Liputan6.com, Jakarta Anak sekolah dasar menjadi korban paling banyak dalam kasus kekerasan seksual. Pernyataan itu merupakan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2018-2019.
Komisioner KPAI Retno Listyarti mengatakan, anak jenjang sekolah dasar menjadi korban kekerasan seksual sebesar 64,7 persen, diikuti anak SMP 25,53 persen, dan SMA atau sederajat 11,77 persen.
Baca Juga
"Untuk total kasus yang berdasarkan jenjang pendidikan, paling tinggi adalah SD yaitu 64,7%, kasus kekerasan seksual yang kedua adalah di SMP dan sederajat dengan kasus 23,53%, sedangkan di jenjang SMA atau sederajat itu kasusnya 11,77%," ujar dalam diskusi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta (13/1/2021).
Advertisement
Lokasi kekerasan seksual di lingkungan sekolah biasanya terjadi di ruang kelas, ruang kepala sekolah, kebun sekolah, ruang laboratorium komputer, ruang ganti pakaian, ruang perpustakaan.
Ada juga kasus pelecehan seksual terjadi di tempat ibadah pada tahun 2018.
"Bahkan pada tahun 2018 ada kasus yang terjadi di di ruang mushola, ini adalah tempat-tempat dimana ketika kami datang, rata-rata tidak ada CCTV, mungkin ini penting juga untuk melihat ruang ruang atau tempat tempat yang bisa dipakai oleh pelaku," ujar Retno.
Retno menyebut, berbagai modus digunakan pelaku kekerasan seksual di sekolah. Seperti modus hafalan pelajaran, juga saat melakukan perkemahan dan pariwisata.
"Ada guru ini pakai modus hafalan, anak-anak yang sudah hafal surat suruh masuk gudang dan tidak dicurigai juga oleh pihak sekolah, masuk gudanng dan di dalam gudang itulah terjadi pelecehan seksualnya kemudian ruang BK dan juga terjadi di perkemahan serta di bus pariwisata," jelas Retno.
Modus Melalui Game Online
Selain itu, Retno mengungkap ada juga predator yang mengincar anak-anak melalui game online. Pelaku misalnya, meminta foto atau video terhadap anak-anak dengan berkenalan dalam game.
"Orang orang pelaku ini, predator anak ini adalah orang dewasa yang mengincar anak-anak, anak-anak itu pertama diiming-imingi kalau dikasih diamond (mata uang dalam game) dengan syarat foto telanjang, inilah kewajiban kita mengontrol anak, namun di ruang publik seperti sekolah harusnya itu tidak terjadi, apalagi di sekolah boarding school atau sekolah berasrama seharusnya harus berlapis pengawasannya," jelas Retno.
Reporter: Ahda Bayhaqi
Sumber: Merdeka.com
Advertisement