Liputan6.com, Jakarta - Polri mengingatkan kepada anggota yang bermaksud menduduki kursi kepala daerah untuk taat dan patuh terhadap aturan. Sebab, jajaran kepolisian tentunya memiliki aturan sendiri di lingkungan Polri.
"Secara hukum anggota Polri diperlakukan ada aturan, di mana anggota Polri apabila menjadi kepala daerah maka yang bersangkutan harus mengundurkan diri dari anggota Polri," tutur Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa (4/1/2021).
Baca Juga
Ahmad mengatakan, tidak ada anggota Polri yang memiliki jabatan ganda, dalam hal ini di tubuh kepolisian dan posisi strategis pemerintahan.
Advertisement
"Jadi tidak bisa, jadi kalau ada anggota Polri mau jadi kepala daerah yang bersangkutan harus mengundurkan diri dari Polri," kata Ahmad.
Sebelumnya, sebanyak 101 Kepala Daerah habis masa jabatannya tahun di 2022. Kekosongan kepemimpinan pemerintah daerah itu, nantinya bakal diisi oleh penjabat (Pj) kepala daerah hingga Pemilu serentak digelar tahun 2024.
Wakil Ketua Komisi II DPR Luqman Hakim menyebut, penunjukkan Pj harus dijauhkan dari upaya pihak tertentu membangun kaki tangan politik partisan demi kepentingan pemilu atau pilpres 2024. Ratusan Pj Kepala Daerah tidak boleh dirancang untuk menjadi batalion politik.
"Pertimbangan utama dalam menunjuk Penjabat Kepala Daerah, selain harus memenuhi aspek normatif yang dipersyaratkan UU, juga harus dijauhkan dari upaya pihak tertentu membangun kaki tangan politik partisan untuk kepentingan pemilu atau pilpres 2024. Ratusan Pj Kepala Daerah tidak boleh dirancang untuk menjadi 'batalion politik' yang akan bekerja untuk kepentingan partai atau capres/cawapres tertentu tahun 2024," katanya kepada merdeka.com, Selasa (4/1/2022).
Selain itu, yang ditunjuk sebagai Pj Kepala Daerah juga harus dipastikan figur Pancasilais sejati. Bukan mereka yang terpapar paham intoleransi dan radikalisme.
"Apakah di kalangan ASN, TNI dan Polri ada yang terpapar paham intoleransi dan radikalisme? Saya jawab tegas, ada!" ungkap Wasekjen PKB ini.
"Sungguh saya minta Presiden dan Mendagri menyiapkan cara yang tepat untuk mengidentifikasi melakukan profiling calon-calon Penjabat Kepala Daerah yang akan ditunjuk, sehingga hasilnya bukanlah mereka yang intoleran dan radikal!" tambahnya.
Luqman menambahkan, penunjukan Pj Kepala Daerah adalah murni kewenangan Presiden dan Mendagri. Tidak diperlukan konsultasi apalagi persetujuan DPR. Karena itu, tanggungjawab sepenuhnya ada di tangan Presiden dan Mendagri.
"Apabila SDM ASN kurang memadai, maka opsi sumber daya dari TNI dan Polri dapat dipertimbangkan. Sepanjang memenuhi ketentuan perundang-undangan," jelasnya.
Menurutnya, Penjabat Kepala Daerah diperlukan untuk mengisi kekosongan kepala daerah provinsi/kabupaten/kota yang telah berakhir periode dan belum ada hasil pemilihan kepala daerah yang definitif agar tidak terjadi kekosongan kekuasaan di suatu daerah.
Diketahui, kosongnya 101 kepala daerah masa jabatannya di tahun 2022 merupakan imbas dari tidak diubahnya Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada. Sejumlah jabatan kepala daerah tingkat provinsi, serta kabupaten/kota 'nganggur' dua tahun menunggu Pilkada.
UU Pilkada menegaskan, gelaran Pilkada tahun 2022 dan 2023 diundur ke tahun 2024. Selesai lima tahun atau belum lima tahun masa tugas kepala daerah tersebut.
Aturan soal PJ Kepala Daerah
Berikut aturan hukum yang mengatur Penunjukkan PJ Kepala Daerah dalam undang-undang:Pasal 201 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada berbunyi:
Ayat (3)
Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2017 menjabat sampai dengan tahun 2022.
Ayat (5)
Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023.
Ayat (8)
Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024.
Ayat (9)
Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang berakhir masa jabatannya tahun 2022 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2023 sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota melalui Pemilihan serentak nasional pada tahun 2024.
Ayat (10)
Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat penjabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (11)
Untuk mengisi kekosongan jabatan Bupati/Walikota, diangkat penjabat Bupati/Walikota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama sampai dengan pelantikan Bupati, dan Walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Advertisement