Fahri Bachmid Dihadirkan Sebagai Ahli dalam Sidang Judicial Review KUHAP di MK

Fahri Bachmid dihadirkan sebagai Ahli DPN Peradi yang diwakili oleh Ketua Umum Otto Hasibuan dan H Hermansyah Dulaimi.

oleh Liputan6.com diperbarui 10 Okt 2022, 21:16 WIB
Diterbitkan 10 Okt 2022, 21:16 WIB
Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia, Fahri Bachmid
Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia, Fahri Bachmid

 

Liputan6.com, Jakarta - Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia, Fahri Bachmid mengatakan, akses untuk mendapatkan bantuan hukum hukum dari Advokat, bukan hanya diberikan kepada tersangka atau terdakwa, tetapi juga kepada saksi dalam penyidikan dan terperiksa dalam proses penyelidikan harus dibaca sebagai hak konstitusional.

Keterangan tersebut disampaikan saat dihadirkan sebagai Ahli oleh Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN Peradi) yang diwakili oleh Ketua Umum Otto Hasibuan dan H Hermansyah Dulaimi selaku Sekretaris Jenderal yang dalam perkara ini berkedudukan sebagai pihak terkait pada persidangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK RI) dalam Perkara Nomor 61/PUU-XX/2022.

Keterangan Fahri Bachmid disampaikan dalam sidang ketuju uji materiil Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (10/102022) di Ruang Sidang Pleno MK yang dihadiri para pihak. Persidangan dipimpin Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman.

Fahri Bachmid mengatakan, untuk itu, perlu adanya suatu penafsiran terhadap Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP guna menjamin persamaan di hadapan hukum sebagaimana yang diamanatkan dalam rumusan konstitusi Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan cara MK harus memberikan pemaknaan konstitusional bersyarat atas rumusan norma pasal 54 KUHAP itu sendiri.

"Agar menjadi selaras dan sebangun dengan rumusan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum," kata dia.

Dalam pokok keterangannya, Fahri berpendapat bahwa menjadi saksi adalah kewajiban dari setiap warga Negara, tetapi saksi juga memiliki hak-hak untuk dilindungi yang diatur dalam Undang-Undang. Namun, tidak semua saksi mengerti hukum dan tidak semua saksi memahami haknya dalam proses peradilan pidana.

"Saksi masih dianggap sebagai obyek pemeriksaan yang sering dilanggar hak-haknya untuk mendapatkan perlindungan hukum pada waktu mengungkapkan kebenaran materiil tentang suatu peristiwa pidana," ujar dia.

Oleh karena itu, Fahri melanjutkan, saksi pada saat diminta keterangannya untuk mengungkapkan kebenaran materiil tentang suatu peristiwa pidana di setiap tahapan dalam proses peradilan, seperti penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan, memerlukan pendampingan dari advokat untuk berkonsultasi hukum dan melindungi saksi menghadapi keadaan-keadaan di luar prosedur "out of procedure" yang dilakukan oleh aparat yang berwenang.

"Tetapi sering dalam proses pemeriksaan, saksi dilarang oleh pemeriksa untuk didampingi Advokat dengan alasan hak saksi tersebut tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)," ungkap dia.

 

Perlindungan Saksi Belum Diatur

Menurut Fahri, perlindungan terhadap saksi dalam proses peradilan pidana belum diatur secara khusus dalam KUHAP, kenyataannya perangkat hukum di Indonesia khususnya KUHAP, belum mampu memberikan perlindungan bagi saksi.

"Masalah pengaturan bantuan hukum untuk pihak saksi tidak ada pengaturannya dalam KUHAP. Tidak ada satu pasal pun yang menyebutkan mengenai adanya pengaturan bantuan hukum untuk pihak saksi. Dalam kenyataannya hukum pidana materil dan formil hanya lebih menekankan kewajiban saksi daripada hak-haknya hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 224 dan Pasal 522 KUHP," terang dia.

Fahri Bachmid menekankan, prinsip-prinsip due process of law dengan sendirinya melekat pada setiap manusia, yang melindungi dia dari tindakan sewenang-wenang (arbitrary), menindas (oppresive) dan tindakan pemerintah yang tidak adil (unjust government actions). Jika proses penegakan hukum mengakibatkan mengingkaran terhadap prinsip fairness maka telah terjadi pelanggaran terhadap due process of law, yang dapat mengakibatkan dihukumnya orang yang tidak bersalah. Dalam sistem peradilan pidana, keadilan akan lebih tercapai apabila prosedur yang benar dilaksanakan atau diikuti.

"Prosedur due process of law memegang peranan penting karena ia membatasi teknik-teknik penyelidikan dan penyidikan oleh kepolisian, membatasi tindakan dari penuntut umum, dan mengarahkan bagaimana peradilan pidana dilaksanakan. Prosedur due process of law memberikan hak kepada tersangka/terdakwa bahkan saksi untuk diperlakukan adil. Proses hukum yang adil termasuk di dalamnya hak untuk didengar, melakukan pembelaan diri, pengakuan atas kesamaan kedudukan dalam hukum, dan penghormatan terhadap asas praduga tidak bersalah," paparnya.

Fahri menilai objek pengujian materiil pada Permohonan a- quo, Pasal 54 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berbunyi: “Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini” telah secara nyata/aktual menimbulkan kerugian materiil bagi Para Pemohon dan Pihak Terkait serta menimbulkan ketidakpastian hukum yang pada hakekatnya secara elementer bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang tidak diberikan pemaknaan konstitusional bersyarat termasuk mencakup Saksi dan Terperiksa.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya