Komnas HAM Tanggapi Vonis Hukuman Mati Herry Wirawan

Kombas HAM menanggapi putusan Kejaksaan Tinggi Jawa Barat yang memvonis terpidana kasus perkosaan terhadap 13 santri Herry Wirawan dengan hukuman mati.

oleh Nanda Perdana Putra diperbarui 05 Apr 2022, 14:59 WIB
Diterbitkan 05 Apr 2022, 14:57 WIB
Herry Wirawan
Terdakwa pemerkosa belasan santri di Bandung, Herry Wirawan, keluar dari ruang persidangan setelah agenda sidang tuntutan di Pengadilan Negeri Bandung, Selasa (11/1/2022). (Foto: Humas Kejati Jabar)

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) menanggapi putusan Kejaksaan Tinggi Jawa Barat yang memvonis terpidana kasus perkosaan terhadap 13 santri Herry Wirawan dengan hukuman mati. Meski mendapat sambutan positif dari publik, hakim dinilai perlu memperhatikan beberapa hal.

"Sebagai lembaga negara di bidang hak asasi manusia, tentu saja sikap kami tidak hanya pada kasus ini tapi pada kasus-kasus hukuman mati yang lain, kami selalu ingin mengingatkan para penegak hukum terutama nanti hakim kasasi yang mungkin saja akan ditempuh oleh terpidana atau pengacaranya, kami berharap para hakim kasasi nanti mempertimbangkannya suatu tren global, di mana hukuman mati secara bertahap telah dihapuskan, hanya tinggal beberapa negara lagi yang masih mengadopsi hukuman mati termasuk Indonesia," tutur Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik lewat keterangan video, Selasa (5/4/2022).

Menurut Taufan, kalau diperhatikan dalam roadmap hukum pidana seperti RKUHP, memang masih ada hukuman mati namun tidak menjadi satu hukuman yang serta merta. Sebab, masih diberikan juga kesempatan kepada terpidana mati dalam satu periode tertentu untuk melalui assesment hingga evaluasi.

"Dan manakala terpidana mati itu melakukan perubahan-perubahan sikap misalnya, maka hukuman mati terhadap terpidana masih dimungkinkan untuk diturunkan kepada hukuman yang lebih ringan," jelas dia.

Taufan mengatakan, kasus Herry Wirawan bukanlah satu-satunya yang terjadi di Indonesia, yakni ada pula terjadi pada berbagai institusi agama, baik Islam maupun lainnya. Tindak kekerasan, praktik pemerkosaan, hingga pelecehan seksual dilakukan oleh pihak yang justru dipercaya untuk mengelola institusi pendidikan agama itu terhadap para murid dan orang di sekitarnya.

"Di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga sebetulnya sudah ada langkah-langkah untuk memperbaiki itu dengan keluarnya Permendikbuddikti tempo hari. Komnas HAM sangat mendukung, mengapresiasi, karena itu satu langkah yang sistemik dan sistematik dalam rangka mencegah terjadinya tindak kekerasan, tapi juga praktik-praktik perundungan seksual yang dialami oleh banyak pihak di perguruan tinggi," katanya.

Yang paling penting juga, lanjut Taufan, adalah penghormatan terhadap hak asasi manusia dan perlindungan terhadap korban. Termasuk juga pelaksanaan rehabilitasi perlu dibenahi, terutama dalam sistem pendidikan keagamaan yang seringkali menggunakan jargon keagamaan namun ada praktik kejahatan terselubung.

"Perlu dipahami juga dalam konteks ini Komnas HAM Tentu saja sangat berempati kepada korban. Bagi Komnas HAM, korban adalah pihak yang paling utama untuk diperhatikan, karena itu kami juga sangat kuat mendorong agar ada proses restitusi, proses rehabilitasi, dan perhatian yang lebih serius dalam kasus Herry Wirawan maupun kasus-kasus lainnya kepada korban, anak-anak yang ditimbulkan dari kekerasan seksual atau perkosaan ini," ujar Taufan.

"Sehingga apa yang mereka alami sekarang, suatu kesakitan karena fisik mereka juga terganggu, psikologis mereka terganggu, dan yang tidak kalah penting juga masa depan mereka terganggu, itu bisa dipulihkan secara bertahap dengan bantuan dan dukungan dari pemerintah dan seluruh institusi sosial yang ada. Kita harus bekerja sama untuk mengatasi itu dan fokus kepada pertolongan terhadap korban ini," sambungnya.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Hak Asasi Absolut

Kembali Taufan mengingatkan, bahwa ada satu tren yang bersifat global yakni abolisi atau dihapuskannya hukuman mati di berbagai belahan dunia. Menyandarkan juga pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28i ayat 1, bahwa dikatakan hak untuk hidup itu adalah hak yang tidak bisa dikurangi atau dibatasi dalam kondisi apa pun ,karena itu merupakan satu hak asasi yang absolut.

"Sekali lagi juga kalau kita lihat kajian-kajian terkait dengan penerapan hukuman mati, tidak ditemukan korelasi antara penerapan hukuman mati dengan efek jera atau pengurangan tindak pidana. Apakah itu tindak pidana kekerasan seksual, tindak pidana terorisme misalnya, atau narkoba, dan tindak pidana yang lainnya. Karena itu sekali lagi kita menginginkan ada satu peninjauan yang sebaik-baiknya dari hakim kasasi nanti, manakala misalnya terpidana mati ini Herry Wirawan maupun pengacaranya mengajukan kasasi," Taufan menandaskan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya