HEADLINE: Erupsi Tak Terduga Gunung Semeru, Bahaya Belum Berlalu?

Gunung Semeru yang ada di Kabupaten Lumajang dan Malang, Jawa Timur meletus Sabtu 4 Desember 2021. Ribuan warga terdampak, belasan jiwa melayang, dan puluhan orang masih hilang.

oleh Dian KurniawanZainul ArifinIka DefiantiHuyogo SimbolonYopi Makdori diperbarui 09 Des 2021, 06:37 WIB
Diterbitkan 07 Des 2021, 00:00 WIB
FOTO: Yang Tersisa dari Amukan Erupsi Gunung Semeru
Warga melihat jembatan yang rusak akibat abu vulkanik pascaerupsi Gunung Semeru di Lumajang, Jawa Timur, 5 Desember 2021. Sebanyak 14 orang meninggal dunia dan 69 mengalami luka-luka akibat erupsi Gunung Semeru. (AP Photo/Hendra Permana)

Liputan6.com, Jakarta - Sabtu sore, 4 Desember 2021, Gunung Semeru meletus. Awan raksasa bergumpal-gumpal keluar dari kawah gunung api yang ada di wilayah Kabupaten Lumajang dan Malang, Jawa Timur itu. Seketika, warga berhamburan menyelamatkan diri.

"Ya Allah, Ya Allah, Allah... Astaghfirullah..."

Dalam video amatir yang beredar, tampak anak-anak hingga orang dewasa berlarian menjauhi gunung. Suara takbir dan istighfar terdengar dari warga yang panik berhamburan.

Sementara di belakangnya terlihat awan raksasa berwarna kelabu menutupi seluruh Gunung Semeru. Gunung api setinggi 3.676 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu sama sekali tak terlihat.

Kebanyakan warga merasa terkejut lantaran erupsi besar tiba-tiba terjadi tanpa adanya tanda yang signifikan. Namun begitu, Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Andiani memastikan bahwa early warning system atau sistem peringatan dini di kawasan Gunung Semeru sudah berjalan.

Berdasarkan pengamatan PVMBG, telah terjadi peningkatan aktivitas Semeru sejak 1 Desember 2021, berupa guguran atau pun awan panas. Data aktivitas vulkanik itu juga sudah dilaporkan ke Pemerintah Daerah (Pemda) setempat.

"Kemudian pertanyaannya kenapa masih ada korban? Nah ini juga yang menjadi PR (pekerjaan rumah) dari teman-teman Pemda. Karena sebetulnya sudah ada komunikasi antara kami dengan teman-teman di daerah terkait dengan aktivitas Semeru ini," ujar Andiani saat konferensi pers, Senin (6/12/2021).

Selain melaporkan secara terus menerus aktivitas Gunung Semeru, PVMBG juga telah menerbitkan peta kawasan rawan bencana (KRB). Seluruh laporan aktivitas gunung api dan peta KRB bisa diperoleh masyarakat di aplikasi dan situs resmi PVMBG Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Namun begitu, Andiani mengakui pihaknya kesulitan memprediksi kemunculan awan panas guguran Gunung Semeru seperti yang terjadi pada Sabtu kemarin. Dia juga tak menampik bahwa potensi muntahan awan panas masih ada.

"Potensi masih ada, tapi kalau ditanya kapan itu terjadi? Bagi kami sulit menjawab itu. Karena kesulitan kami, maka itulah kami perlu melakukan monitoring," ujar dia.

Monitoring dibutuhkan demi mendeteksi getaran gempa sesaat sebelum erupsi terjadi. Maka jika Semeru akan kembali memuntahkan gugurannya, PVMBG sudah bisa mengetahui lewat tanda-tanda getaran yang ditimbulkan. 

"Dan setelah getaran-getaran itu tercatat ke atas, maka segera kami sampaikan ke WA grup untuk disampaikan ke masyarakat," ujar dia.

Andiani memastikan, bahwa PVMBG akan terus memonitor aktivitas seluruh gunung api di Indonesia, termasuk Gunung Semeru. Tercatat pada Senin pagi, 6 Desember 2021, Gunung Semeru kembali memuntahkan awan panas guguran sebanyak dua kali, yakni pada sekitar pukul 3.30 WIB dan antara pukul 8.00-9.00 WIB.

"Dengan jarak luncur antara 2,5 hingga 4 kilometer. Sehingga kami menyarankan warga agar menghindari daerah-daerah ancaman guguran awan panas," katanya.

Sementara itu, berdasarkan pengamatan visual PVMBG, aktivitas Gunung Semeru sebelum erupsi pada 4 Desember 2021 kemarin didominasi oleh gempa permukaan. Aktivitas itu tidak menunjukkan adanya kenaikan jumlah dan jenis gempa yang berasosiasi pada suplai magma atau batuan segar ke permukaan.

Selama periode 1-30 November 2021, Gunung Semeru masih terlihat jelas hingga tertutup kabut. Erupsi terjadi tapi tidak terus menerus. Embusan gas dari kawah utama teramati berwarna putih dan kelabu dengan intensitas sedang hingga tebal tinggi sekitar 100-600 meter dari puncak.

Sedangkan pada 1 Desember 2021 terjadi awan panas guguran dengan jarak luncur 1.700 meter dari puncak, atau 700 meter dari ujung aliran lava mengarah ke tenggara. Selanjutnya terjadi guguran lava dengan jarak dan arah luncur tidak teramati.

Kemudian pada 4 Desember 2021 mulai pukul 13.30 WIB, terekam getaran banjir. Selanjutnya pukul 14.50 WIB teramati awan panas guguran dengan jarak luncur 4 kilometer dari puncak atau 2 kilometer dari ujung aliran lava ke arah tenggara atau ke Besuk Kobokan. Inilah awan panas guguran yang paling besar terjadi.

Hingga Senin siang, 6 Desember 2021, tercatat jumlah warga terdampak bencana letusan Gunung Semeru ini mencapai 5.205 jiwa, 27 orang dilaporkan masih hilang, dan 15 orang meninggal dunia. Sementara korban luka per Minggu sore, tercatat berjumlah 56 orang.

Selain berdampak pada korban jiwa, awan panas guguran Gunung Semeru juga merusak sektor pemukiman dan infrastrukur di Kabupaten Lumajang. Data sementara menyebutkan, rumah terdampak berjumlah 2.970 unit, fasilitas pendidikan 38 unit, dan jembatan putus 1 unit (Gladak Perak yang berada di Desa Curah Kobokan, penghubung antara Lumajang dan Malang).

Ahli Vulkanologi, Surono mengatakan bahwa bencana alam Gunung Semeru pada Sabtu lalu bukan erupsi. Menurut dia, yang terjadi kemarin adalah awan panas guguran (APG) akibat longsoran kubah lava.

"Itu saya katakan bukan erupsi. Erupsi Semeru itu baik-baik aja itu Semerunya. Erupsi Semeru itu hanya berupa abu, berupa uap air, berupa material kerikil yang jatuh di sekitar puncak, tapi dia membentuk kubah," ujarnya saat dihubungi Liputan6.com, Senin.

Pria yang akrab disapa Mbah Rono ini menjelaskan, bahwa Semeru merupakan salah satu gunung yang sangat aktif membentuk kubah lava. Apabila kubah lava ini longsor dalam jumlah besar, maka akan diikuti oleh awan panas guguran seperti yang terjadi kemarin.

"Karena lavanya meleleh terus kan, nah kubahnya itu lama-lama longsor dan longsor itu yang menghasilkan awan panas kemarin. Jadi tidak ada kaitannya dengan letusan," katanya menjelaskan.

Itu sebabnya, luncuran awan panas atau wedhus gembel Gunung Semeru yang terjadi Sabtu kemarin begitu dahsyat dan seperti tidak terduga hingga menimbulkan jatuhnya korban jiwa dan luka-luka. Apalagi peristiwa terjadi saat hujan, sehingga berpotensi lebih besar membawa material awan panas ke sungai yang berhulu di Gunung Semeru.

"Biasanya mereka (warga atau penambang pasir) punya warning kalau ada lahar datang, lahar kan jalannya pelan dan mereka bisa menghindar. Nah kemarin pas ada warning yang datang awan panas kecepatannya tinggi, ya enggak bisa mereka menghindar. Biasanya lahar keluar belasan kilometer per jam, ini kan awan panas ratusan kilometer per jam," ucap Mbah Rono.

Infografis Kejutan Tak Terduga Erupsi Gunung Semeru. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Kejutan Tak Terduga Erupsi Gunung Semeru. (Liputan6.com/Abdillah)

Ahli Vulkanologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Mirzam Abdurrachman mengatakan, ada tiga hal yang menyebabkan sebuah gunung api bisa meletus. Pertama karena volume di dapur magmanya sudah penuh, kedua karena ada longsoran di dapur magma yang disebabkan terjadinya pengkristalan magma, dan yang ketiga longsor di atas dapur magma.

“Faktor yang ketiga ini sepertinya yang terjadi di Semeru. Jadi, ketika curah hujannya cukup tinggi, abu vulkanik yang menahan di puncaknya baik dari akumulasi letusan sebelumnya terkikis oleh air, sehingga gunung api kehilangan beban,” kata Mirzam melalui keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Minggu (5/12/2021).

Menurut Mirzam, saat terjadi erupsi warga cenderung tidak merasakan adanya gempa, akan tetapi tetap terekam oleh seismograf. Hal ini disebabkan oleh sedikitnya material yang berada di dalam dapur magma.

Lebih jauh, ia mengatakan, material aliran lahar yang terjadi di Gunung Semeru merupakan akumulasi dari letusan sebelumnya yang menutupi kawah gunung tersebut.

“Terkikisnya material abu vulkanik yang berada di tudung gunung tersebut membuat beban yang menutup Semeru hilang sehingga membuat gunung mengalami erupsi,” ujarnya.

Meskipun isi dapur magmanya sedikit yang bisa dilihat dari aktivitas kegempaan, Gunung Semeru tetap bisa erupsi. Dosen pada Kelompok Keahlian Petrologi, Vulkanologi, dan Geokimia, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian (FITB) ini menjelaskan, Gunung Semeru merupakan salah satu gunung api aktif tipe A.

Berdasarkan data dan pengamatan yang dilakukan, Mirzam berkesimpulan bahwa Gunung Semeru memiliki interval letusan jangka pendeknya 1-2 tahun. Terakhir tercatat pernah juga mengalami letusan pada 2020 juga di Desember.

“Letusan kali ini, volume magmanya sebetulnya tidak banyak, tetapi abu vulkaniknya banyak, sebab akumulasi dari letusan sebelumnya,” ucapnya.

Menurut Mirzam, arah letusan gunung Semeru bisa diprediksi yaitu mengarah ke tenggara. Hal ini karena mengacu pada peta Geologi Semeru, bidang tempat lahirnya gunung ini tidak horizontal tetapi miring ke arah selatan.

“Kalau kita mengacu pada letusan 2020, arah abu vulkaniknya itu cenderung ke arah tenggara dan selatan karena anginnya berhembus ke arah tersebut begitu juga dengan aliran laharnya karena semua suangai yang berhulu ke puncak Semeru semua mengalir ke arah selatan dan tenggara,” katanya.

Mirzam mengindikasikan abu vulkanik Gunung Semeru cenderung berat yang ditandai dengan warnanya yang abu-abu pekat. Hal tersebut terlihat dari visual di puncak Gunung Semeru.

Sehingga ketika letusan-letusan sebelumnya terjadi, abu vulkaniknya jatuh menumpuk di hanya di sekitar area puncak gunung semeru, ini yang menjadi cikal bakal melimpahnya material lahar letusan 2021.

Potensi Bahaya Saat Erupsi dan Setelahnya

Saat Warga Selamatkan Benda Tersisa dari Amukan Erupsi Gunung Semeru
Warga menyelamatkan barang-barang mereka di daerah yang tertutup abu vulkanik setelah letusan gunung Semeru di desa Sumber Wuluh di Lumajang, Jawa Timur, Minggu (5/12/2021). BNPB menyatakan, korban meninggal akibat Gunung Semeru meletus mencapai 13 orang. (AFP /Juni Kriswanto)

Mirzam menjelaskan, bahaya dari gunung api secara umum ada dua, yaitu primer dan sekunder. Bahaya primer berkaitan dengan saat gunung meletus dan bahaya sekunder setelah gunung api tersebut meletus.

Sedangkan, bahaya primer dari letusan ialah aliran lava, wedus gembel, dan abu vulkanik. Sementara bahaya sekunder salah satunya adalah banjir bandang atau pun lahar.

“Dua-duanya sama-sama berbahaya,” katanya.

Andiani juga mengamini adanya potensi bencana banjir lahar pasca-erupsi yang terjadi pada Sabtu kemarin. Sebab, masih banyak material erupsi yang dimuntahkan dari gunung berapi ini.

"Dan ini volumenya sangat banyak. Sehingga apabila dengan curah hujan yang sekarang ini masih cukup tinggi hingga satu, dua bulan ke depan. Maka tentunya potensi lahar dingin juga masih tinggi untuk mengancam di sekitar Semeru, utamanya adalah bukaan kawah yang mengarah ke bagian selatan dan barat, di antaranya adalah Besuki," kata Kepala PVMBG ini.

Berdasarkan rilis resmi yang disampaikan PVMBG melalui laman resminya, Minggu (5/12/2021), setidaknya ada tiga potensi bahaya yang masih menghantui pascaletusan Gunung Semeru, Sabtu kemarin.

Potensi ancaman bahaya erupsi Gunung Semeru yang pertama berupa lontaran batuan pijar di sekitar puncak. Sedangkan material lontaran berukuran abu dapat tersebar lebih jauh tergantung arah dan kecepatan angin.

"Potensi ancaman bahaya lainnya berupa awan panas guguran, dan guguran batuan dari kubah atau ujung lidah lava ke sektor tenggara dan selatan dari puncak. Jika terjadi hujan dapat terjadi lahar di sepanjang aliran sungai yang berhulu di daerah puncak," bunyi keterangan resmi tersebut.

Saat ini, status Gunung Semeru masih berada di Level II Waspada. Dalam kondisi ini, warga dan wisatawan dilarang beraktivitas dalam radius satu kilometer dari kawah atau puncak Gunung Semeru. Juga pada jarak lima kilometer dari arah bukaan kawah di sektor selatan tenggara.

"Status ini kami rasa belum perlu untuk ditingkatkan, namun demikian kami rasa juga belum waktunya untuk diturunkan. Karena kejadian guguran awan panas juga sebelum-sebelumnya sudah terjadi, namun mungkin (dahulu) luncurannya tak sejauh seperti pada tanggal 4 Desember," kata Andiani.

PVMBG juga meminta warga mewaspadai kemungkinan munculnya awan panas guguran, guguran lava, dan lahar di sepanjang aliran sungai/lembah yang berhulu di puncak Gunung Semeru. Terutama di sepanjang aliran Besuk Kobokan, Besuk Bang, Besuk Kembar, dan Besuk Sarat.

Infografis Timbulkan Korban Jiwa hingga Putuskan Jembatan Gladak Perak. (Liputan6.com/Abdillah)

Sementara itu, Ahli Geologi Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Amien Widodo menyatakan, bahwa letusan Gunung Semeru pada Sabtu kemarin tidak ada kaitannya dengan gempa yang terjadi di Surabaya beberapa jam sebelumnya.

"Jauh, enggak ada kaitannya. Gempa Surabaya kejadiannya subuh dan Gunung Semeru sore," ujarnya kepada Liputan6.com, Senin (6/12/2021).

Terkait potensi selanjutnya, kata Amien, Semeru dari dulu sering meletus dengan skala kecil. "Letusan kecil-kecil itu ngumpul di atas. Dan kalau ada pemicu seperti hujan maka bisa turun menjadi wedus gembel. Tidak sampai berpotensi gempa setelah kejadian ini di Gunung Semeru," ujarnya.

Dia menuturkan, bahwa status Gunung Semeru pascaerupsi Sabtu kemarin hanya Waspada, dan tidak ada aktivitas vulkanik yang berarti.

"Tidak ada pengaruh yang lainnya kecuali debu Gunung Semeru saja yang terbawa angin ke mana-mana. Karena kemarin ada hujan maka awan panasnya atau debunya tidak ke mana-mana," sambungnya.

Secara terpisah, Guru Besar Geologi dan Kebencanaan Universitas Brawijaya Malang, Adi Susilo menuturkan bahwa musim hujan menjadi salah satu pemicu terbesar terjadinya bencana alam di Gunung Semeru.

Tumpukan material atau kubah lava tergerus hujan lalu turun menjadi lahar material panas. Berdasarkan data, setiap hari Gunung Semeru erupsi dalam skala kecil sebanyak 50 kali. Letupan kecil itu mengeluarkan material yang tertumpuk di atas.

“Hujan jadi pemicu besar membuat tumpukan material tidak padat dan renggang di atas ambrol turun ke bawah menjadi lahar panas,” kata Adi Susilo di Malang, Senin, 6 Desember 2021.

Material vulkanik itu tidak mampu bertahan, ditambah kondisi curam sehingga jebol karena getaran dampak hujan. Meski dalam situasi hujan, guguran material pasir dan kerikil itu tetap menjadi lahar panas dan turun melalui sungai ke arah Lumajang.

“Jadi itu bukan hanya dari peningatan aktivitas vulkanik kemarin saja. Tapi tumpukan hasil erupsi atau letupan kecil sebelum-sebelumnya,” ujar Adi yang juga Kepala Pusat Studi Kebumian dan Mitigasi Bencana.

Meski begitu, peristiwa Gunung Semeru erupsi pada akhir pekan kemarin setidaknya jauh lebih baik. Sebab tumpukan material vulkanik sudah hampir terbawa turun semua. Bila tidak, justru berpotensi menimbulkan dampak lebih besar lagi.

“Kalau sekarang bisa jadi terjadi penumpukan baru karena setiap hari kan selalu ada letupan,” ucap Adi.

Adi Susilo menyebut jenis erupsi berupa lahar besar pernah terjadi sekitar 1970-an silam. Saat itu lahar menyapu banyak bangunan dan kebun warga termasuk di wilayah selatan Malang. Seharusnya bencana ini bisa diminimalisasi.

Peristiwa erupsi pada kali ini seharusnya membuat semua pihak bisa berjaga-jaga. Menyusun langkah mitigasi agar kelak bila terjadi peristiwa serupa maka bisa diminimalisasi dan tak menimbulkan korban jiwa.

“Mestinya volume material di atas Semeru itu bisa diprediksi. Entah dengan radar atau dengan teknologi lainnya,” kata Adi.

Hasil pemantauan kondisi di kubah lava Semeru tentang kemiringan curam dan tumpukan material pasir dan kerikil, dapat jadi langkah mitigasi. Bisa dilakuan tembakan dengan telemetri atau teknologi lainnya guna mencegah terjadinya bencana besar.

Aktivitas vulkanik melahirkan dua sisi yang berbeda yakni menjadi pendapatan bagi penambang pasir. Tapi di sisi kebencanaan seharusnya dapat diantisipasi oleh warga dan pemerintah daerah. Penambangan pasir harus tetap mematuhi aturan dan kewaspadaan bencana.

“Jangan sampai membangun rumah mendekati atau sungai-sungai karena ada potensi longsoran maupun banjir lahar,” ucap Adi.

Sejarah Panjang Letusan Gunung Semeru

FOTO: Yang Tersisa dari Amukan Erupsi Gunung Semeru
Seorang pria memeriksa truk yang tertimbun abu vulkanik pascaerupsi Gunung Semeru di Lumajang, Jawa Timur, 5 Desember 2021. Tiga jenazah ditemukan di dalam truk pasir yang terjebak erupsi Gunung Semeru. (AP Photo/Trisnadi)

Pada Sabtu sore (4/12/2021), Gunung Semeru yang berada di Lumajang Jawa Timur mengalami guguran awan panas. Material vulkanik yang terpantau pada pukul 15.20 WIB ini mengarah ke Besuk Kobokan, Desa Sapiturang, Kecamatan Pronojiwo, Lumajang. Semeru memiliki catatan panjang sejarah erupsi yang terekam pada 1818.

Catatan letusan yang terekam pada 1818 hingga 1913 tidak banyak informasi yang terdokumentasikan. Kemudian pada 1941-1942 terekam aktivitas vulkanik dengan durasi panjang. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menyebutkan leleran lava terjadi pada periode 21 September 1941 hingga Februari 1942. Saat itu letusan sampai di lereng sebelah timur dengan ketinggian 1.400 hingga 1.775 meter. Material vulkanik hingga menimbun pos pengairan Bantengan.

Selanjutnya beberapa aktivitas vulkanik tercatat beruntun pada 1945, 1946, 1947, 1950, 1951, 1952, 1953, 1954, 1955 – 1957, 1958, 1959, 1960. Tak berhenti sampai di sini, Gunung Semeru termasuk salah satu gunung api aktif yang melanjutkan aktivitas vulkaniknya. Seperti pada 1 Desember 1977, guguran lava menghasilkan awan panas guguran dengan jarak hingga 10 km di Besuk Kembar. Volume endapan material vulkanik yang teramati mencapai 6,4 juta m3. Awan panas juga mengarah ke wilayah Besuk Kobokan. Saat itu sawah, jembatan dan rumah warga rusak. Aktivitas vulkanik berlanjut dan tercatat pada 1978 – 1989.

PVMBG juga mencatat aktivitas vulkanik Gunung Semeru pada 1990, 1992, 1994, 2002, 2004, 2005, 2007 dan 2008. Pada tahun 2008, tercatat beberapa kali erupsi, yaitu pada rentang 15 Mei hingga 22 Mei 2008. Teramati pada 22 Mei 2008, empat kali guguran awan panas yang mengarah ke wilayah Besuk Kobokan dengan jarak luncur 2.500 meter.

Menurut data PVMBG, aktivitas Gunung Semeru berada di kawah Jonggring Seloko. Kawah ini berada di sisi tenggara puncak Mahameru. Sedangkan karakter letusannya, Gunung Semeru ini bertipe vulkanian dan strombolian yang terjadi 3 – 4 kali setiap jam. Karakter letusan vulcanian berupa letusan eksplosif yang dapat menghancurkan kubah dan lidah lava yang telah terbentuk sebelumnya. Sementara, karakter letusan strombolian biasanya terjadi pembentukan kawan dan lidah lava baru.

Saat ini Gunung Semeru berada pada status level II atau ‘waspada’ dengan rekomendasi sebagai berikut.

Pertama, masyarakat, pengunjung atau wisatawan tidak beraktivitas dalam radius 1 km dari kawah atau puncak Gunung Semeru dan jarak 5 Km arah bukaan kawah di sektor tenggara - selatan, serta mewaspadai awan panas guguran, guguran lava dan lahar di sepanjang aliran sungai atau lembah yang berhulu di puncak Gunung Semeru. Radius dan jarak rekomendasi ini akan dievaluasi terus untuk antisipasi jika terjadi gejala perubahan ancaman bahaya.

Kedua, masyarakat menjauhi atau tidak beraktivitas di area terdampak material awan panas karena saat ini suhunya masih tinggi.

Ketiga, perlu diwaspadai potensi luncuran di sepanjang lembah jalur awan panas Besuk Kobokan.

Keempat, mewaspadai ancaman lahar di alur sungai atau lembah yang berhulu di Gunung Semeru, mengingat banyaknya material vulkanik yang sudah terbentuk.

Terkait dengan perkembangan erupsi Gunung Semeru, BNPB mengimbau warga untuk tetap waspada dan siaga dengan memperhatikan rekomendasi yang telah dikeluarkan oleh PVMBG. BNPB terus memantau dan melakukan koordinasi dengan BPBD setempat dalam penanganan darurat erupsi.

Infografis Bahaya Tetap Mengintai di Kaki Semeru

Infografis Bahaya Tetap Mengintai di Kaki Semeru. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Bahaya Tetap Mengintai di Kaki Semeru. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya