Liputan6.com, Jakarta - Tidak peduli negara, suku bangsa, pun pandangan politik, seluruhnya bersatu bahu membahu membantu masyarakat Turki terdampak gempa magnitudo 7,7 yang mengguncang pada Senin 6 Februari 2023.Â
"Thank you Indonesia for helping us," ujar petugas check in Bandara Sabiha Gokcen, Jumat 17 Februari 2023.
Ada semacam kehangatan di antara kami dalam suasana duka ini mendengar ucapan singkat dari seorang pegawai bandara tersebut: tulus. Saat itu saya bersama Muhammad Rudi (Sekjen Bulan Sabit Merah Indonesia atau BSMI), Hafidz Muftisany (Jubir BSMI), dan Muhamad Dilvan Hadir seorang mahasiwa di Universitas Karabuk, hendak menuju Provinsi Hatay, sebuah kota yang terdampak parah akibat gempa Turki.
Advertisement
Laporan sementara, terdapat tiga ribu korban tewas di kota Antakya, salah satu kota di Hatay, dan 10 ribu korban wafat di provinsi ini. Musim dingin menghantui di tengah kota yang luluh lantak.
Di siang hari cuaca mencapai 4 derajat celcius. Namun malam hingga pagi dapat mencapai minus 4-5 derajat.
Ketika saya menyusuri Antakya, terlihat bangunan-bangunan mayoritas apartemen hanya tinggal puing. Tentara dan polisi berjaga di sana sini mirip darurat militer. Para petugas terlihat sibuk di pemakaman massal di sebelah jalan pinggiran Antakya.
"Kita tidak boleh mengambil gambar video atau foto. Kalau ketahuan tentara atau polisi akan mengambil kamera anda. Pokoknya kalau ada tentara atau polisi berjaga jangan ambil gambarnya," ujar salah seorang relawan lembaga kemanusiaan IHH, Brother Atif.
Atif adalah seorang pengungsi asal Pakistan sejak dirinya masih balita yang ditampung IHH dan saat ini bekerja untuk lembaga kemanusiaan tersebut.
Tangisan dan Sirine Ambulans
Saya dilarang mendekat karena prosedural yang berlaku mereka yang dapat mendekati bangunan adalah petugas evakuasi SAR, polisi, tentara, petugas medis, juga para relawan. Berjalan di tengah suasana reruntuhan bangunan dan dikelilingi mobil lapis baja tentara dan polisi persis seperti di wilayah konflik.
Terkadang samar-samar tangisan terdengar dari jarak beberapa meter bangunan yang runtuh. Sementara raung sirine ambulance berseliweran di jalanan, dan helikopter terus berputar di langit Antakya.
Militer memasang mata tajam ke seluruh sudut jalanan yang dia jaga. Polisi menghentikan setiap kendaraan dan maksud memasuki kawasan evakuasi.
"Simpan handphone mu, simpan handphone mu," Tafip memerintahkan saya karena ada petugas polisi didampingi tentara memeriksa setiap kendaraan.
Â
Advertisement
Our brother...
Kendaraan minivan yang kami tumpangi tidak diberhentikan dan melaju terus melintasi puing-puing bangunan menuju posko IHH di Rayhanli. Waktu tempuh ke Rayhanli sekitar 1 jam. Kota ini berdampingan dengan perbatasan Suriah.
Posko IHH di sini sebenarnya adalah penampungan untuk para pengungsi dari berbagai negara. Tidak hanya Suriah, tapi juga Kenya, Tanzania, Sudan, dan negara lainnya. Di sini juga menampung anak imigran yatim piatu. Mereka bersekolah, bermain, makan dan minum di dalam penampungan tersebut.
"Indonesia... Indonesia.. Akhh our brother," ucap Mahmud salah seorang anak imigran asal Sudan ketika saya temui di tempat makan kamp pengungsian.
Hari ini saya berpindah ke Kahramanmaras, provinsi yang juga terdampak gempa paling parah. Jarak tempuh mengggunakan bus sekitar 4,5 jam. Nantikan reportase gempa Turki lainnya di Liputan6.com.
Â