Liputan6.com, Jakarta Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menyebut, bahwa utang Indonesia di pemerintahan Presiden Joko Widodo alias Jokowi sudah membengkak sebesar Rp 7.163 triliun.
Karena itu AHY mendorong agar pemerintah untuk mencegah penggunaan utang yang terlalu besar lagi ke depannya.
Baca Juga
"Kita harus mencegah penggunaan dana utang yang terlalu besar. Utang Indonesia 8 tahun terakhir ini meningkat tajam, jauh di atas keamanan fiskal kita. Utang Indonesia saat ini, sebesar Rp 7.163 triliun, atau meningkat Rp 4.500 triliun," ujar Ketua Umum Partai demokrat AHY saat pidato kebangsaan di Rapimnas Partai Demokrat di JCC Senayan, Jakarta Selatan, Jumat (16/9).
Advertisement
Menurut putra sulung Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini, utang yang terlalu besar bakal membebani pemerintahan selanjutnya. Kondisi perekonomian nasional akan berbahaya.
"Ini merupakan risiko tersendiri, bagi perekonomian kita. Sebab, di samping embebani pemerintah-pemerintah mendatang, juga berbahaya, jika perekonomian global dan nasional, terguncang dalam krisis," kata AHY.
Dia mengingatkan, utang yang sangat besar bisa mengakibatkan debt crisis atau atau krisis utang. Menurutnya, tidak sedikit negara lain sudah mengalami hal tersebut.
"Pada gilirannya, bisa menjadi pemicu krisis ekonomi secara nasional. Banyak contohnya di dunia," ungkapnya.
Selain itu, mantan prajurit TNI ini meminta kepada pemerintahan Jokowi, untuk menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM). Hal ini karena saat ini minyak dunia sudah turun.
"Jika harga minyak mentah dunia menurun, turunkan kembali harga BBM kita. Jangan sebaliknya, ketika harga minyak dunia turun, harga BBM justru dinaikkan,” tegasnya.
Selain menurunkan harga BBM, AHY menyarankan pemeintah melakukan relokasi anggaran hingga penundaan mega proyek seperti Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara untuk mencegah kenaikan BBM.
“Sesungguhnya, ada banyak cara, untuk menyelamatkan fiskal, selain menaikkan harga BBM. Misalnya, dengan melakukan realokasi anggaran, penentuan prioritas, termasuk, penundaan sejumlah proyek nasional, yang tidak sangat mendesak,” tuturnya.
Survei LSI: Masyarakat Lebih Pilih Utang Negara Bertambah Dibanding Harga BBM
Lembaga Survei Indonesia (LSI) melakukan survei mengenai kenaikan harga BBM dan subsidi. Hasil survei tersebut menunjukkan mayoritas masyarakat atau 58,1 persen responden memilih subsidi pemerintah diberikan dalam bentuk barang. Tujuannya agar harga barang yang disubsidi menjadi lebih murah dan dinikmati semua lapisan masyarakat.
"Mayoritas lebih setuju dengan pendapat subsidi harga barang, sehingga lebih terjangkau dan bisa dinikmati oleh seluruh masyarakat," kata Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan saat merilis hasil survei di akun Youtube Lembaga Survei Indonesia LSI-Lembaga, dikutip Selasa 6 September 2022.
Tahun 2022Sedangkan 39,5 persen memilih subsidi dari pemerintah diberikan dalam bentuk uang tunai kepada kelompok yang berhak menerima subsidi. Artinya, penerima subsidi ditentukan pemerintah yang sasarannya kelompok masyarakat yang membutuhkan.
"Yang cenderung memilih subsidi langsung, subsidi diberikan ke kelompok masyarakat yang membutuhkan ini 39 persen," kata dia.
Sisanya 2,24 persen responden tidak memberikan jawaban atas pertanyaan cara pemberian subsidi yang tepat kepada masyarakat. Sehingga menurut Hanan, lebih banyak masyarakat yang memilih subsidi pemerintah diberikan langsung melalui barang bukan masyarakat yang menjadi target subsidi.
"Jadi memang mayoritas memilih ke harga barangnya," kata Hanan.
Selain itu, dalam survei yang sama, mayoritas responden menolak kenaikan harga BBM. Sebanyak 58,7 persen responden memilih utang negara bertambah demi membuat harga bensin subsidi lebih murah di tengah kenaikan harga minyak dunia.
"Lagi-lagi hampir 60 persen masyarakat menyatakan sebaiknya BBM tidak usah dinaikkan, walaupun itu akan menambah utang," kata Hanan.
Advertisement
Sri Mulyani: 60 Negara Terancam Bangkrut Akibat Tak Mampu Atasi Krisis Utang
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyebut ada 60 negara terancam bangkrut, lantaran dinilai tidak mampu dalam mengatasi persoalan krisis utang.
"Ada 60 negara vulnerable untuk menangani krisis utang dan refinancing dari pembiayaan. Jadi default bagi yang memiliki rasio utang tinggi jadi perhatian dunia," kata Sri Mulyani dalam Konferensi Pers: Nota Keuangan & RUU APBN 2023, Selasa 16 Agustus 2022.
Sri Mulyani menuturkan, diketahui bersama saat itu pandemi COVID-19 menyebabkan supply side atau production terdisrupsi, dalam hal ini begitu demand atau permintaan pulih dengan ada vaksin dan mobilitas namun sisi supplynya tidak bisa mengikuti secara sama, inilah yang menyebabkan terjadinya inflasi akibat pandemi.
Namun, pandemi COVID-19 belum sepenuhnya teratasi, muncul perang yang menyebabkan disrupsi sisi pangan dan energi yang menambah gejolak sisi produksi, sementara demand-nya sudah melonjak akibat stimulus baik fiskal atau moneter.
Sehingga, inflasi yang tidak menurun cepat dan respons kebijakan dari likuiditas dan mengerem dari fiskal membuat ekonomi melemah. Stagflasi dengan kombinasi resesi menjadi tantangan rumit pada 2022 dan 2023. itu konteksnya.
"Bagi mereka (negara) yang sekarang ini sudah memiliki rasio utang cukup tinggi menjadi perhatian dunia,” pungkas Sri Mulyani.
Reporter: Muhammad Genantan Saputra
Sumber: Merdeka.com