Permendikbudristek Nomor 30/2021 Diminta Direvisi dengan Libatkan Partisipasi Publik

Upaya ini perlu dilakukan menurut Tholabi semata-mata agar substansi yang ingin dicapai dari Permendikbudristek ini tidak menjadi bias dan misleading.

oleh Yopi Makdori diperbarui 10 Nov 2021, 11:23 WIB
Diterbitkan 10 Nov 2021, 11:23 WIB
Menteri Nadiem Makarim
Menteri Nadiem Makarim saat memberikan sambutan pada peresmian revitalisasi gedung SMK Negeri 2, 5, dan 6 Surakarta.

Liputan6.com, Jakarta Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, A. Tholabi Kharlie mendesak Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim agar menampung aspirasi publik terkait polemik dalam Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus. Tholabi meminta Nadiem agar segera mengevaluasi aturan kontroversial tersebut.

"Saran saya sebaiknya segera dievaluasi dan diperbaiki. Aspirasi yang muncul di publik harus direspons dengan baik. Aturan yang baik dalam proses pembentukannya tentu harus melibatkan partisipasi publik yang sebanyak-banyaknya, sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan," ingat Tholabi dalam keterangan tulis, Rabu (10/11/2021).

Upaya ini perlu dilakukan menurut Tholabi semata-mata agar substansi yang ingin dicapai dari Permendikbudristek ini tidak menjadi bias dan misleading. Sebabnya dalam beleid itu terdapat norma yang justru menimbulkan persoalan baru. Hal ini yang kemudian menimbulkan reaksi publik yang cukup luas.

Sebut saja perihal definisi kekerasan seksual yang tertuang di Pasal 5 Ayat (2) Huruf b, f, g, h, l, m yang dianggap secara terang-terangan mengintrodusir tentang konsep consent atau voluntary agreement, persetujuan aktivitas seks yang tidak dipaksakan.

"Dalam konteks norma yang dimaksud adalah larangan melakukan perbuatan seks tanpa persetujuan korban," papar Tholabi.

Di norma berikutnya, lanjut Tholabi, yakni di Pasal 5 Ayat (3) membuat kategorisasi tidak legalnya persetujuan aktivitas seks sebagaimana disebutkan di Pasal 5 ayat (2) bila korban dalam keadaan belum dewasa, di bawah tekanan, di bawah pengaruh obat-obatan, tidak sadar, kondisi fisik/psikologis yang rentan, lumpuh sementara atau mengalami kondisi terguncang.

"Konsepsi consent diadopsi penuh dalam belied ini. Di sini letak krusialnya," sebut Tholabi.

Padahal, imbuh Tholabi, perdebatan serupa pernah terjadi saat pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang juga mengakomodasi konsep "consent" terkait dengan aktivitas seks.

"Meski dalam draf RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang terbaru dari Baleg DPR, norma tentang consent ini makin berkurang jauh dibanding saat draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Permendikbudristek No. 30 tahun 2021 ini seperti memutar kaset lama, ruang publik kembali gaduh. Ini yang menjadi kontraproduktif," sesal Tholabi.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Tak Dikenal dalam Hukum Tanah Air

Terkait dengan konsep consent dalam kaitan hubungan seksual, sejatinya tidak dikenal dalam khazanah hukum di Indonesia. Konsepsi persetujuan lebih pada konteks relasi antara pasien dan tenaga kesehatan dalam melakukan tindakan atau terkait dengan hubungan keperdataan antarindividu.

"Mengakomodasi konsep consent dalam urusan hubungan seks, itu bertolak belakang dengan kaidah agama, kesusilaan, dan kaidah hukum yang dituangkan antara lain melalui UU Perkawinan," tandas Tholabi.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya