Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Lili Pintauli Siregar kembali dilaporkan ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK atas dugaan pelanggaran etik. Dia dianggap melanggar kode etik insan KPK lantaran diduga menerima gratifikasi saat menonton ajang balap MotoGP Mandalika 2022.Â
Lili Pintauli Siregar atau LPS diduga menerima gratifikasi dari sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) saat menonton MotoGP di Sirkuit Mandalika, Nusa Tenggara Barat (NTB) pada Maret 2022 lalu.Â
Berdasarkan informasi yang diterima, Lili Pintauli diduga mendapatkan tiket MotoGP Mandalika di Grandstand Premium Zona A-Red serta fasilitas penginapan di Amber Lombok Beach Resort.
Advertisement
Baca Juga
Lantas sudah sejauh mana penanganan kasusnya saat ini?
Anggota Dewas KPK, Syamsuddin Haris menyatakan, pihaknya saat ini tengah mengumpulkan bahan dan keterangan untuk menindaklanjuti laporan terkait dugaan pelanggaran etik Lili Pintauli Siregar saat menonton MotoGP Mandalika tersebut.
"Saat ini Dewas masih dalam tahap pengumpulan informasi, bahan, dan keterangan dari pihak-pihak terkait yang diduga mengetahui dan memiliki informasi tentang dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh Ibu LPS," ujar Syamsuddin saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (19/4/2022).
Namun dia tidak membeberkan siapa saja saksi yang telah dimintai keterangan terkait dugaan pelanggaran etik Lili Pintauli tersebut. Dia hanya memastikan Dewas bekerja profesional dalam menangani perkara ini.
"Dewas bekerja profesional sesuai mandat UU No 19 Tahun 2019 (tentang KPK). Tidak berdasar tekanan dari siapa pun," kata Syamsuddin.
Dalam kesempatan berbeda, Syamsuddin Haris menyatakan bahwa Dewas KPK akan memanggil perwakilan dari PT Pertamina (Persero) untuk mengonfirmasi dugaan pemberian gratifikasi kepada Lili Pintauli Siregar saat menonton MotoGP Mandalika.
Pertamina diduga sebagai pihak yang memberikan fasilitas-fasiitas tersebut di atas kepada Lili Pintauli. Dewas KPK pun berharap Pertamina dapat bekerja sama dengan baik dalam penyelidikan perkara ini.
"Dewas berharap kepada pihak-pihak terkait, termasuk Pertamina dan anak perusahaannya, bisa bekerja sama dan kooperatif, yakni dengan memberikan keterangan secara benar dan jujur mengenai informasi yang mereka ketahui," ujar Haris, Senin 18Â April 2022Â kemarin.
Ini bukan kali pertama Lili Pintauli Siregar dilaporkan ke Dewas KPK. Pada 30 Agustus 2021, Lili pernah dijatuhi sanksi etik berat oleh Dewas KPK berupa pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama satu tahun.
Mantan Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) ini terbukti melanggar kode etik dan pedoman perilaku lantaran menyalahgunakan pengaruhnya sebagai pimpinan KPK.Â
Lili Pintauli terbukti berkomunikasi dengan Wali Kota Tanjungbalai M Syahrial. Padahal, KPK saat itu sedang mengusut dugaan suap jual beli jabatan di lingkungan Pemkot Tanjungbalai yang menyeret nama Syahrial.Â
Selain komunikasi dengan Syahrial, Lili juga dilaporkan soal dugaan pelanggaran etik menyebarkan berita bohong alias hoaks. Lili diduga berbohong saat konferensi pers mengenai komunikasinya dengan Syahrial.
Dalam konferensi pers 30 April 2021, Lili membantah menjalin komunikasi dengan Syahrial. Namun tak lama berselang, Lili terbukti berkomunikasi dengan Syahrial dan dijatuhkan sanksi etik berat oleh Dewas KPK.
Terkait hal ini, Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mendesak Dewas KPK merekomendasikan pemecatan Lili Pintauli Siregar dari lembaga antirasuah apabila terbukti menerima gratifikasi. Sebab, pelanggaran etik Lili dilakukan secara berulang.
"Catatan yang paling penting dari peristiwa ini adalah LPS itu celamitan, sudah berkali-kali ini terjadi melakukan hal yang tidak pantas dilakukan oleh pejabat publik. Beberapa kali dilaporkan ke Dewas, artinya dia memang sudah tidak punya kepekaan soal etika pejabat publik dan artinya LPS sudah tidak pantas menjadi pejabat publik," kata Fickar saat dihubungi Liputan6.com, Selasa.
Dewas KPK yang terdiri dari mantan hakim, jaksa senior, dan pakar hukum pidana ini diyakini mengerti soal pengulangan tindak pidana yang mengakibatkan adanya pemberatan hukuman.
"Saya kira yang pantas sanksi yang paling maksimal dalam hal ini pemberhentiannya sebagai komisioner KPK. Karena yang dikakukan LPS bukan lagi kekhilafan melainkan kesengajaan yang diulang-ulang, hukuman pemberhentian adalah hukuman yang paling adil untuk KPK dan masyarakat," tutur Fickar.
Tak hanya itu, Kedeputian Penindakan KPK juga diminta ikut turun tangan mengusut dugaan penerimaan gratifikasi Lili Pintauli ini. Sebab, gratifikasi diatur dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Â
"Gratifikasi itu bagian dari tindak pidana korupsi. Karena itu KPK dalam hal ini penyidiknya sudah bisa memulai melakukan penyidikan terhadap yang bersangkutan," ucap Abdul Fickar.
KPK Harus Dibersihkan dari Pelanggar Etik
Penanganan dugaan pelanggaran etik Lili Pintauli Siregar ini harus mendapat atensi serius karena tidak hanya disorot oleh publik dalam negeri, tapi juga luar negeri. Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat (Kemlu AS) belum lama ini mengeluarkan laporan HAM bertajuk '2021 Country Reports on Human Rights Practices'.
Selain menyoroti dugaan pelanggaran HAM dalam pelaksanaan tes wawasan kebangsaan (TWK) KPK yang menyingkirkan puluhan pegawainya, laporan Kemlu AS juga menyinggung soal pelanggaran etik Lili Pintauli Siregar yang menjalin komunikasi dengan Wali Kota Tanjungbalai M Syahrial.
Komunikasi berlangsung pada saat KPK tengah mengusut kasus suap jual beli jabatan di Pemkot Tanjungbalai yang menyeret nama Syahrial. Dalam kasus ini, Lili sudah dijatuhi sanksi berat oleh Dewas KPK.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menganggap wajar AS memberikan sorotan kepada KPK. Pasalnya, menurut ICW, KPK era Firli Bahuri banyak menelurkan masalah di internal.
"Sejak Pimpinan KPK periode 2019-2023 dilantik, KPK berubah menjadi lembaga yang bangga akan kontroversinya. Sehingga, wajar banyak pihak, termasuk Amerika Serikat menyoroti kebobrokan KPK," ujar Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Senin (18/4/2022).
Menurutnya, kredibilitas KPK selama ini telah tergerus oleh ulah-ulah Firli cs. Kurnia mengatakan, baru kali ini KPK dipimpin dua orang pelanggar etik, yakni Firli Bahuri sendiri dan Lili Pintauli Siregar.
Berdasarkan catatan ICW, pada 2013, jauh sebelum kepemimpinan Firli, KPK banyak menerima penghargaan bergensi seperti Ramon Magsaysay karena prestasinya dalam membongkar praktik korupsi para elite.
"Kalau periode saat ini, apa prestasinya? Menyingkirkan puluhan pegawai berintegritas melalui Tes Wawaan Kebangsaan?," kata Kurnia.
Atas dasar berbagai sorotan baik dari dalam negeri maupun luar negeri, Kurnia berharap ada pembersihan dalam internal KPK. Kurnia mendesak mereka yang merupakan pelanggar etik disingkirkan demi menjaga muruah pemberantasan korupsi.
"Bersih-bersih KPK mutlak harus segera dilakukan. Misalnya, mendesak orang-orang bermasalah, seperti Firli dan Lili, untuk hengkang dari KPK. Sebab, jika tidak, bukan tidak mungkin KPK semakin terpuruk, bukan hanya di mata masyarakat Indonesia, melainkan dunia," kata Kurnia.
Sementara Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari melihat ada semacam motif yang sama dalam kasus dugaan gratifikasi MotoGP ini dengan perkara pelanggaran etik yang sebelumnya dilakukan Lili Pintauli. Dia dianggap menggunakan simbol kekuasaan sebagai pimpinan KPK untuk mendapatkan layanan tertentu.
"Mirip pelanggaran etik yang dilakukan sebelumnya, di mana dia menggunakan kekuasaan untuk mengintervensi proses kasus agar keluarganya dapat menikmati jabatan tertentu. Jadi ada semacam motif yang sama baik di perkara sebelumnya dan saat ini dan bukan tidak mungkin ini sudah menjadi adab kebiasaan yang menyimpang dari LPS dalam perbuatan yang berulang," tutur Feri saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (19/4/2022).
Menurut Feri, pelanggaran berulang yang dilakukan seorang pimpinan tentu berdampak pada muruah lembaga yang dipimpinnya. Jika hal seperti ini tidak ditangani secara serius, maka justru akan menjatuhkan muruah KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi.
"Bagi saya di dalam ketentuan pelanggaran berikutnya harus lebih berat. Dan di sini bisa diketahui dampaknya bagi marwah kelembagaanya. Kita harus sadar bahwa perlindungan marwah kelembangaan dan orang-orang di KPK menjadi sangat penting agar meyakinkan publik bahwa pemberantasan korupsi betul-betul dilakukan oleh mereka yang ada di dalam KPK," kata dia.
"Sulit orang bisa percaya pemberantasan korupsi benar-benar dilakukan jika pimpinannya demikian. Ini harus selesai oleh Dewas, bahwa ini pelanggaran etik yang harus ditangani serius," imbuhnya.
Lebih lanjut, Feri mengingatkan bahwa dugaan gratifikasi yang diterima Lili saat menonton MotoGP juga tidak bisa diabaikan begitu saja. Di samping kasus etik yang ditangani Dewas, Kedeputian Penindakan KPK seharusnya juga menyelidiki dugaan tindak pidana gratifikasi tersebut.Â
"Sepanjang KPK punya niat untuk berbenah maka ini tidak berhenti sampai etik saja. Kalau KPK tak mampu maka apakah polisi dan jaksa dapat mampu memproses? Ya mampu saja, tapi niat atau tidaknya dan dengan UU yang baru ini tiga lembaga itu ada di bawah presiden, maka kalau presiden juga punya niat maka hal bermasalah seperti ini harus segera diusut," ujarnya.
Menurut Feri, kasus ini seharusnya bisa jadi momentum KPK membuktikan diri kepada masyarakat, bahwa dia adalah lembaga yang bisa dipercaya untuk memberantas korupsi.
"Karena bagi saya ini dampak serius, orang akan melihat KPK sudah tak seperti dulu setelah UU direvisi dan pimpinan KPK yang baru hasil pilihan Jokowi dan DPR. Sebab yang menima LPS tidak sendiri, tapi juga pimpinan lainnya yang menurut saya sudah berbeda soal etika dan bermasalah dalam penanganan perkara."
"Dari sifatnya yang abai etik, orang akan melihat KPK sebagai institusi yang sulit dipercaya. Karena bagaimana pelanggar etik bisa mengadili orang-orang yang korupsi karena basis orang korupsi melanggar etika moral pidana dan tak punya nurani," kata Feri.
Terkait laporan Kemlu AS, menurut Feri, itu hanya sebagai penambah gema kasus pelanggaran etik Lili Pintauli saja. Tanpa laporan itu, KPK seharusnya sudah merespons pelanggaran dan memastikan nilai-nilai institusional bisa ditegakkan, bahkan jika pelanggaran itu dilakukan oleh pimpinan.
"Saya tidak melihat dengan nuansa KPK yang dulu, misalnya kalau pimpinan sudah seperti ini biasanya pegawainya sudah pada demo menuntut dijatuhi sanksi. Tapi hari ini tidak terjadi. Ada sikap yang mengkhawatirkan karena tidak ada kesetaraan menjunjung nilai etika kepemimpinan. Seharusnya pegawai bisa ikut berperan untuk memastikan lembaganya terlindungi," ucap Feri memungkasi.
Advertisement
Lili Bisa Diancam Pidana Seumur Hidup
Sebelumnya, ICW mengaku tak terkejut Lili Pintauli Siregar kembali dilaporkan ke Dewas KPK terkait dugaan gratifikasi menonton MotoGP. Sebab, menurut ICW, rekam jejak Lili memang bermasalah, terutama pascakomunikasinya dengan pihak berperkara terbongkar ke tengah masyarakat.
Menurut Kurnia, jika penerimaan tiket MotoGP dan fasilitas penginapan itu benar, maka ada sejumlah pelanggaran yang harus diusut. Bahkan Lili dinilai bisa dituntut pidana seumur hidup atas kelakuannya tersebut.
"Pertama, penerimaan itu bisa dianggap sebagai gratifikasi jika Lili bersikap pasif begitu saja dan tidak melaporkan penerimaan tersebut ke KPK. Tindakan ini jelas melanggar Pasal 12 B UU Tipikor dan Wakil Ketua KPK itu dapat diancam dengan pidana penjara 20 tahun bahkan seumur hidup," kata Kurnia dalam keterangannya, Rabu (13/4/2022) lalu.
Kedua, menurut Kurnia, penerimaan itu masuk ketegori suap jika pihak pemberi telah berkomunikasi dengan Lili dan terbangun kesepakatan untuk permasalahan tertentu. Misalnya, pengurusan suatu perkara di KPK.
"Tindakan ini jelas melanggar Pasal 12 huruf a UU Tipikor dengan hukuman 20 tahun penjara bahkan seumur hidup," kata dia.
Ketiga, menurut Kurnia, penerimaan itu bisa dianggap sebagai pemerasan jika Lili melontarkan ancaman terhadap pihak pemberi dengan iming-iming pengurusan suatu perkara.
"Tindakan ini memenuhi unsur Pasal 12 huruf e UU Tipikor dengan ancaman 20 tahun penjara bahkan seumur hidup," kata Kurnia.
Maka dari itu, Kurnia mendesak Dewas KPK aktif mencari dan mengumpulkan bukti dari mulai komunikasi antara Lili dengan pihak pemberi, manifest penerbangan, hingga rekaman CCTV di sirkuit Mandalika dan tempat penginapan.
Selain itu, Kurnia juga meminta Dewas KPK segera membawa dugaan pelanggaran etik ini ke dalam persidangan.
"Jika Lili terbukti melanggar kode etik, maka ICW mendesak agar Dewas segera meminta yang bersangkutan mengundurkan diri sebagai Pimpinan KPK. Bahkan, tatkala permintaan itu diabaikan, Dewas mesti menyurati presiden agar segera memberhentikan Lili dengan alasan telah melakukan perbuatan tercela," kata dia.
Tak hanya itu, ICW juga mendesak Kedeputian Penindakan KPK menyelidiki dugaan penerimaan gratifikasi, suap, atau pemerasan ini. Sebab, ranah penindakan bukan berada di Dewan Pengawas.
Hal serupa juga disampaikan mantan Penyidik KPK, Herbert Nababan. Dia menyatakan, setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara adalah bentuk pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugas. Menurut Herbert, hal itu tertuang dalam Pasal 12B UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
"Apa yang dilakukan oleh LPS (Lili Pintauli Siregar) selaku Pimpinan KPK (penyelenggara negara) yang diduga menerima fasilitas menonton MotoGP Mandalika kemarin adalah jelas berhubungan dengan jabatan yang bersangkutan sebagai Pimpinan KPK dan penerimaan fasilitas tersebut jelas bertentangan dengan kewajiban dan tugasnya sebagai Pimpinan KPK," kata pria yang kini bertugas sebagai ASN Polri lewat keterangan tertulisnya, Sabtu (16/4/2022). Â
Herbert meyakini, dengan jabatan LPS sebagai Pimpinan KPK, tentu pengetahuannya cukup mampu untuk mengetahui bahwa pemberian atau penerimaan fasilitas tersebut ada kaitannya dengan jabatan dirinya sebagai penyelenggara negara.
"Dugaan penerimaan fasilitas tersebut telah diterima dan dinikmati oleh LPS, sehingga jikapun dilaporkan ke KPK maka ketentuan untuk melaporkan dalam 30 hari gugur karena telah diterima dan dinikmati oleh LPS," lanjut Herbert.
Di samping itu, lanjut dia, dari sisi etik selaku Pimpinan KPK yang selama ini mensosialisasikan penerimaan gratifikasi ke masyarakat, apa yang diduga dilakukan LPS adalah contoh yang tidak baik.
"Sangat memalukan dan nir-etik," ucap Herbert memungkasi.
Mahfud Md Minta Dewas KPK Tegas dan Transparan
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md turut angkat bicara soal kasus dugaan pelanggaran etik Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar yang menjadi sorotan dalam laporan praktik hak asasi manusia (HAM) yang dikeluarkan Amerika Serikat.
Mahfud Md menilai, KPK harus bijak bersikap sebab isu yang melilit Lili Pintauli tidak hanya disorot publik dalam negeri, tapi juga pemerintah asing.
"Sebenarnya itu menjadi urusan KPK, bukan urusan kabinet. Tapi secara moral tentu kita punya pandangan, yakni KPK harus menyikapi isu tersebut secara bijak. Penyikapan itu karena isunya disoroti oleh Kemlu AS, tapi juga karena hal tersebut sudah menjadi isu di dalam negeri kita sendiri," kata Mahfud dalam keterangannya, Minggu (17/4/2022).
Mahfud meminta Dewan Pengawas (Dewas KPK) mengambil sikap tegas, transparan, dan tegas terhadap Lili.
"Bijaknya bagaimana? Ya selesaikan secara transparan dan tegas, tak perlu ada yang ditutup-tutupi. Dewas harus menunjukkan sikap tegas kepada publik. Kalau Lili Pintauli salah harus dijatuhi sanksi, tapi kalau benar dia harus dibela," kata Mahfud.
"Jangan sampai terjadi public distrust tapi juga jangan sampai terjadi demoralisasi dan ketidaknyamanan di internal KPK," sambung dia.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini meminta kasus Lili tidak dibiarkan begitu saja sehingga dapat mencoreng kinerja KPK.
"Berdasar hasil survei, belakangan ini KPK semakin baik prestasi dan kinerjanya. Ibarat lukisan, jangan sampai lukisan yang sudah bagus menjadi ternoda oleh tetesan cat yang tak perlu," pungkas Mahfud Md.
Sementara Komisi III DPR RI akan memanggil KPK dan Dewas KPK terkait kasus dugaan gratifikasi Lili Pintauli Siregar. Pemanggilan akan dilakukan segera setelah masa reses.
"Nanti pada saat sesudah reses kita akan panggil KPK dan Dewas untuk diminta keterangan dengan kasus ini," kata Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond Mahesa di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (14/4/2022).
Dia mengatakan Komisi III akan memantau perkembangan perkara dugaan gratifikasi tersebut. Sebab, KPK merupakan mitra dari Komisi III DPR.
"Karena itu masih dalam wilayah internal sesuai UU KPK kami Komisi III melakukan pemantauan perkembangan perkara tersebut ya," tegas Desmond.
Politikus Gerindra itu enggan berspekulasi soal Lili bersalah atau tidak. Dia menyerahkannya ke mekanisme yang di KPK.
"Ini baru dugaan agak susah bagi saya memvonis seseorang yang belum dibuktikan kesalahannya ya. Komisi III itu adalah komisi hukum ya. Kita serahkan saja kepada mekanisme sesuai UU KPK ya. Bu Lili dengan catatan sudah pernah melakukan kesalahan-kesalahan yang sifatnya melanggar etik. Nah kalau ini melanggar lagi apa sanksi nya kita tunggu semua," kata Desmond menandaskan.
Advertisement
Respons KPK
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), melalui Plt Juru Bicara Ali Fikri merespons sorotan dari Amerika Serikat (AS) terkait tes wawasan kebangsaan (TWK) dan pelanggaran etik Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar.
Ali Fikri mengklaim, apa yang menjadi sorotan AS tersebut sudah dituntaskan oleh KPK.
"Pada isu peralihan status pegawai, KPK melihat prosesnya telah clear, karena prosedur dan tahapannya sudah sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundangan yang berlaku dan telah diuji oleh MA, MK, bahkan Komisi Informasi Publik (KIP)," ujar Ali dalam keterangannya, Senin (18/4/2022).
AS diketahui menyoroti asesmen TWK yang menonaktifkan 75 pegawai KPK termasuk Kasatgas Penyidikan KPK Novel Baswedan. Dari 75 pegawai yang dinonaktifkan, 57 pegawai di antaranya disingkirkan dari KPK.
Menurut Ali, permasalahan TWK sudah selesai. Lagipula para mantan pegawai KPK sudah bergabung menjadi aparatur sipil negara (ASN) Polri.
Sementara terkait dengan sorotan AS soal pelanggaran etik Lili Pintauli, Ali memastikan proses tersebut sudah diselesaikan oleh Dewan Pengawas (Dewas) KPK. Dewas sudah menjatuhkan sanksi etik berat terhadap Lili.
"Pihak-pihak yang telah terbukti melakukan pelanggaran untuk melaksanakan sanksi dan hukuman yang dijatuhkan oleh Dewas KPK," kata Ali.
Laporan terkait praktik hak asasi manusia (HAM) yang dikeluarkan Kementerian Luar Negeri AS juga menyoroti pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku Lili Pintauli Siregar. AS menyoroti pelanggaran etik Lili yang berkomunikasi dengan Wali Kota Tanjungbalai, Sumatera Utara, M. Syahrial.
Dalam sebuah laporan bertajuk '2021 Country Reports on Human Rights Practices', Lili sudah dijatuhi sanksi lantaran berkomunikasi dengan pihak yang tengah berperkara di KPK.
Meski demikian, Ali menyatakan pihak lembaga antirasuah menghormati sorotan dari AS tersebut.
"Pada prinsipnya kami menghormati pandangan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi merupakan isu global yang butuh perhatian dan kerja bersama semua pihak," kata Ali.
Sementara terkait kasus dugaan gratifikasi Lili Pintauli yang diadukan ke Dewas, Ali menyatakan para pimpinan KPK kooperatif. Dia memastikan bahwa para pimpinan KPK siap memberikan keterangan kepada Dewas.
"Pimpinan pun akan kooperatif jika nanti dibutuhkan informasi dan keterangannya," ujar Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Minggu (17/4/2022).
Ali memastikan, laporan dugaan pelanggaran etik Lili Pintauli itu masih dalam proses di Dewas KPK. Dia berharap masyarakat memberikan kepercayaan kepada Dewas KPK menindaklanjuti kasus ini.
"Karena pembuktian dan putusan dalam penegakan etik di KPK menjadi ranah tugas dan kewenangan Dewas sesuai UU KPK. Sedangkan atas pelanggaran etik yang sebelumnya terjadi, sanksinya telah dilaksanakan sebagaimana putusan Dewas," kata Ali.
Ali meyakini Dewas KPK akan menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan undang-undang. "Dewas KPK tentu telah menjalankan tugasnya sesuai mekanisme dan pertimbangan profesionalnya sebagai penegak kode etik bagi insan KPK," kata Ali.