Keluarga Korban Kebakaran Lapas Tangerang Mengadu ke Komnas HAM

Tim Advokasi Korban Kebakaran Lapas Kelas I Tangerang menemukan setidaknya tujuh poin penting dari tragedi itu yang kemudian diadukan ke Komnas HAM.

oleh Rita Ayuningtyas diperbarui 28 Okt 2021, 18:29 WIB
Diterbitkan 28 Okt 2021, 18:29 WIB
Duka Keluarga Korban Kebakaran Datangi Lapas Tangerang
Salah satu keluarga korban saat menunggu di dalam bus di Lapas Kelas I Tangerang, Rabu (8/9/2021). Pasca kebakaran yang melanda Lapas Tangerang, sejumlah keluarga korban mulai berdatangan ke posko crisis center untuk kepentingan identifikasi. (Liputan6.com/Iqbal S Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta Sejumlah keluarga korban kebakaran Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Tangerang, Banten, didampingi sejumlah lembaga bantuan hukum mendatangi Kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Mereka mengadu soal kasus kebakaran yang menewaskan 49 narapidana Lapas Tangerang tersebut.

"Kami melaporkan temuan dari pengakuan keluarga korban dan melaporkan temuan tersebut ke Komnas HAM," kata Perwakilan Tim Advokasi Korban Kebakaran Lapas Kelas I Tangerang Ma'ruf Bajammal di Jakarta, seperti dilansir Antara, Kamis (28/10/2021).

Pengaduan tersebut bermula ketika Tim Advokasi Korban Kebakaran Lapas Kelas I Tangerang yang terdiri atas LBH Masyarakat (LBHM), LBH Jakarta, Imparsial, dan LPBH NU Tangerang membuka posko pengaduan.

Selama itu, kata dia, pihaknya menerima sembilan pengaduan dan tujuh di antaranya memberi kuasa untuk meminta pendampingan hukum.

Tim Advokasi Korban Kebakaran Lapas Kelas I Tangerang menemukan setidaknya tujuh poin penting dari tragedi memilukan tersebut, berdasarkan pengakuan para keluarga korban.

Pertama, adanya ketidakjelasan proses identifikasi tubuh korban yang meninggal dunia. Dengan kata lain, identifikasi yang dilakukan dinilainya tidak transparan. Bahkan, sampai korban dimakamkan tidak ada informasi jelas yang diterima oleh ahli waris.

"Jadi apa dasar identifikasi korban tersebut bisa teridentifikasi," kata Ma'ruf.

Poin kedua, yakni adanya ketidakterbukaan penyerahan jenazah korban yang meninggal dunia. Pada saat jenazah diserahkan, pihak keluarga ingin melihat namun disarankan oleh petugas agar tidak melihatnya.

Para keluarga korban terutama yang mengadu tetap bersikukuh ingin melihat untuk terakhir kalinya namun tetap saja tidak bisa. Selanjutnya, tim menemukan ketidaklayakan peti jenazah korban yang hanya terbuat dari triplek.

"Menurut keluarga korban peti tersebut tidak layak menjadi peti jenazah," ujar Ma'ruf.

Bahkan, ada keluarga korban yang terpaksa membeli sendiri peti jenazah karena menilai peti yang disediakan pemerintah tidak layak untuk pemakaman anggota keluarganya.

 

Ada Dugaan Intimidasi ke Keluarga Korban

Temuan keempat, yakni adanya indikasi intimidasi saat ahli waris menandatangani surat administrasi pengambilan jenazah korban. Saat akan menandatangani surat tersebut, keluarga korban diminta secepatnya menyelesaikan.

"Atas dasar itu kami melihat adanya upaya intimidasi saat proses penandatanganan penyerahan jenazah," ujar Ma'ruf.

Temuan kelima, yakni terdapat upaya pembungkaman agar para keluarga korban tidak menuntut pihak manapun atas peristiwa kebakaran Lapas Kelas I Tangerang. Hal itu diperkuat melalui sepucuk surat yang harus ditandatangani ahli waris.

Poin keenam, tim menemukan tidak adanya pendampingan psikologis berkelanjutan yang dilakukan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), pascapenyerahan jenazah.

Akibatnya, ada keluarga korban yang hingga saat ini ketika mendengar kata bakar atau melihat sesuatu yang dibakar merasa trauma atau tidak kuat.

Poin k​​​​​​etujuh, terkait pemberian uang duka senilai Rp 30 juta dinilainya sama sekali tidak cukup.

"Uang tersebut hanya habis untuk penghiburan atau kegiatan berdoa keluarga korban saja. Bahkan, ada yang terpaksa menomboki untuk kegiatan pascapemakaman," kata Ma'ruf.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya