ini, pertimbangan memberikan izin kepada sebuah bangunan untuk mengambil air tanah salah satunya dengan melihat lebih peta Cekungan Air Tanah. Apabila ternyata tidak diizinkan, kata Lisa, maka pihak tersebut harus mencari sumber air alternatif.
"Tapi kalau ternyata masih boleh, akan ditentukan batas maksimum yang bisa diambilnya berapa," tambah Lisa.
Ia menerangkan, pelarangan mengambil air tanah sendiri masih diusulkan hanya untuk daerah-daerah di Jakarta yang sudah bisa dilayani PAM Jaya. Sampai saat ini belum ada pelarangan, melainkan hanya aturan. Lisa menyatakan, Pemprov DKI tidak ingin melarang sesuatu yang merupakan hajat hidup orang banyak tanpa ada penggantinya yang telah siap digunakan.
Â
Pengaturan
Pengaturan tentang penggunaan air tanah di DKI Jakarta terdapat dalam Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pajak Air Tanah atau Perda DKI 17/2010 juncto Peraturan Gubernur Nomor 38 Tahun 2017 tentang Pemungutan Pajak Air Tanah atau Pergub DKI 38/2017 (Pasal 1 angka 10 Perda DKI 17/2010 jo. Pasal 1 angka 13 Pergub 38/2017). Kedua peraturan itu mendefinisikan air tanah sebagai air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
Di DKI Jakarta, pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah ditetapkan sebagai objek pajak air tanah. Namun, tidak semua termasuk objek pajak air tanah. Sesuai Pasal 3 ayat (4) Pergub DKI 38/2017, yang tidak termasuk objek pajak air tanah antara lain:
1. Pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
2. Pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah untuk keperluan dasar rumah tangga, pengairan pertanian dan perikanan rakyat, peribadatan; dan
3. Pengambilan atau pemanfaatan atau pengambilan dan pemanfaatan air tanah untuk keperluan pemadaman kebakaran.
Sedangkan untuk subjek pajak air tanah sekaligus wajib pajak air tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Pergub DKI 38/2017 adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
Aturan lain mengenai penggunaan air tanah juga terdapat pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), tepatnya Pasal 47 ayat (1) dan Pasal 16 ayat (2) huruf a. Peraturan itu mendefinisikan hak guna air sebagai hak memperoleh air untuk keperluan tertentu dan/atau mengalirkan air itu di atas orang lain. Hak guna air merupakan salah satu bentuk hak atas air dan ruang angkasa.
Selain itu, Undang Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan pada pasal 1 angka 33, yang berbunyi: Air adalah semua air yang terdapat di dalam dan atau berasal dari sumber-sumber air, baik yang terdapat di atas maupun di bawah permukaan tanah, tidak termasuk dalam pengertian ini air yang terdapat di laut.
Pemprov DKI sendiri mengatur volume air yang boleh diambil setiap gedung yang telah memiliki izin memakai air tanah. Ada batasan volume air tanah yang bisa diambil setiap gedung. "Yang mengambil lebih dari volume yang disyaratkan, maka itu akan kena sanksi dan denda. Kalau misalnya dia tidak menjalani teguran, akan ada penutupan," ungkap Lisa.
Faktor Migrasi Industri
Ahli Geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB), Heri Andreas, mengatakan, laju penurunan muka tanah di Jakarta sebenarnya sudah melambat dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini diduga salah satunya karena faktor migrasi industri.
Dulu, kata Heri, sentra industri di Jakarta berpusat di daerah seperti Daan Mogot, Kalideres dan Pulogadung. Sementara sekarang sudah berkurang karena banyak perusahaan yang memindahkan pabrik atau kantor ke daerah Tangerang dan Bekasi.
"Jadi sekarang aktivitas penurunan tanah di situ, seperti di Cikarang, Bekasi, itu luar biasa. Dalam 10 tahun terakhir ini, Bekasi tiba-tiba merah. Merah di sini maksudnya penurunan tanah di atas 10 cm per tahun," kata Heri kepada Liputan6.com.
Ia menjelaskan, meski secara umum penurunan tanah di Jakarta sudah melambat, namun masih ada daerah-daerah DKI ke arah Tangerang yang mengalami penurunan tanah cukup cepat. Salah satunya daerah Kamal Muara ke arah Kosambi dan Teluknaga.
"Penurunan muka tanah juga semakin meluas ke daerah Tangerang Selatan, bahkan sedikit ada yang ke Depok. Kalau Tangerang Selatan karena mulai banyak pemukiman di sana."
Dosen Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB itu menjelaskan, di Jakarta sebenarnya sudah ada soal aturan pelarangan penggunaan air tanah, terutama di zona rusak air tanah berdasarkan rekomendasi ESDM. Namun, hal ini sulit diimplementasikan.
Sebab, air merupakan kebutuhan hidup sehari-hari dan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) belum bisa menyuplai seluruh Jakarta.
"Jadi di sini dilemanya. Kemampuan DKI masih minus untuk penyediaan air, ya bukan hanya DKI, dimana-mana juga begitu. DKI kalau tak salah minus 11 m³/detik. Masalahnya, salah satunya di PDAM karena belum bisa mencakup suplai seluruh kebutuhan Jakarta. Kenapa tak bisa mencakup? Ya karena sumbernya bermasalah."
Menurut Heri, banyak sumber air bagus di Pulau Jawa yang disia-siakan manusia, seperti waduk dan danau yang menghilang hingga sungai-sungai yang tercemar. "Jadi kalau ditarik ke belakang itu sumber airnya yang bermasalah, sehingga PDAM kurang mampu menyediakan," ucap dia.
Advertisement
Masalah Infrastruktur
Direktur Utama PAM Jaya, Priyatno Bambang Hernowo, mengatakan infrastruktur perpipaan PAM memang belum mencakup seluruh wilayah Jakarta. Baru sekitar 65 persen penduduk DKI yang menjalani akses pelayanan air minum perpipaan.
"Jadi masih ada gap sekitar 35 persen yang belum mendapatkan akses. Dan yang belum mendapatkan itu ada dua bagian besar, yakni bagian Barat-Utara dan Selatan Jakarta," kata Priyatno kepada Liputan6.com.
Bagian Barat-Utara, kata Priyatno, seperti daerah Pegadungan, Kamal Muara dan Rorotan. Daerah-daerah tersebut sangat urgent dijadikan prioritas pelayanan karena sudah tak memungkinkan lagi mengambil air tanah dangkal atau kalau mengambil, maka air tanahnya sangat buruk kualitasnya. "Sementara yang Selatan untuk pengambilan air tanah masih bisa."
Ia menjelaskan, sumber air Jakarta mayoritas masih berasal dari Waduk Jatiluhur dengan kapasitas 16.800 liter/detik. Sementara yang berasal dari Cisadane untuk kemudian diolah PDAM Tangerang dan diambil Jakarta sebagai air bersih sekitar 2.875 liter/detik.
"Tapi, yang dipakai dari sana belum terlalu banyak kira-kira 1.400 liter/detik."
4 Strategi PAM
Guna memenuhi kebutuhan warga DKI, PAM memiliki empat strategi. Yang pertama adalah menambah pasokan air yang masuk. Kedua, menambah infrastruktur untuk mengalirkan tambahan air. Ketiga, menurunkan tingkat kebocoran perpipaan.
"Dan keempat dan yang paling penting adalah bagaimana warga berpindah dari pemakaian air tanah ke air minum perpipaan. Karena masih ada warga yang menggunakan air tanah, walaupun jaringan perpipaan sudah ada di depan rumahnya."
Terkait sektor industri, Priyatno mengatakan, di Jakarta ada disinsentif untuk perusahaan atau pabrik. Jadi, ketika perusahaan atau pabrik mengambil air tanah, makan tarifnya itu lebih tinggi 2,5 sampai 3 kali lipat daripada tarif air minum perpipaan.
"Jadi secara ekonomi mestinya, ketika sudah ada jaringan perpipaan, mereka akan berpindah ke air minum perpipaan daripada yang pakai deep well (sumur dalam)."
Di kawasan perkantoran seperti Sudirman-Thamrin, akan segera diterapkan peraturan zero deep well. Artinya, semua gedung-gedung tak boleh lagi memakai air tanah.
"Daerah Sudirman itu kan pernah ada inspeksi, dan ada beberapa yang kemudian ketemu memakai air tanah dalam. Jadi, nanti untuk daerah yang memang sudah bisa dilayani PAM seperti Sudirman, Thamrin, Pulogadung, itu daerah-daerah di tahap pertama yang kita jadikan zero deep well," ucap dia.
Nantinya, di kawasan tersebut hanya boleh memakai air perpipaan. Air tanah hanya sebagai cadangan saja, ketika ada persoalan dengan distribusi air minum perpipaan.
Guna mencukupi kebutuhan air bersih pada zona zero deep well tersebut, PAM berjanji bakal menaikkan layanannya, termasuk dengan menambah kapasitas air.