Gagal di Era SBY, Bisakah Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura Zaman Jokowi Diratifikasi?

Pemerintah Indonesia dan Singapura menyepakati perjanjian ekstradisi kedua negara di Bintan, Kepulauan Riau, Selasa 25 Januari 2022.

oleh Lizsa Egeham diperbarui 27 Jan 2022, 14:16 WIB
Diterbitkan 27 Jan 2022, 14:14 WIB
FOTO: Keakraban Presiden Jokowi dan PM Singapura Usai Pertemuan Bilateral
Presiden Joko Widodo (kanan) dan PM Singapura Lee Hsien Loong (kiri) saat melakukan pertemuan di The Shancaya Resort Bintan, Bintan, Kepulauan Riau, Selasa (25/1/2022). (Laily Rachev/Biro Pers Setpres)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Indonesia dan Singapura menyepakati perjanjian ekstradisi kedua negara di Bintan, Kepulauan Riau, Selasa 25 Januari 2022.

Perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura juga pernah dilakukan di era Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), namun gagal karena tidak diratifikasi atau disahkan oleh parlemen.

Perjanjian ekstradisi ini kembali diteken di era Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Perjanjian ekstradisi ini bertujuan mencegah dan memberantas tindak pidana yang bersifat lintas negara seperti korupsi, narkotika, dan terorisme.

"Untuk perjanjian ekstradisi, dalam perjanjian yang baru ini, masa retroaktif diperpanjang dari semula 15 tahun menjadi 18 tahun sesuai dengan Pasal 78 KUHP," jelas Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat menyampaikan keterangan pers usai perjanjian diteken di Bintan Kepulauan Riau, Selasa.

Kendati begitu, perjanjian ekstradisi Indonesia dan Singapura ini baru dapat diterapkan setelah DPR RI meratifikasinya. Hal ini memang proses lanjutan yang harus dilakukan setelah Indonesia-Singapura menekan perjanjian ekstradisi.

"Soal perjanjian ekstradisi, nanti proses berikutnya tentu adalah meminta persetujuan sebagai bentuk ratifikasi terhadap perjanjian itu oleh parlemen," kata Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani, Rabu 26 Januari 2021.

Dia menekankan, DPR RI hanya akan mendukung proses ratifikasi apabila perjanjian ekstradisi tersebut menguntungkan Indonesia dan Singapura. Asrul mengingatkan bahwa Indonesia pernah membuat perjanjian ekstradisi dengan Singapura pada sekitar 2007.

Dikutip dari laman resmi Sekretariat Kabinet, perjanjian ekstradisi itu diteken oleh Menteri Luar Negeri RI Hassan Wirajuda dan Menteri Luar Negeri Singapura George Yeo di Istana Tampaksiring Bali pada 27 April 2007. Kala itu, Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan PM Singapura Lee Hsien Loong ikut menyaksikan.

Namun, perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura yang ditandatangani pada tahun 2007 tersebut tidak dapat diberlakukan oleh kedua negara. Hal ini dikarenakan pemerintah Indonesia dan Singapura belum meratifikasi perjanjian tersebut.

Alasan DPR Tidak Meratifikasi

Ratifikasi merupakan pengesahan suatu dokumen negara oleh parlemen, khususnya pengesahaan UU, perjanjian antar negara, dan persetujuan hukum internasional. Dalam proses ratifikasi, DPR melakukan tinjauan utamanya sisi manfaat dari perjanjian internasional tersebut.

Berdasarkan penjelasan di situs Sekretariat Kabinet, alasan Indonesia dan Singapura belum meratifikasi perjanjian ekstradisi tersebut karena pemerintah kedua negara sepakat agar pengesahan Perjanjian Ekstradisi dilakukan secara paralel dengan pengesahan Perjanjian Kerja Sama Keamanan Indonesia-Singapura.

Dalam perkembangannya, Komisi I DPR RI 2004-2009 dalam Rapat Kerja dengan Menlu RI pada 25 Juni 2007, menolak untuk mengesahkan Perjanjian Kerja Sama Keamanan yang telah ditandatangani. Keputusan DPR RI ini kemudian berdampak pada proses ratifikasi Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura.

Arsul Sani menjelaskan saat itu DPR menolak proses ratifikasi karena perjanjian ekstradisi lebih menguntungkan pihak Singapura ketimbang Indonesia. Pasalnya,ekstradisi baru diberikan jika pemberian fasilitas wilayah udara Indonesia untuk pelatihan pertahanan Singapura.

"Nah, DPR akan melihatnya nanti, apakah perjanjian ekstradisi itu mengulang tidak, dibundling dengan kata-kata perjanjian lain yang kita tahu di tahun 2007, kalau tidak salah zaman pemerintahan Pak SBY kan juga pernah dibuat perjanjian yang sama," tutur Arsul.

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Prof Mudzakkir juga meminta DPR agar kritis terhadap materi perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura. Dia meminta DPR tak meratifikasi apabila perjanjian ekstradisi merugikan Indonesia.

"Kalau lebih banyak menguntungkan Singapura dan merugikan kepentingan politik, hukum dan ekonomi serta keamanan Indonesia sebaiknya tidak perlu diratifikasi," tutur Mudzakkir melalui pesan singkat, Kamis (27/1/2022).

Jenis Pidana yang Pelakunya Dapat Diekstradisi

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menjelaskan jenis-jenis tindak pidana yang pelakunya dapat diekstradisi menurut perjanjian ekstradisi ini berjumlah 31 jenis. Mulai dari, tindak pidana korupsi, pencucian uang, suap, perbankan, narkotika, terorisme, dan pendanaan kegiatan yang terkait dengan terorisme.

"Indonesia juga berhasil meyakinkan Singapura untuk menyepakati perjanjian ekstradisi yang bersifat progresif, fleksibel, dan antisipatif terhadap perkembangan, bentuk, dan modus tindak pidana saat ini dan di masa depan," kata Yasonna, 25 Januari 2022.

Melalui perjanjian ini, Indonesia dan Singapura sepakat melakukan ekstradisi bagi setiap orang yang ditemukan berada di wilayah negara diminta dan dicari oleh negara peminta. Hal ini termasuk untuk penuntutan atau persidangan atau pelaksanaan hukuman untuk tindak pidana yang dapat diekstradisi.

Hingga kini, Indonesia telah memiliki perjanjian dengan Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, Australia, Republik Korea, Republik Rakyat Tiongkok, dan Hong Kong SAR.

Dengan ditekennya perjanjian ekstradisi dengan Singapura, Yasonna meyakini perjanjian ekstradisi ini akan mempersempit ruang gerak pelaku tindak pidana di Indonesia dalam melarikan diri.

"Dengan perjanjian ekstradisi ini, maka koruptor hingga bandar narkoba tak lagi bisa bersembunyi di Singapura," ucap dia.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya