Liputan6.com, Jakarta Peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof Eddy Hermawan mengungkapkan ada dua faktor utama terjadinya banjir rob di pantai utara, khususnya di Semarang, Jawa Tengah. Yang pertama, kata dia, karena Sea Level Rise atau kenaikan air muka laut yang menyebabkan rob.
"Tapi itu sumbangsihnya kecil, sumbangsih terbesar adalah pemakaian air tanah yang berlebih yaitu land subsidence," ujar Eddy kepada Liputan6.com, Jakarta, Selasa (24/5/2022).
Baca Juga
Dia melihat pembangunan gedung-gedung sangat intensif dilakukan di kawasan Pantura. Sehingga volume pemakaian air tanah sangat tinggi yang memicu terjadi penurunan muka tanah.
Advertisement
"Kawasan semarang begitu intensif, gedung-gedung besar udah mulai dibangun. Di Jakarta ada giant wall tapi di Semarang tidak ada. Alhasil Semarang adalah pemakai land subsidence terbesar setelah Pekalongan, Jakarta saja rangking ketiga, Semarang kedua. Ini hasil pantauan satelit selama 20 tahun dan data ini diperkuat dari pernyataan Kementerian ESDM," terang Eddy.
"Karena land subsidence, pemakaian air tanah berlebih yang tidak mengikuti aturan lingkungan. Jadi jangan terkecoh dengan Sea Level Rise ini," dia mengimbuhkan.
Dia menegaskan banjir rob yang terjadi saat ini tidak terlalu terkait dengan persoalan emisi (Co2). Menurutnya hal itu persoalan global dan bukan konsentrasinya.
"Memang Semarang penghasil emisi Co2 karena kota-kota industri, tetapi itu sumbangsihnya belum, karena rob tiada kaitan dengan emisi. Rob murni karena ada air laut masuk ke daratan akibat dibawa oleh uap air yang dominan di lapisan permukaan (surface) di lapisan 1.000, lapisan 925, 850, dan begitu ke lapisan 700 itu hilang," jelas dia.
Artinya, Eddy melanjutkan, ini bukanlah termasuk awan-awan besar, tetapi tipe awan penghasil hujan juga yang namanya awan nimbus stratus. Awan ini cukup dominan.
"Berikutnya, ada indikasi pengaruh Lanina masih cukup kuat. Indikasi kemarau basah, karena Lanina-nya masih enggak naik pada kondisi normal, pada bulan Juli itu Lanina ngedrop banget. Selanjutnya karena panas, semakin panas maka semakin intensif pusat tekanan rendah banget. Lalu siapa yang bikin panas? tentunya matahari," kata dia.
Namun menurut pengamatannya, pergerakan semu bumi terhadap matahari itu yang akan menentukan terjadinya rob. Dia menilai mekanisme terjadinya rob 23 Mei 2022 itu berbeda dengan kondisi pada Februari 2021 lalu.
"Kami mengkaji ada 5 faktor memicu dan kami tidak berbasis deskriptif, tapi kuantitaf," tegasnya.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Semarang Riskan Terhadap Rob
Untuk rob ini, kata Eddy, kunci utama datanya ada di BMKG, Stasiun Maritim Semarang yang memiliki data selama berjam-jam sehingga dapat diketahui kapan puncaknya mencapai peak pertama dan seterusnya.
"Sedangkan kami akan mengurutkan setiap 10 menit, menginvestigasi lebih jauh, alhasil saat kita memahami mekanismenya, kita akan mudah memodelkannya," kata Eddy.
Model yang dikembangkan adalah berupa penggabungan antara sea level rise dengan land subsidence, yang kedua unsur itu bertemu serta kawasan mana yang akan mengalaminya juga dampak dan kekuatannya. "Ini tentu hal menarik."
Dari hasil penelitiannya pada 2021, dia mengungkapkan Semarang riskan terhadap adanya serangan fajar dari uap air dari Asia yang masuk ke Pantura. Pada Febuari, kondisinya wajar ada uap air karena matahari berada di belahan bumi bagian selatan.
"Konsepnya, matahari pada 21 Maret itu ada tepat di equator, artinya sebelum tanggal itu matahari ada di bagian selatan. Sementara, Indonesia itu berada di 6 derajat Utara dan 11 derajat Selatan. Artinya wajar belahan bumi selatan menerima impact yang begitu dahsyat," jelasnya.
Menurut Eddy, Semarang merupakan kota teluk dan empuk untuk diserang. Alhasil pertemuan dua massa udara yang satu dari barat dan satu lagi dari arah utara. Jadi ada dua peak (puncak) itu pada tanggal 6 Maret 2021.
"Semua temuan ini digambarkan secara karikatur. Jadi pada lapisan berapa kilo sih? apakah di permukaan atau di atasnya? kok bisa ketemu dan ini sedang kami garap dan akan publish. Ini hasil penelitian yang lalu," kata dia.
Advertisement
Kejadian Saat Ini
Eddy pun merasa heran pada 23 Mei 2022 terjadi rob yang begitu dahsyat di Semarang. Karena berdasarkan perhitungannya, posisi matahari saat ini sudah meninggalkan equator Indonesia.
"Kita berfikir logic dan analytic. Ini masalahnya beda dengan kejadian Maret. Saya belum menemukan adanya kejadian besar pada bulan Mei di atas Semarang dan sekitarnya Pantura," kata dia.
Karena menurut dia, posisi matahari sangat menentukan sekali. Matahari itu akan memanasi permukaan di bawahnya, sehingga kawasan tersebut menjadi pusat tekanan rendah.
"Karena Indonesia itu dominan dikendalikan fenomena monsun. Artinya lapisan angin," ujarnya.
Angin di lapisan 850 Hecto Pascal (hPa) sekitar 1,45 kilometer di atas permukaan laut membawa uap air. Angin itu mencari kawasan yang empuk yang memang punya pusat tekanan rendah.
"Jadi sekali lagi saya belum punya data lebih jauh karena data itu terbatas banget dan kejadian rob itu hanya bisa dikaji dengan data resolusinya tinggi," ujarnya dia.
Kendati demikian, hasil analisisnya sementara menunjukkan, bahwa banjir rob yang menerjang Semarang pada 23 Mei 2022 itu mekanismenya berbeda dengan yang terjadi pada 6 Februari 2021.
Kalau 6 Feb 2021 itu dominan uap air berasal dari benua Asia yang diperkuat massa uap air dari lautan Hindia bertemu pada lapisan 850, tetapi saat ini (23-5-2022) dominan dari arah timur, bukan berasal dari Australia.
"Sebab, matahari baru mencapai puncaknya pada 22 Juni nanti dan ini masih Mei," ujarnya.
Bukan Awan Penghasil Curah Hujan Tinggi
Hal yang menariknya adalah, lanjut Eddy, uap air tersebut hanya dominan di lapisan 850 ke bawah. Artinya 850 hPa atau di atas 1,45 km itu tidak di awan-awan yang menghasilkan curah hujan besar.
"Jadi robnya itu, saya berfikir ini ada kontribusi uap air yang membawa dari arah Timur. Kedua, karena posisi Semarang yang adanya di teluk dan ketiga ada pusaran yang lokasinya jauh cuma ini perlu dikaji lagi," terangnya.
Jadi hampir semua parameter, baik itu kelembaban (RH), baik itu total precipitable water (TPW), atau pun total cloud water (TCW), dan juga berbagai parameter mengindikasikan serangan fajar (rob) ini dari arah timur lautan pasifik menuju pantura. Dan kebetulan ada mekanisme lain yang menghambat, tepatnya di atas Semarang. "Walhasil ditumpahkanlah ke Semarang."
Karena itu, fenomena ini tidak bisa disamakan dengan mekanisme yang terjadi pada Februari 2021 lalu. Namun begitu, ini menarik untuk dikaji lebih jauh.
"Karena di saat kita bulan Mei, di saat menuju transisi, matahari belum capai puncak di equator, sudah ada kejadian," katanya.
Advertisement