KPK Bawa 84 Bukti Lawan Gugatan Praperadilan Tersangka Korupsi Heli AW 101

Tim biro hukum KPK kembali menghadiri sidang praperadilan yang diajukan Jhon Irfan Kenway di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (16/3/2022).

oleh Fachrur Rozie diperbarui 16 Mar 2022, 19:50 WIB
Diterbitkan 16 Mar 2022, 19:50 WIB
KPK Rilis Indeks Penilaian Integritas 2017
Pekerja membersihkan debu yang menempel pada tembok dan logo KPK di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (21/11). KPK merilis Indeks Penilaian Integritas 2017. (Merdeka.com/Dwi Narwoko)

Liputan6.com, Jakarta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mempertahankan penetapan tersangka terhadap Jhon Irfan Kenway dalam kasus dugaan korupsi pengadaan Helikopter Agusta Westland (AW) 101 oleh TNI Angkatan Udara (AU).

Tim biro hukum KPK kembali menghadiri sidang praperadilan yang diajukan Jhon Irfan Kenway di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (16/3/2022). Agenda sidang kali ini pemeriksaan bukti pemohon dan termohon.

"KPK telah menyerahkan bukti sebanyak 84 bukti terdiri dari beberapa dokumen terkait perkara," ujar Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Rabu (16/3/2022).

Ali tak merinci dokumen apa yang disampaikan tim biro hukum kepada hakim PN Jaksel. Namun, Ali memastikan seluruh proses penanganan perkara Heli AW-101 sesuai dengan mekanisme hukum berlaku.

Menurut Ali, seluruh dalil gugatan yang diajukan oleh Jhon Irfan tidak benar dan keliru menurut hukum.

"Meskipun penyidikan sudah berjalan lebih dua tahun, KPK tetap berwenang melakukan penyidikan. Karena ketentuan UU KPK tidak mewajibkan KPK menghentikan penyidikan," kata Ali.

Terkait dengan penyelenggara negara yang penanganan kasusnya dihentikan Puspom TNI, Ali menyatakan hal tersebut tidak akan menghalangi KPK untuk tetap melakukan penyidikan.

"Karena penyidikan antara KPK dan Puspom TNI dilakukan secara terpisah," kata Ali.

 

Pemblokiran

Sementara soal pemblokiran uang negara yang ada dalam Escrow Account atan nama perusahahan Jhon Irfan menurut Ali adalah tindakan yang benar dilakukan KPK. Sebab, pemblokiran dalam rangka mengamankan uang negara.

"Demikian juga pemblokiran oleh KPK terhadap aset-aset milik pemohon yg didalilkan tidak terkait dengan tindak pidana, adalah sah karena pemohon juga tidak melakukan penyitaan namun hanya melakukan pemblokiran dalam rangka untuk jaminan pengembalian uang negara yang diperoleh pemohon," kata Ali.

"Tindakan pemblokiran juga tidak termasuk ranah kewenangan pemeriksaan hakim praperadilan," Ali menambahkan.

Sebelumnya, KPK kembali digugat secara praperadilan terkait kasus dugaan korupsi pengadaan helikopter Augusta Westland (AW)-101 oleh TNI AU. Gugatan dilayangkan Jhon Irfan Kenway ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel).

"Klasifikasi perkara, sah atau tidaknya penetapan tersangka," tulis sistem informasi penelusuran perkara (SIPP) PN Jaksel dikutip pada Selasa (8/2/2022).

 

Bukan yang Pertama

Ini bukan kali pertama Jhon Irfan mengajukan gugatan praperadilan. Pada 10 November 2021, Jhon Irfan juga menggugat KPK dan TNI atas kasus ini. Kini Jhon kembali menggugat KPK. Gugatan dia layangkan pada 2 Februari 2022.

Gugatan kedua Jhon Irfan ini teregistrasi dengan nomor surat: 10/Pid.Pra/2022/PN JKT.SEL.

Dalam gugatannya Jhon meminta KPK mencabut surat pemblokiran aset milik Jhon Irfan dan ibu kandungnya. Tercatat ada 16 aset yang diminta Jhon untuk dicabut surat pemblokirannya.

Selain itu, Jhon Irfan meminta hakim membatalkan pemblokiran uang negara sebesar Rp139,43 miliar. Uang itu ada di rekening PT. Diratama Jaya Mandiri.

"Memerintahkan termohon untuk mencabut pemblokiran uang negara sebesar 139,43 miliar pada rekening ascroo acount PT. Diratama Jaya Mandiri untuk dan tetap dikuasai oleh pemegang kas TNI Angkatan Udara," demikian tulis isi gugatan.

 

Soal Kasus Korupsi Heli

KPK dan TNI membongkar dugaan korupsi pengadaan helikopter AW-101 oleh TNI AU. Dalam kasus ini, KPK menetapkan Direktur Utama PT Diratama Jaya Mandiri Irfan Kurnia Saleh sebagai tersangka.

PT Diratama Jaya Mandiri diduga telah membuat kontrak langsung dengan produsen Heli AW-101 senilai Rp514 miliar. Namun, pada Februari 2016 setelah meneken kontrak dengan TNI AU, PT Diratama Jaya Mandiri menaikkan nilai jualnya menjadi Rp738 miliar.

Dalam kasus ini Puspom TNI juga menetapkan beberapa tersangka lain. Mereka adalah Wakil Gubernur Akademi Angkatan Udara Marsekal Pertama Fachri Adamy selaku pejabat pembuat komitmen atau kepala staf pengadaan TNI AU 2016-2017, Letnan Kolonel TNI AU (Adm) berinisial WW selaku pejabat pemegang kas, Pembantu Letnan Dua berinisial SS selaku staf Pekas, Kolonel FTS selaku kepala Unit Layanan Pengadaan dan Marsekal Muda TNI SB selaku asisten perencana kepala staf Angkatan Udara.

Selain menetapkan sebagai tersangka, KPK dan TNI juga menyita sejumlah uang sebesar Rp7,3 miliar dari WW. Puspom TNI bahkan sudah memblokir rekening PT Diratama Jaya Mandiri sebesar Rp139 miliar.

Namun belakangan TNI menghentikan penyidikan terhadap mereka. TNI beralasan tak memiliki bukti yang cukup untuk melanjutkan penyidikan kasus tersebut.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya