Sidang Eksepsi, Irjen Napoleon Bantah Aniaya M Kece Bersama-Sama

Tim Kuasa Hukum Irjen Napoleon Bonaparte menyebut, pasal 170 ayat 2 KUHP yang tertuang dalam dakwaan terkait penganiayaan secara bersama-sama terhadap M Kece ada kekeliruan.

oleh Liputan6.com diperbarui 07 Apr 2022, 15:35 WIB
Diterbitkan 07 Apr 2022, 15:31 WIB
Irjen Napoleon Bonaparte Divonis Empat Tahun Penjara
Terdakwa kasus suap penghapusan red notice Djoko Tjandra, Irjen (Pol) Napoleon Bonaparte saat menjalani sidang pembacaan putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (10/3/2021). Majelis Hakim memvonis terdakwa empat tahun penjara dan denda Rp100 juta. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Terdakwa Irjen Pol Napoleon Bonaparte menyebut, pasal 170 ayat 2 KUHP yang tertuang dalam dakwaan terkait penganiayaan secara bersama-sama terhadap Muhammad Kosman alias M Kece ada kekeliruan dan tidak tepat didakwakan kepada dirinya.

Hal itu sebagaimana pernyataan yang disampaikan kuasa hukum Irjen Napoleon melalui nota keberatan atau eksepsi atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) saat sidang di PN Jakarta Selatan, Kamis (7/4/2022). Bila tindakan penganiayaan Napoleon yang dilakukan secara bersama-sama keliru.

"Uraian perbuatan terdakwa Irjen Pol Drs Napoleon Bonaparte terhadap Muhamad Kosman alias Muhamad Kace di dalam Surat Dakwaan tersebut tidak cermat dan tidak jelas, bahkan saling bertentangan satu sama lain," kata Kuasa Hukum dalam eksepsinya.

Kekeliruan itu dijabarkan Kubu Napoleon, berkaitan tindakan secara bersama terdakwa lainnya yakni Dedy Wahyudi, Djafar Hamzah, Himawan Prasetyo, dan Hermeniko pada Kamis 26 Agustus 2021, atas penganiayaan secara bersama-sama terhadap M. Kece sebagaimana pasal 170 ayat (2) ke 1 KUHP.

Tim Kuasa Hukum menyebut, rangkaian perbuatan Napoleon sebenarnya bertolak belakang dan tidak memenuhi unsur objektif dari pasal 170 ayat (2) ke 1 KUHP. Lantaran, pada waktu dan tempat itu Napoleon hanya berada sendirian di kamar sel nomor 11 Rutan Bareskrim Polri.

"Sendirian (tidak bersama-sama) dengan orang lain telah melumurkan bungkusan yang berisi kotoran manusia tinja ke wajah Muhamad Kosman alias Muhamad Kece. Dengan demikian dapat dipahami bahwa isi Surat Dakwaan tentang perbuatan terdakwa Napoleon yang melumuri bungkusan berisi kotoran manusia/tinja tersebut tidak dilakukan bersama-sama dengan orang lain," tuturnya.

"Sehingga tidak memenuhi 'dengan tenaga bersama' unsur sebagaimana diwajibkan untuk memenuhi dakwaan dengan pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP," sambungnya.

 

Dakwaan

Terdakwa Napoleon Bonaparte Jalani Sidang Lanjutan Eksepsi
Terdakwa kasus dugaan suap penghapusan red notice Joko Tjandra, Irjen Pol Napoleon Bonaparte usai menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (9/11/2020)Sidang beragendakan pembacaan eksepsi atau nota keberatan yang dibacakan kuasa hukum terdakwa. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Tim Kuasa Hukum juga menilai, isi surat dakwaan secara nyata justru menguraikan perbuatan kekerasan kepada M Kece terjadi ketika Napoleon sedang mencuci tangan di ruang tahanan nomor 11.

Maka, surat dakwaan itu justru memiliki locus (tempat) tempus (waktu) berbeda ketika kejadian pemukulan yang dilakukan Dedy Wahyudi, Djafar Hamzah, Himawan Prasetyo, dan Hermeniko dengan posisi Napoleon yang sedang mencuci tangan.

"Dengan demikian dapat dipahami bahwa uraian perbuatan terdakwa Napoleon Bonaparte terhadap Muhamad Kosman alias Muhamad Kace di dalam Surat Dakwaan tersebut tidak cermat dan tidak jelas, bahkan saling bertentangan satu sama lain, sebagaimana diwajibkan di dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP (batal demi hukum)," katanya.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah membacakan dakwaannya terhadap Napoleon, Kamis (31/4/2022). Di mana Napoleon disebut turut menganiaya M Kace dengan tinja manusia di Rutan Bareskrim Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan pada Agustus 2021.

Tidak hanya itu, Muhammad Kace juga diduga mengalami tindakan kekerasan dari Napoleon seperti pemukulan bersama-sama dengan terdakwa lainnya yakni Harmeniko alias Choky alias Pak RT, serta Dedy Wahyudi, Djafar Hamzah, dan Himawan Prasetyo.

Sementara untuk Napoleon, JPU turut mendakwa dengan pasal 170 ayat 2 KUHP. Ayat 2 pasal itu menyebut pelaku penganiayaan dapat dipenjara maksimal hingga 7 tahun jika mengakibatkan luka pada korban.

Napoleon juga didakwa dengan pasal 170 ayat 1. Lalu, pasal 351 ayat 1 juncto Pasal 55 ayat (1) KUHP dan kedua Pasal 351 ayat (1) KUHP. Pasal 351 ayat 1 mengancam pelaku tindak pidana penganiayaan dengan ancaman hukuman paling lama dua tahun.

 

Napoleon Bonaparte Minta Kasus Penganiayaan M Kece Diselesaikan Restorative Justice

Napoleon Bonaparte Bersaksi di Sidang Tommy Sumardi
Irjen (Pol) Napoleon Bonaparte (tengah) bersiap menjadi saksi dalam sidang lanjutan dugaan suap penghapusan red notice Djoko Tjandra dengan terdakwa Tommy Sumardi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (24/11/2020). Sidang beragenda mendengar keterangan saksi. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Kuasa Hukum terdakwa Irjen Napoleon Bonaparte, Ahmad Yani meminta agar perkara kliennya atas dugaan tindak kekerasan terhadap Muhammad Kece diselesaikan secara keadilan restoratif atau restorative justice, sehingga kasus ini dapat dihentikan.

Permintaan itu disematkan Yani ketika mempertanyakan komitmen dari Jaksa Agung dan Kapolri berkaitan mengedepankan upaya penyelesaian hukum melalui mekanisme tersebut.

"Ada yang disebut restorative justice. Apakah yang ditandatangani pada 21 Juli oleh Jaksa Agung berlanjut tidak di negara Indonesia. Begitu juga surat edaran yang dikeluarkan Kapolri. Begitu juga janji Kapolri pada fit and proper di Komisi 3 DPR," kata Yani saat sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (17/3/2022).

Alasan tersebut, lanjut Yani, dilontarkan karenanya ada tiga pucuk surat pernyataan damai antara M Kece dengan Napoleon yang ditandatangani memakai materai untuk kasus ini diselesaikan secara kekeluargaan.

"Sesungguhnya jauh persidangan ini belum dimulai pada waktu proses BAP kita juga sudah mengajukan surat kepada Kapolri yang juga tembusannya kepada Jaksa Agung dan sesungguhnya saya sudah baca berkas perkara ada tiga lembar surat pernyatan itu yang tidak dimasukkan rangkaian berkas perkara," katanya.

Oleh sebab itu, Yani meminta kepada majelis hakim agar surat pernyataan perdamaian ini dijadikan pertimbangan majelis hakim. Terlebih, kasus ini dinilai sensitif bisa menimbulkan perpecahan sehingga bisa diselesaikan melalui restorative justice.

"Artinya kami tidak ingin bahwa proses kegaduhan akan terjadi lagi. Majelis tahu perkara ini sangat sensitif sekali. Dan ini bisa melakukan perpecahan masalah sosial kita yang mengalami disharmonisasi. Seharusnya perkara ini tidak dibawa ke pengadilan. Tapi ini sudah dibawa ke pengadilan," kata Yani.

 

Surat Pernyataan Damai M Kece dan Napoleon

Napoleon Bonaparte Bersaksi di Sidang Tommy Sumardi
Irjen (Pol) Napoleon Bonaparte sesaat jelang menjadi saksi dalam sidang lanjutan dugaan suap penghapusan red notice Djoko Tjandra dengan terdakwa Tommy Sumardi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (24/11/2020). Sidang beragenda mendengar keterangan saksi. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Sidang perkara dugaan tindak kekerasan terhadap Muhammad Kece atas terdakwa Irjen Pol Napoleon Bonaparte diwarnai sejumlah protes. Salah satunya permintaan agar perkara tersebut tidak disidangkan.

Protes itu juga dilayangkan, Kuasa Hukum Napoleon Eddy Sudjana kepada majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan dengan menunjukan surat pernyataan damai antara M Kece dengan kliennya.

"Saya akan protes keras dengan jaksa dalam perspektif bukan soal waktu, tapi dari sisi adanya surat perdamaian antara Pak Jenderal Napoleon dengan M Kece," kata Eggy di ruang sidang utama PN Jakarta Selatan, Kamis (17/3/2022).

Alhasil, Eggy berdalih dengan adanya surat pernyataan damai kedua belah pihak. Sudah seharusnya perkara tersebut dinyatakan selesai. Sehingga, kasus ini tidak lagi naik ke meja persidangan.

"Seharusnya tidak ada sidang ini gitu loh. Kenapa ada sidang ini mereka sudah sepakat kok untuk berdamai," ujar dia.

Menurut dia, dengan adanya kesepakatan damai hal itu bisa dimaksudkan menjadi hukum tertinggi. Sehingga dia menilai jika Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah berbuat kelalaian yang berat dengan tetap memproses kasus ini.

"Hukum tertinggi itu kesepakatan tidak ada itu, ini kelalaian berat kejaksaan. Oleh karena itu yang mulia, ini juga harus menganut kepada asas murah sederhana cepat, itu kita sepakati, lho kenapa yang tidak perlu di sidang di sidangkan," tegas Eggy.

 

 

Reporter: Bachtiarudin Alam

Sumber: Merdeka.com

Infografis Sudah Vaksinasi Covid-19, Yuk Tetap Taat Protokol Kesehatan. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Sudah Vaksinasi Covid-19, Yuk Tetap Taat Protokol Kesehatan. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya