Pemerintah Sebut Tak Ada Pelanggaran Undang-undang soal Fungsi Organisasi Dewan Pers

Usman mengatakan, Dewan Pers tidak dapat ditafsirkan sebagai badan yang menghalangi hak organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers.

oleh Muhammad Radityo Priyasmoro diperbarui 12 Okt 2021, 17:03 WIB
Diterbitkan 12 Okt 2021, 17:03 WIB
Ilustrasi Mahkamah Konstitusi (MK)
Ilustrasi Mahkamah Konstitusi (MK) (Liputan6/Putu Merta)

Liputan6.com, Jakarta Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang diwakili oleh Menkumham Yasonna H Laoly serta Menkominfo Johny G Plate sebagai kuasa hukumnya, menegaskan bahwa Dewan Pers tak bertindak sebagai lembaga pembentuk atau regulator.

Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Kominfo, Usman Kansong saat sidang lanjutan gugatan uji materi terhadap Pasal 15 ayat (2) huruf f dan Pasal 15 ayat (5) Undang-Undang Pers di Mahkamah Konstitusi pada Senin 11 Oktober 2021.

"Dewan Pers tidak bertindak sebagai lembaga pembentuk atau regulator karena berdasarkan ketentuan a quo UU pers, penyusunan peraturan-peraturan di bidang pers dilakukan oleh organisasi-organisasi pers," kata dia seperti dikutip dari channel Youtube Mahkamah Konstitusi, Selasa (12/10/2021).

Karena itu, menurut Usman, Dewan Pers tidak dapat ditafsirkan sebagai badan yang menghalangi hak organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers. Sebab, justru Dewan Pers yang memfasilitasi mereka dalam menyusun tata aturannya.

"Ketentuan a quo Undang-Undang Pers telah amat jelas memiliki makna seperti itu tanpa perlu ada pemaknaan lain," kata dia.

Dalam kesempatan itu, Usman juga menuturkan Dewan Pers bukanlah nomenklatur dan entitas yang dimaksud dalam pasal 15 ayat 1 UU Pers.

Berdasarkan hal tersebut, Dewan Pers Indonesia yang di mana pemohon menjadi anggotanya tidak memerlukan penetapan dari presiden dalam bentuk Kepres, dan tidak ditanggapinya permohonan penetapan anggota Dewan Pers Indonesia oleh Presiden bukan perlakuan diskriminatif.

"Karenanya hal itu tidak melanggar pasal 28 d ayat 1 dan 28 l ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, melainkan suatu tindakan yang sesuai hukum berlaku," kata dia.

 

Gugatan

Tiga wartawan mengajukan gugatan dan uji materi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam gugatannya, ketiganya merasa hak konstitusionalnya dirugikan atas dua pasal dalam undang-undang tersebut.

"Pemohon I, II, dan III sebagai perorangan warga negara Indonesia merasa dirugikan hak konstitusionalnya untuk mendapatkan kepastian hukum dan perlindungan sebagai pribadi," kata kuasa hukum para pemohon Vincent Suriadinata dalam perkara Nomor 38/PUU-XIX/2021 di Jakarta, Rabu (25/8/2021).

Perlindungan sebagai pribadi tersebut, sambung dia, terkait ketidakjelasan tafsir Pasal 15 ayat (2) huruf f dan Pasal 15 ayat (5) UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Kerugian hak-hak konstitusional para pemohon dibuktikan dengan terhalangnya hak organisasi pers berbadan hukum untuk menyusun peraturan-peraturan organisasi pers secara mandiri.

Selain itu, para pemohon juga merasa dirugikan karena terhalangnya organisasi pers yang berbadan hukum, perusahaan pers berbadan hukum serta wartawan organisasi pers untuk membentuk dewan pers yang independen, memilih, dan dipilih sebagai anggota secara demokratis.

Selanjutnya, kerugian konstitusional pemohon adalah akibat ketidakjelasan tafsir Pasal 15 ayat (5) UU Pers yang dibuktikan dengan adanya keresahan insan pers pada saat pemohon menyelenggarakan musyawarah besar pers Indonesia 2018 dan dilanjutkan dengan kongres pers Indonesia 2019.

Dari hasil kongres tersebut, menghasilkan terpilihnya anggota Dewan Pers Indonesia. Akan tetapi, hasil pemilihan yang ditetapkan melalui putusan pimpinan sidang pleno tersebut tidak mendapatkan kepastian hukum dan keadilan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya