ICW: Pimpinan KPK Sekarang Tak Henti Hasilkan Kontroversi

Kurnia mengatakan demikian menanggapi pernyataan Alex yang menyebut kepala daerah yang korupsi dengan nilai kecil tidak perlu dipenjara asal mengembalikan uang negara yang mereka ambil.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 03 Des 2021, 10:23 WIB
Diterbitkan 03 Des 2021, 10:22 WIB
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana. (Merdeka.com/Ahda Bayhaqi)

Liputan6.com, Jakarta Indonesia Coruption Watch (ICW) kembali mengkritik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kali ini kritikan ditujukan kepada Wakil Ketua KPK Alexander Marwata atau Alex. Menurut ICW, pimpinan KPK sekarang kerap menghasilkan kontroversi.

"Rasanya Komisioner KPK periode 2019-2023 tidak henti-hentinya menghasilkan kontroversi di tengah masyarakat," ujar Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Jumat (3/12/2021).

Kurnia mengatakan demikian menanggapi pernyataan Alex yang menyebut kepala daerah yang korupsi dengan nilai kecil tidak perlu dipenjara asal mengembalikan uang negara yang mereka ambil.

Kemudian kontroversi yang baru saja terjadi yakni soal kenaikan harta Nurul Ghufron yang mencapai Rp 4,25 miliar dalam setahun. Belum lagi soal Firli Bahuri yang setuju dengan hukuman mati untuk para koruptor.

"Dalam satu bulan terakhir saja, setidaknya tiga Komisioner KPK telah bertindak serupa. Mulai dari Firli dengan pencitraan menggembar-gemborkan hukuman mati, kemudian Ghufron terkait peningkatan harta kekayaan yang sangat drastis, terakhir Marwata perihal kepala desa," kata Alex.

Terkait dengan pernyataan Alex, Kurnia meminta Alex kembali membaca Undang-undang Tipikor. Menurut Kurnia, Alex tak memahami Pasal 4 UU Tipikor yang secara tegas menyebutkan bahwa mengembalikan kerugian negara tidak menghapus pidana seseorang.

"Selain itu, praktik korupsi tidak bisa dinilai besar atau kecil hanya dengan mempertimbangkan jumlah uangnya saja. Misalnya, korupsi puluhan juta. Secara nominal, mungkin kecil, tapi bagaimana jika dilakukan terhadap sektor esensial yang berdampak pada hajat hidup masyarakat desa? Atau, korupsi dengan jumlah seperti itu, tapi melibatkan aparat penegak hukum, atau pejabat daerah setempat? Jadi, pendapat Marwata itu terlihat menyederhanakan permasalahan korupsi," kata Kurnia.

Menurut Kurnia, keliru jika Alex menyatakan demikian untuk mendorong restorative justice. Menurutnya, restorative justice tidak tepat dilakukan terhadap kejahatan kompleks seperti korupsi, terlebih lagi korupsi sudah dikategorikan sebagai extraordinary crime.

"Pernyataan Marwata itu akan berdampak cukup serius. Bukan tidak mungkin kepala desa yang korup akan semakin terpacu untuk melakukan praktik culas itu, toh, ketika ingin diusut penegak hukum, mereka dapat terbebas jerat hukum asal mengembalikan dananya sebagaimana usul Marwata," kata Kurnia.

Dengan banyaknya kontroversi dilakukan pimpinan KPK, Kurnia mempertanyakan tujuan awal mereka menjadi komisioner di lembaga antirasuah.

"Hingga saat ini ICW tidak memahami apa tujuan mereka menduduki jabatan sebagai Komisioner KPK. Memberantas korupsi atau hanya sekadar mencari sensasi dengan segala kontroversinya?," kata Kurnia.

Kepala Desa Korupsi Bisa Tak Dipidana

Sebelumnya, Alex berpendapat kepala desa bisa mengembalikan uang yang dikorupsi kecil tanpa harus dipenjara lewat putusan pengadilan. Alex menilai lebih tepat kepala desa tersebut dipecat berdasarkan musyawarah yang melibatkan masyarakat setempat.

"Kalau ada kepala desa taruhlah betul terbukti ngambil duit tapi nilainya enggak seberapa, kalau diproses sampai ke pengadilan, biayanya lebih gede," ujar Alex di Peluncuran Desa Antikorupsi di Kampung Mataraman Panggungharjo, Bantul, Yogyakarta, Rabu 1 Desember 2021.

"Artinya apa? Enggak efektif, enggak efisien, negara lebih banyak keluar duitnya dibandingkan apa yang nanti kita peroleh. Ya sudah suruh kembalikan, ya, kalau ada ketentuannya pecat kepala desanya," kata Alex.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya