Liputan6.com, Jakarta - Wacana sistem pemilu proporsional tertutup atau sistem coblos partai kembali bergema. Hal ini berangkat dari pernyataan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari yang menyebut bahwa terbuka peluang menggunakan sistem proporsional tertutup di Pemilu 2024, pasca ada gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK).
Hasyim mengatakan, MK bisa saja memutuskan Pemilu 2024 menggunakan sistem proporsional tertutup. Sebab pada Pemilu 2009, sistem proporsional terbuka diberlakukan karena putusan lembaga tersebut.
Baca Juga
Pernyataan itu lantas menuai berbagai kritik dan penolakan dari berbagai pihak, termasuk partai politik sendiri.
Advertisement
Ketua DPP NasDem Willy Aditya menilai wacana penggunaan sistem proporsional tertutup atau hanya mencoblos partai dalam Pemilu 2024 merupakan sebuah kemunduran.
Menurutnya, apabila diterapkan sistem pemilu proporsional tertutup, maka pemilih dipaksa membeli kucing dalam karung. Tidak tahu siapa anggota legislatif yang akan mewakilinya di parlemen.
"Demokratisasi sepatutnya bukan memundurkan yang telah maju, tetapi memperbaiki dan menata ulang hal yang kurang saja. Yang terjadi pada sistem pemilu jika benar kembali ke sistem proporsional tertutup maka terjadi kemunduran luar biasa. Selain menutup peluang rakyat untuk mengenal caleg, rakyat juga dipaksa memilih kucing dalam karung," ujar Willy kepada wartawan, Jumat (30/12/2022).
Sistem proporsional terbuka yang diterapkan saat ini justru menjadi antitesis dari sistem proporsional tertutup yang pernah digunakan. Memilih calon legislatif secara langsung menjadi jawaban masalah kesenjangan representasi.
"Sistem proporsional terbuka dahulu dipilih untuk menjawab persoalan kesenjangan representasi. Ada kelemahan pengenalan dan saluran aspiratif rakyat dengan wakil rakyatnya. Dengan kembali ke proporsional tertutup artinya demokrasi kita mengalami kemunduran," kata Willy.
Sistem proporsional terbuka membuka pintu bagi siapapun dengan berbagai latar belakang elektoral untuk ikut Pemilu. Sadangkan sistem tertutup justru akan melanggengkan oligarki partai politik. Sebab, asal anggota legislatif itu dekat dengan penguasa partai, maka kinerjanya tidak jadi persoalan.
"Proporsional terbuka memungkinkan beragam latar belakang sosial seseorang untuk bisa terlibat dalam politik elektoral. Dengan sistem semacam ini pula, warga bisa turut mewarnai proses politik dalam tubuh partai," kata Willy.
Kerugian Penerapan Pemilu Coblos Partai
Sedangkan, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Fraksi PKB, Yanuar Prihatin menilai gugatan terhadap sistem pemilu proporsional terbuka akan memberikan dampak yang besar. Bila sistem pemilu berubah menjadi tertutup atau coblos partai, bukan hanya mengubah masalah teknis, tapi mempengaruhi kebatinan partai politik dan cara kampanye.
Secara teknis memang akan memudahkan KPU untuk mempersiapkan pemilu. Khususnya masalah logistik pemilu. Namun, harga yang dibayar cukup mahal, terutama dampak kepada partai politik.
Konfigurasi pencalegan partai politik akan berubah, pematangan dan kompetisi antarcaleg juga terhenti. Serta perilaku politisi menjadi lebih elitis, dan hubungan caleg dengan konstituen hancur berantakan.
"Konfigurasi internal pencalegan di masing-masing parpol akan berubah, proses pematangan, pendewasaan dan kompetisi para caleg menjadi terhenti, perilaku politik para politisi akan berubah menjadi lebih elitis, hubungan caleg dan konstituen akan hancur berantakan," ujar Yanuar kepada wartawan, Jumat (30/12/2022).
Hubungan para anggota legislatif terpilih dengan masyarakat di daerah pemilihannya akan terganggu dengan sistem pemilihan yang dilakukan coblos partai langsung.
Yanuar juga menyoroti sikap Mahkamah Konstitusi bila akhirnya memutuskan untuk mengabulkan gugatan agar sistem proporsional tertutup diberlakukan. Sebab, pada tahun 2009, MK yang memutuskan sistem proporsional terbuka digunakan.
"Jika nanti MK mengabulkan gugatan judicial review ke arah proporsional tertutup, hal ini akan menjadi aneh. MK berarti punya standar ganda tentang tafsir konstitusi terkait sistem pemilu," katanya.
Lebih lagi, perubahan sistem pemilu seharusnya menjadi domain pembentuk undang-undang, yaitu DPR dan pemerintah. Kalau MK terlibat maka harus menggunakan pendekatan konstitutif.
Kalau alasan masalah pragmatisme, biaya mahal, persaingan tidak sehat antarcaleg, sampai menurunnya loyalitas kepada partai, bukan persoalan konstitusionalitas. Hal itu menjadi ranahnya pembuat undang-undang.
"Bila MK terlibat lebih jauh soal ini, berarti MK bukan lagi menggunakan pendekatan konstitutif, tetapi malah terjebak dalam pendekatan aktual lapangan yang semestinya menjadi ranah pemerintah dan DPR sebagai pembentuk undang-undang," ujar Yanuar.
Sistem Pemilu Coblos Caleg Masih yang Terbaik
Ketua DPP Golkar Dave Akbarshah Fikarno Laksono turut menolak wacana perubahan sistem pemilu proporsional terbuka atau memilih caleg langsung, menjadi proporsional tertutup yang hanya memilih partai.
Menurut Dave, dengan sistem yang digunakan saat ini, masyarakat bisa memilih wakilnya langsung. Serta anggota legislatif yang terpilih bisa mudah diawasi oleh masyarakat.
"Proporsional terbuka ini memberikan hak kepada masyarakat untuk menentukan siapa yang masyarakat inginkan untuk menjadi wakilnya di parlemen, ini juga menjadi alat untuk masyarakat menilai atau pun menghukum bilamana ada wakil-wakilnya yang tidak bekerja dengan baik," kata Dave kepada wartawan, Jumat (30/12/2022).
Sistem proporsional terbuka dinilai masih menjadi yang terbaik. Semua orang mendapatkan kesempatan yang sama.
"Ini memberikan semua kesempatan yang sama agar dapat terpilih dan juga mewajibkan para anggota Legislatif bekerja dan dekat dengan rakyat. Jangan sampai kewajiban ini hilang hanya karena keinginan elite parpol yang ingin mengontrol pergerakan bangsa," kata Dave.
Dave menyatakan, sistem proporsional terbuka masih relevan untuk pemilu ke depan. Sistem proporsional tertutup malah akan membawa kemunduran berpolitik.
"Dengan mendorong menjadi proporsional tertutup ini akan memperkuat sistem oligarki di dalam Partai dan justru hanya akan memberikan kekuatan kepada Partai untuk menentukan siapa yang mereka inginkan bukan yang masyarakat inginkan," ujar Dave.
"Sementara di Pemilu era demokrasi, ini yang harus diutamakan adalah hak suara rakyat, suara rakyat adalah suara Tuhan," tegasnya.
Dave berpendangan, bila Indonesia kembali ke sistem proporsional tertutup maka ini adalah mengkhianati proses reformasi dan mencabut hak rakyat.
"Dan bahkan mencabut hak-hak yang sudah diberikan kepada rakyat untuk ditentukan oleh sekelompok elite yang akan menjalankan roda pemerintahan tanpa mendengar murni suara, kemauan, dan keinginan rakyat," pungkasnya.
Advertisement
Sistem Proporsional Tertutup Khianati Demokrasi
Senada, Juru Bicara Partai Solidaritas Indonesia (PSI) juga menegaskan penolakan terhadap wacana penerapan sistem proporsional tertutup pada Pemilihan Umum 2024. Dia menyebut, tindakan tersebut adalah bentuk pengkhianatan bagi demokrasi.
âPSI berpendapat bahwa sistem proporsional terbuka adalah kemajuan esensial dalam demokrasi kita. Kerugian konstitusional yang dikeluhkan justru lebih besar apabila diterapkan sistem proporsional tertutup,â kata Ariyo, dalam keterangan pers diterima, Jumat (30/12/2022).
Ariyo menambahkan, sebagai seorang calon legislatif, tentunya akan merasa hak konstitusionalnya dilaksanakan secara penuh ketika bisa mengkampanyekan dirinya sebagai individual wakil rakyat. Selain itu, bagi para pemilih akan lebih puas ketika dirinya mencoblos orang yang memang diinginkannya untuk menjadi wakil rakyat.
âKompetisi antar caleg itu bagus untuk memperkuat sistem merit dalam perekrutan anggota legislatif. Siapa yang punya rekam jejak, pemikiran dan kerja yang bagus, akan dipilih rakyat,â urai Ariyo.
Dia memastikan, PSI menjadi partai yang pro Sistem Proporsional Terbuka karena sudah sesuai dengan keinginan pembentuk undang-undang dan tidak memiliki kelemahan konstitusional.
Dia meyakini, Mahkamah Konstitusi (MK) dapat konsisten mempertahankan keyakinan yang sama ketika memutus gugatan pemohon yang ingin mengembalikian sistem tertutup.
âSistem proporsional tertutup meredam perkembangan politisi muda sehingga urut kacang dan nomor sepatu kembali berlaku. Caleg nomor urut 5 ke bawah hampir mustahil mendapatkan kursi sehingga akan berkampanye seadanya,â wanti Ariyo.
PDIP Tak Masalah Sistem Proporsional Tertutup Diterapkan di Pemilu 2024
Berbeda dengan sebelumnya, Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto menyambut positif wacana penerapan sistem proporsional tertutup Pemilu 2024.
Menurut Hasto, dalam kondisi hari ini, dengan sistem proporsional terbuka, justru menyebabkan liberalisasi politik, dan calon terpilih lebih digerakkan oleh paham individu yang mengedepankan popularitas diri dan sering tidak berkorelasi dengan kapasitas menjalankan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan.
Disisi lain, menurut konstitusi, peserta Pemilu Legislatif adalah Partai Politik, bukan orang per orang.
"Saya melakukan penelitian secara khusus dalam program doktoral saya di Universitas Indonesia, dimana liberalisasi politik telah mendorong partai-partai menjadi partai elektoral, dan kemudian menciptakan dampak kapitalisasi politik, munculnya oligarki politik, kemudian persaingan bebas dengan segala cara," kata Hasto dalam jumpa pers Refleksi Akhir Tahun 2022 dan Harapan Menuju Tahun 2023 yang digelar secara daring, Jumat (30/12/2022).
Karena itu, sebagaimana keputusan Kongres V PDIP, bahwa sistem pemilu bisa dilakukan dengan proporsional tertutup. Terlebih mengingat Pemilu 2024, merupakan ajang parpol untuk saling berkontestasi.
Hasto juga menjelaskan, dengan proporsional tertutup justru akan mendorong kaderisasi di parpol dan mencegah terjadinya liberalisasi politik.
"Dan selanjutnya memberikan insentif bagi peningkatan kinerja di DPR. Dan pada saat bersamaan karena ini adalah pemilu serentak antara Pileg dengan Pilpres, maka berbagai bentuk kecurangan bisa ditekan, sebab pelaksanaan Pemilu menjadi lebih sederhana," ungkap Hasto.
"Terpenting setelah berbagai persoalan ekonomi kita, biaya pemilu bisa jauh ditekan. Sehingga akan menghemat secara signifikan biaya pemilu sekiranya proporsional tertutup itu diterapkan. Penghematan yang ada bisa dipakai untuk stimulus pergerakan ekonomi rakyat," jelasnya.
Meski demikian, Hasto mengingatkan bahwa hal ini menjadi ranah DPR. Dan PDIP akan mengikuti konstitusional di mana tak akan mengajukan Judical Review ke MK.
"Judicial Review MK merupakan mekanisme konstitusional yang dijamin Undang-undang. PDI Perjuangan taat azas karena sebagai Partai yang memiliki fraksi di DPR RI tidak memiliki legal standing untuk melakukan Judicial Review. Namun sikap Partai sebagaimana ditetapkan dalam Kongres V PDIP setuju dengan sistem proporsional tertutup," pungkas Hasto.
Advertisement