Wamenkumham: Penyerangan Martabat Presiden Jadi Delik Aduan dalam RUU KUHP

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham), Edward O.S. Hiariej, mengatakan pasal terkait penyerangan terhadap harkat dan martabat presiden dan wakil presiden berubah dari delik biasa menjadi delik aduan dalam RUU KUHP.

oleh Liputan6.com diperbarui 26 Mei 2022, 09:42 WIB
Diterbitkan 26 Mei 2022, 09:42 WIB
wamenkumham
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej (Merdeka.com/Bachtiarudin Alam)

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej, mengatakan pasal terkait penyerangan terhadap harkat dan martabat presiden dan wakil presiden berubah dari delik biasa menjadi delik aduan dalam RUU KUHP.

"Dalam Pasal 218, kami memberikan penjelasan bahwa ini adalah perubahan dari delik yang bersifat aduan, yang sebelumnya delik biasa," kata Edward dalam rapat dengar pendapat di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (26/5/2022), seperti dilansir Antara.

Rapat dengar pendapat antara Kemenkumham dan Komisi III DPR itu merupakan tindak lanjut pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Edward menambahkan Pemerintah sama sekali tidak membangkitkan pasal yang sudah dimatikan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

"Ini justru berbeda dan kami menambahkan pengaduan dilakukan secara tertulis oleh presiden atau wakil presiden," jelasnya.

Pengecualian

Dalam pasal itu juga diberikan pengecualian untuk tidak dituntut apabila menyangkut kepentingan umum.

Dia menjelaskan Pemerintah telah melakukan sosialisasi RUU KUHP di 2021, dimana hasilnya ialah Pemerintah melakukan penyempurnaan dengan melakukan reformulasi dan memberikan penjelasan terhadap pasal-pasal kontroversi, berdasarkan masukan dari berbagai unsur masyarakat dan K/L.

Pernah Dibatalkan

ebelumnya, Putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006 pernah membatalkan pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dalam KUHP.

Permohonan uji materi tersebut diajukan oleh Eggi Sudjana dan Pandapotan Lubis. MK menilai Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena tafsirnya yang amat rentan manipulasi.

Infografis Deretan Kepala Daerah Terkena OTT KPK. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Deretan Kepala Daerah Terkena OTT KPK. (Liputan6.com/Trieyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya