Liputan6.com, Jakarta Mantan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang menyoroti tuntutan hukuman mati yang disampaikan jaksa terhadap Heru Hidayat, terdakwa kasus dugaan korupsi PT Asabri. Menurut dia, hukuman mati tidak seharusnya menjadi solusi dalam penegakan hukum di Indonesia.
"Saya tidak mau masuk ke materinya, tentang apa yang diperbuat yang bersangkutan. Namun sejarah menunjukkan hukuman mati tidak membangun peradaban hukum yang sustain. Sebaiknya dihukum sesuai hukum positif kita, misalnya seumur hidup penjara atau hukuman maksimal lainnya," tutur mantan Komisioner KPK itu dalam keterangannya, Sabtu (11/12/2021).
Baca Juga
Saut menyinggung soal Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia atau Corruption Perception Index (CPI) yang berada di posisi rendah yaitu di angka 37.
Advertisement
"Kita masih pada angka CPI 37. Kerjaan memati-matikan koruptor itu hanya seperti menembak segerombolan orang jahat yang sedang melakukan aksi, anggota kelompok yang lain kabur dan tiarap sementara untuk kemudian beraksi lagi kapan-kapan," jelas dia.
Saut menyampaikan, masih ada pilihan lain dalam upaya pemberantasan korupsi secara maksimal di Indonesia. Seperti vonis 100 tahun tanpa peduli besar atau kecil uang yang dikorupsi.
"Masih banyak opsi lain. Detail setiap kasus korupsi dalam hal persekongkolan kelompok dan peran siapapun harus dituntaskan. Tidak ada pembenaran penjara penuh, restorative justice dan lainnya. Kalau mau sustain memberantas korupsi, tidak ada cara lain kecuali dengan pendekatan kompleks yang mengadili siapa pun, besar atau kecil yang dicuri. Jadi bukan dengan pendekatan hukuman mati agar orang berhenti korupsi karena nilainya besar, misalnya," katanya.
Â
Ubah UU
Lebih lanjut, solusi dari persoalan hukuman mati yang kontroversial dalam tindak pidana korupsi adalah dengan memaksimalkan hukuman penahanan atau penjara seumur hidup. Namun itu berarti, harus ada perubahan dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Jadi kita ubah terlebih dahulu UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian memungkinkan kita bisa memenjarakan koruptor 100 atau 200 tahun, daripada sekadar jalan pintas buat UU Omnibus Law dan lainnya. Mengapa kita tidak belajar dari banyak negara soal pendekatan sistem dan menuntaskan masalah tone at top yang roller coaster di negeri ini," Saut menandaskan.
Advertisement
Tuntutan untuk Heru Hidayat
Sebelumnya, Komisaris Utama PT Trada Alam Minera, Heru Hidayat dituntut hukuman mati oleh jaksa penuntut umum pada Kejaksaan Agung (Kejagung). Jaksa menuntut Heru dalam perkara korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi pada PT Asuransi Sosial Bersenjata Republik Indonesia (Asabri).
Jaksa meyakini Heru melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
"Menuntut majelis menyatakan Terdakwa (Heru Hidayat) terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi dengan pemberatan secara bersama-sama dan tindak pidana pencucian uang," ujar jaksa dalam tuntutannya di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (6/12/2021) malam.
"Menghukum Terdakwa Heru Hidayat dengan pidana mati," jaksa menambahkan.
Jaksa juga menuntut hakim memberikan hukuman pidana berupa uang pengganti sebesar Rp 12,6 triliun ke Heru dengan ketentuan harus dibayar dalam jangka waktu satu bulan setelah vonis berkekuatan hukum tetap atau inkracht.
Jika tidak dibayar dalam jangka waktu satu bulan, maka harta bendanya akan disita dan dilelang untuk menutupi kekurangan uang pengganti. Jika harta bendanya tak mencukupi, maka tak ada pidana tambahan lantaran tuntutan mati.
Jaksa meyakini Heru Hidayat mendapat keuntungan tidak sah dari pengelolaan saham PT Asabri sebesar Rp 12,6 triliun. Keuntungan itu disamarkan oleh Heru Hidayat dengan pembelian aset. Atas dasar itu jaksa meyakini Heru terbukti melakukan TPPU.