Kasus Satelit Kemhan 2015, Prabowo: Lagi Diproses Audit

Prabowo menyebut, audit tidak hanya dilakukan di internal Kemenhan melainkan juga melibatkan BPKP.

oleh Delvira Hutabarat diperbarui 20 Jan 2022, 21:34 WIB
Diterbitkan 20 Jan 2022, 15:53 WIB
Prabowo Rapat Perdana DPR
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto bersiap mengikuti rapat kerja dengan Komisi I DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (11/11/2019). Rapat perdana Komisi I bersama Menhan Prabowo ini membahas rencana kerja dan anggaran Kementerian Pertahanan Tahun 2020. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto angkat bicara soal dugaan penyalahgunaan penyelewengan dalam pengelolaan satelit yang merupakan proyek Kementerian Pertahanan (Kemhan) pada 2015, yang merugikan negara lebih dari Rp 800 milar.

Prabowo menyatakan saat ini phaknya sedang melakukan proses audit internal. “Iya satelit ini lagi diproses (audit),” kata Prabowo di Gedung Kemenhan, Kamis (20/1/2022).

Prabowo menyebut, audit tidak hanya dilakukan di internal Kemenhan melainkan juga melibatkan BPKP.

“Ada dan kita sudah minta juga pihak BPKP untuk audit,” kata Prabowo.

Sebelumnya, Menko Polhukam Mahfud Md menyebut kontrak satelit tersebut mencakup PT Avanti, Navayo, Airbus, Detente, Hogan Level, dan Telesat dalam kurun 2015 sampai 2016. Mahfud menyebut kontrak tersebut dilakukan Kemhan untuk membangun Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan).

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Nilai Kontrak Sangat Besar

Menurut dia, nilai kontrak untuk membangun proyek tersebut sangat besar dan belum masuk di APBN 2015 saat itu.

Kemudian, PT Avanti menggugat pemerintah Indonesia melalui London Court Internasional Arbitration karena Kemhan tak kunjung membayar sewa satelit sesuai nilai kontrak yang sudah diteken.

Selanjutnya, pengadilan arbitrase Inggris memutuskan bahwa pemerintah harus membayar sewa Satelit Artemis, biaya arbitrase, biaya konsultan, dan biaya filling satelit. Total yang harus dibayar pemerintah sebesar Rp 515 miliar.

Tak hanya itu, pemerintah juga diharuskan membayar USD 20.901.2019 atau sekitar Rp 304 miliar kepada pihak Navayo. Pemerintah juga berpotensi ditagih lagi oleh Airbus, Detente, Hogal Level, dan Telesat.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya