Liputan6.com, Jakarta - Partai Prima menggugat Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), imbas tidak lolosnya parpol tersebut maju dalam Pemilihan Umum atau Pemilu 2024. Hasilnya, majelis hakim memutus agar KPU menunda pelaksanaan Pemilu 2024.
"Menghukum Tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari," tulis salinan Putusan Nomor: 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst seperti dikutip Liputan6.com, Kamis 2 Maret 2023.
Atas keputusan tersebut, sejumlah pihak pun angkat bicara, khususnya KPU. Ketua KPU Hasyim Asy'ari memastikan tak ada penundaan Pemilu pasca putusan peradilan perdata PN Jakarta Pusat yang memenangkan gugatan Partai Prima terkait penundaan Pemilu 2024.
Advertisement
Kendati demikian, pihaknya bakal menunggu salinan resmi dari PN Jakpus ihwal perkara tersebut.
"Kami di internal KPU sudah rapat membahas substansi dari putusan dari Pengadilan Negeri Jakpus ini dan kami menyatakan nanti kalau sudah kita menerima salinan putusannya kita akan mengajukan upaya hukum berikutnya, yaitu banding ke pengadilan tinggi," kata Hasyim dalam konferensi pers secara daring, Kamis 2 Maret 2023.
"Dengan demikian, nanti kalau kami sudah bersikap secara resmi dalam arti mengajukan upaya hukum perlu kami tegaskan bahwa KPU tetap akan menjalankan tahapan-tahapan Pemilu 2024 ini," sambung Hasyim.
Selain itu, Anggota Dewan Penasihat Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai, keputusan tersebut bertentangan dengan undang-undang.
"PN yang memerintahkan penundaan pemilu sampai 2025 merupakan pelanggaran terbuka terhadap amanat Konstitusi. Isi putusan yang aneh, janggal, dan mencurigakan," kata Titi.
Sejumlah partai politik (parpol) pun juga angkat bicara. Salah satunya Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Wakil Sekjen PKS bidang Hukum Zainuddin Paru menyatakan gugatan yang diajukan Partai Prima adalah Gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Yang menyatakan Partai Prima dirugikan secara Pardata. Namun tidak demikian dengan partai lain.
Berikut sederet respons berbagai pihak usai putusan PN Jakarta Pusat (PN Jakpus) memutus agar KPU menunda pelaksanaan Pemilu 2024 dihimpun Liputan6.com:
Â
1. Perludem
Anggota Dewan Penasihat Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menanggapi soal putusan peradilan perdata Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang memenangkan gugatan Partai Prima terkait penundaan Pemilu 2024. Menurut Titi keputusan tersebut bertentangan dengan undang-undang.
"PN yang memerintahkan penundaan pemilu sampai 2025 merupakan pelanggaran terbuka terhadap amanat Konstitusi. Isi putusan yang aneh, janggal, dan mencurigakan," kata Titi saat dikonfirmasi, Kamis 2 Maret2 023.
Selain itu, menurut Titi, dalam sistem penegakan hukum Pemilu tidak dikenal mekanisme perdata melalui Pengadilan Negeri untuk menyelesaikan keberatan dalam pendaftaran dan verifikasi partai politik peserta Pemilu. Langkah awal, kata Titi, partai politik (Parpol) hanya dapat menempuh sengketa ini di Bawaslu
"Saluran yang bisa tempuh partai politik hanyalah melalui sengketa di Bawaslu dan selanjutnya upaya hukum untuk pertama dan terakhir kali di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hal itu diatur eksplisit dalam Pasal 470 dan 471 UU Nomor 7 Tahun 2017," jelas dia.
Dia menyampaikan bahwa dalam hal ini, PN Jakpus tidak punya kompetensi memutuskan penundaan Pemilu, apalagi sampai mengeluarkan instruksi menunda pelaksanaan Pemilu 2024.
"Jadi bukan kompetensi PN Jakpus untuk mengurusi masalah ini apalagi sampai memerintahkan penundaan Pemilu ke 2025," ucapnya.
Titi menerangkan bahwa pelanggaran administrasi dalam pendaftaran dan verifikasi parpol peserta Pemilu ihwal tata cara, prosedur, dan mekanismenya, hanya bisa ditempuh Partai Prima melalui Bawaslu. Sehingga, keputusan PN Jakpus yang memenangkan gugatan Partai Prima ini terkesan aneh
"Ini aneh langkah menunda pemilu via upaya perdata di pengadilan negeri. Komisi Yudisial mestinya proaktif untuk memerika majelis pada perkara ini. Sebab ini Putusan yang jelas menabrak Konstitusi dan juga sistem penegakan hukum pemilu dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum," jelas Titi.
Â
Advertisement
2. KPU
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari memastikan tak ada penundaan pemilihan umum pasca putusan peradilan perdata Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang memenangkan gugatan Partai Prima terkait penundaan Pemilu 2024.
Kendati demikian, pihaknya bakal menunggu salinan resmi dari PN Jakpus ihwal perkara tersebut.
"Kami di internal KPU sudah rapat membahas substansi dari putusan dari Pengadilan Negeri Jakpus ini dan kami menyatakan nanti kalau sudah kita menerima salinan putusannya kita akan mengajukan upaya hukum berikutnya, yaitu banding ke pengadilan tinggi," kata Hasyim dalam konferensi pers secara daring.
"Dengan demikian, nanti kalau kami sudah bersikap secata resmi dalam arti mengajukan upaya hukum perlu kami tegaskan bahwa KPU tetap akan menjalankan tahapan-tahapan Pemilu 2024 ini," sambungnya.
Hasyim menjelaskan, tahapan dan jadwal Pemilu 2024 tertuang dalam bentuk hukum atau produk hukum KPU berupa Peraturan KPU, tepatnya Peraturan KPU Nomor 3 tahun 2022 tentang tahapan dan jadwal Pemilu 2024.
"Sehingga dengan demikian, dasar hukum tentang tahapan dan jadwal masih sah dan memiliki kekuatan hukum mengikat ini sebagai dasar KPU untuk tetap melaksanakan atau melanjutkan Pemilu 2024," jelas dia.
Selain itu, Hasyim menyampaikan bahwa pengujian produk-produk pejabat tata usaha negara dalam hal ini KPU, bukanlah kewenangan PN melainkan PTUN. Menurutnya, hal ini juga sudah disampaikan pihaknya berupa pengajuan eksepsi sebagai jawaban atas gugatan yang dilayangkan dalam perkara tersebut.
"Kami sampaikan bahwa kewenangan untuk menguji produk-produk pejabat tata usaha negara dalam hal ini KPU sebagai penyelenggara negara yang khususnya menyelenggarakan Pemilu itu ranah wewenangnya ada di PTUN dan kami nyatakan bahwa ini sudah pernah diuji oleh PTUN dan dinyatakan tidak daat diterima," ungkap dia.
"Sehingga dengan begitu keputusan KPU tentang penetapan parpol peserta Pemilu 2024 masih berlaku sah dan berkekuatan hukum mengikat. Sehingga demikian status tentang parpol mana saja yang telah ditetapkan oleh KPU sebagai peserta Pemilu 2024 tidak ada perubahan," katanya.
Hasyim pun menjelaskan kronologi soal upaya Partai PRIMA mencoba meloloskan diri sebagai peserta Pemilu 2024 usai dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) verifikasi oleh pihaknya.
Menurut dia, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menyatakan Pemilu 2024 harus ditunda karena gugatan perdata Partai PRIMA bukanlah upaya pertama yang dilakukan.
Hasyim lantas mengurai langkah hukum Partai PRIMA mulai dari Bawaslu hingga Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang semuanya dinyatakan ditolak.
"Pertama, Partai PRIMA pernah mengajukan permohonan sengketa proses Pemilu terutama dalam hal kelengkapan sebagai perserta Pemilu 2024, permohonan itu pernah diajukan ke Bawaslu dengan berita acara hasil verifikasi administrasi persyaratan partai. Sengketa yang diajukan ke Bawaslu ditolak pada tahun 2022," kata Hasyim.
Dia melanjutkan, usaha Partai PRIMA tidak berhenti. Mereka membawa objek sengketa yang sama ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Rentang waktunya, pada saat itu adalah November 2022.
Namun hasilnya senada, PTUN Jakarta menyatakan tidak dapat mengadili dan memutus objek sengketa yang diajukan oleh Partai PRIMA.
"Dalam hal itu PTUN yang menyatakan yang pada pokoknya tidak berwenang memutus perkara tersebut karena objeknya masih berita acara, jadi PTUN Jakarta merasa tidak berwenang karena objeknya bukan putusan KPU," jelas Hasyim.
Kemudian, sambung Hasyim, Partai PRIMA mencoba membawanya ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Kali ini, Partai Prima menggugat KPU melalui jalur perdata pada 8 Desember 2022. Sengketanya adalah Partai Prima merasa dirugikan oleh KPU saat proses tahapan verifikasi partai.
Pada upaya kali ini, Partai PRIMA berhasil menang dan KPU mendapat sejumlah vonis yang salah satunya perintah penundaan Pemilu 2024.
"Pada putusannya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menghukum KPU dengan membayar denda Rp 500 juta dan menghukum tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan pemilu 2024 sejak putusan diucapkan dan melaksanakan tahapan pemilu dari awal selama lebih kurang dua tahun empat bulan 7 hari," tegas Hasyim.
Â
3. Komisi Yudisial
Komisi Yudisial (KY) menanggapi terkait putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat atas gugatan Partai Prima dengan pihak tergugat Komisi Pemilihan Umum (KPU). Perihal penundaan tahapan Pemilu 2024 dan kembali melakukan tahap verifikasi.
"Begini, KY domainnya adalah dugaan pelanggaran perilaku hakim. Jadi bukan substansi putusan. KY tidak bisa menilai baik atau buruk, benar atau salahnya, suatu putusan. Meskipun tentu putusan bisa menjadi pintu masuk apakah ada dugaan pelanggaran perilaku atau tidak, tetapi yang diuji oleh KY bukan substansi putusan hakim," kata Juru Bicara Komisi Yudisial(KY), Miko Ginting dalam keterangannya.
KY, kata Miko, memahami putusan PN Jakarta Pusat akan menimbulkan reaksi dari masyarakat. Terutama di tengah gejolak wacana penundaan Pemilu yang sempat berhembus.
"Apalagi putusan hakim tidak hidup dalam ruang hampa. Ada aspek sosiologis, yuridis, politis (salah satunya nilai demokrasi), dan seterusnya yang akhirnya menjadi nilai-nilai dalam masyarakat. Secara prinsip, hakim diwajibkan menggali nilai-nilai dalam masyarakat tersebut," tuturnya.
Sehingga, Miko menyatakan bagi pihak yang merasa keberatan terhadap putusan tersebut, dengan dugaan adanya pelanggaran perilaku hakim bisa melaporkan kepada KY.
"Untuk itu, jalur yang tepat adalah melalui upaya hukum, apabila para pihak tidak setuju dengan substansi putusan ini. Apabila berpandangan ada dugaan pelanggaran perilaku hakim, KY juga senantiasa akan memproses laporan atau informasi tersebut," ucapnya.
"Sekali lagi, silakan ajukan upaya hukum, jika yang dipersoalkan substansi putusannya. Kontestasi terhadap substansi putusan berada di jalur upaya hukum," jelas Miko.
Â
Advertisement
4. Pakar Hukum dan Mantan Ketua MK
Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan, putusan PN Jakarta Pusat terkait gugatan Partai Prima tidak berlaku umum. Sebabnya gugatan tersebut merupakan gugatan perdata. Sehingga bila PN Jakarta Pusat memutuskan untuk menunda pemilu maka keliru.
"Saya berpendapat majelis hakim telah keliru membuat putusan dalam perkara ini. Sejatinya gugatan yang dilayangkan Partai Prima adalah gugatan perdata, yakni gugatan perbuatan melawan hukum biasa, bukan gugatan perbuatan melawan hukum oleh penguasa, dan bukan pula gugatan yang berkaitan dengan hukum publik di bidang ketatanegaraan atau administrasi negara," ujar Yusril dalam keterangannya.
Dalam gugatan perdata, sengketanya adalah antara penggugat dalam hal ini Partai Prima dengan tergugat yaitu KPU. Putusan seharusnya hanya mengikat tergantung penggugat dan tergugat saja. Berbeda dengan pengujian undang-undang dalam putusan bidang hukum tata negara atau administrasi negara.
"Putusannya tidak berlaku umum dan mengikat siapa saja atau 'erga omnes'. Beda dengan putusan di bidang hukum tata negara dan administrasi negara seperti pengujian undang-undang oleh MK atau peraturan lainnya oleh MA. Sifat putusannya berlaku bagi semua orang (erga omnes)," ujar Yusril.
Sehingga putusan PN Jakarta Pusat seharusnya tidak mengikat partai lain atau para peserta pemilu.
Menurut Ketua Umum PBB ini, gugatan Partai Prima seharusnya hanya menghukum KPU untuk melakukan verifikasi ulang tanpa mengganggu tahapan pemilu.
"Jadi kalau majelis berpendapat bahwa gugatan Partai Prima beralasan hukum, maka KPU harus dihukum untuk melakukan verifikasi ulang terhadap Partai Prima, tanpa harus 'mengganggu' partai-partai lain dan mengganggu tahapan Pemilu," jelas Yusril.
Menurut Yusril gugatan Partai Prima seharusnya dilakukan di Bawaslu dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Sehingga PN Jakarta Pusat seharusnya menolak gugatan tersebut karena bukan kewenangannya mengadili.
"Inipun sebenarnya bukan materi gugatan PMH tetapi gugatan sengketa administrasi pemilu yang prosedurnya harus dilakukan di Bawaslu dan Pengadilan TUN. Pada hemat saya majelis harusnya menolak gugatan Partai Prima, atau menyatakan N.O atau gugatan tidak dapat diterima karena Pengadilan Negeri tidak bewenang mengadili perkara tersebut," jelas Yusril.
Sementara itu, Eks Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshidiqie menilai, hakim PN Jakarta Pusat yang memutuskan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menunda tahapan Pemilu layak dipecat. Sebab, hakim tersebut tidak profesional dan tidak mengerti hukum pemilu.
"Hakimnya layak untuk dipecat karena tidak profesional dan tidak mengerti hukum pemilu serta tidak mampu membedakan urusan private (perdata) dengan urusan urusan publik," ujar Jimly kepada wartawan, dikutip Jumat 3 Maret 2023.
Urusan pengadilan perdata harusnya membatasi untuk masalah perdata saja. Sanksinya cukup dengan mengganti rugi, bukan sampai menunda jalannya pemilu.
"Sanksi perdata cukup dengan ganti rugi, bukan menunda pemilu yang tegas merupakan kewenangan konstitusional KPU," jelas Jimly.
Jimly mengatakan, sengketa terkait proses pemilu harusnya diadili Bawaslu dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sementara sengketa hasil pemilu diadili oleh Mahkamah Konstitusi. Pengadilan negeri tidak punya kewenangan untuk memutuskan masalah pemilu.
"Hakim PN tidak berwenang memerintahkan penundaan pemilu," ujarnya.
Jimly menyarankan sebaiknya putusan tersebut dilakukan banding sampai kasai bila perlu. "Kita tunggu sampai inkracht," jelas Jimly.
Â
5. PKS dan PKB
Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat mengabulkan gugatan Partai Prima terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU). PN Jakpus memerintahkan KPU agar Pemilu 2024 ditunda.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Sekjen PKS bidang Hukum Zainuddin Paru menyatakan gugatan yang diajukan Partai Prima adalah Gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Yang menyatakan Partai Prima dirugikan secara Pardata. Namun tidak demikian dengan partai lain.
"Terhadap Surat Keputusan KPU seharusnya diperiksa dan diputus oleh PTUN. Bukan wilayah PN," kata Zainuddin saat dinkonfirmasi.
PKS menegaskan, tahapan Pemilu sudah berjalan tidak bisa diinterupsi karena persoalan satu partai. Apalagi, putusan Pemilu, lanjutnya, adalah ranah MK.
"Soal putusan pemilu berjalan atau tunda adalah kewenangan MK," kata dia.
Zainuddin menegaskan keputusan PN Jakpus tersebut tidak menghalangi KPU untuk terus bekerja melanjutkan tahapan Pemilu 2024.
"Putusan ini tidak menghalangi KPU melaksanakan tugasnya melanjutkan tahapan pemilu hingga diselenggarakan pada 14 Februari 2024," pungkas dia.
Sementara itu, Anggota Fraksi PKB DPR Luqman Hakim menyatakan putusan tersebut bertentangan dengan konstitusi.
"Menurut saya, Putusan PN Jakpus yang memerintahkan KPU agar menunda pelaksanaan tahapan Pemilu 2024 bertentangan dengan konstitusi negara, yakni Pasal 22E UUD 1945 yang memerintahkan Pemilu dilaksanakan setiap lima tahun," kata Luqman.
Menurutnya, putusan PN tidak memiliki kekuatan hukum tetap karena bertentangan dengan UUD 1945.
"Maka putusan PN Jakpus itu tidak memiliki kekuatan hukum tetap dan oleh karenanya wajib diabaikan," kata dia.
Luqman mendukung respons KPU yang menyatakan banding atas putusan PN Jakpus.
"Kepada seluruh stakeholder pemilu, saya minta tetap menjalankan tahapan-tahapan Pemilu 2024 yang telah ditetapkan, sehingga Pemilu 14 Februari 2024 dapat berjalan dengan lancar dan berkualitas," pungkasnya.
Â
Advertisement
6. PDIP
Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto menyatakan, telah melakukan konsultasi kepada Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri terkait putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait gugatan yang diajukan Partai Prima.
"Ibu Megawati mengingatkan bahwa berpolitik itu harus menjunjung tinggi tata negara dan tata pemerintahan yang baik berdasarkan konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Sekiranya ada persoalan terkait dengan undang-undang ferhadap konstitusi ya ke MK, dan terkait sengketa Pemilu harus berpedoman UU Pemilu," ujar Hasto menyampaikan arahan Megawati, dalam keterangannya.
Megawati juga menegaskan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak judicial review terhadap perpanjangan masa jabatan presiden dan penundaan pemilu harus menjadi rujukan.
"Atas dasar putusan MK tersebut maka berbagai upaya penundaan Pemilu adalah inkonstitusional. PDI Perjuangan sikapnya sangat kokoh, taat konstitusi, dan mendukung KPU agar Pemilu berjalan tepat waktu. Karena itulah Ibu Megawati menegaskan agar KPU tetap melanjutkan seluruh tahapan Pemilu," ujar Hasto.
Hasto mengatakan, DPP PDIP menyampaikan hasil analisis hukum terkait putusan PN Jakarta Pusat tersebut, dan secara garis besar disampaikan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, bahwa berdasarkan UU Pemilu, maka sengketa atas penetapan parpol peserta Pemilu, yang berwenang mengadili adalah Bawaslu dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN).
Kedua, Partai Prima ternyata sudah pernah mengajukan gugatan ke Bawaslu dan PTUN. Dan oleh Bawaslu sudah ditolak artinya menguatkan keputusan KPU.
Ketiga, Komisioner KPU merupakan pejabat Tata Usaha Negara (TUN), karena itulah keputusan KPU sebagai pejabat TUN hanya dapat dibatalkan oleh PTUN.
Keempat, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak memiliki kewenangan untuk mengadili sengketa penetapan parpol peserta Pemilu. Karena itulah sikap KPU untuk memutuskan banding sangat clear dan benar serta didukung oleh PDI Perjuangan.
Kelima, putusan PN Jakarta Pusat juga tidak merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak judicial review terkait perpanjangan masa jabatan Presiden.
"Di luar hal tersebut PDI Perjuangan juga menangkap keanehan putusan PN Jakarta Pusat, mengingat pengadilan tersebut tidak memiliki kewenangan terkait sengketa yang diajukan Partai Prima. Sangat jelas berdasarkan UU Pemilu, hanya Bawaslu dan PTUN yang memiliki kewenangan," tegas Hasto.
PDIP juga bersikap bahwa putusan PN Jakarta Pusat bukan ranahnya sehingga harus dibatalkan. PDIP juga meminta Komisi Yudisial (KY) untuk melakukan investigasi terhadap adanya dugaan penyalahgunaan kewenangan majelis hakim PN Jakarta Pusat yang menyidangkan perkara tersebut.
"Jadi sesuai arahan Ibu Ketua Umum, maka PDI Perjuangan demi menjaga konstitusi dan mekanisme demokrasi secara periodik melalui Pemilu 5 tahunan, menolak segala bentuk penundaan Pemilu atau perpanjangan masa jabatan," pungkas Hasto.
Senada, Ketua DPP PDIP Ahmad Basarah menyatakan, gugatan ke PN oleh Partai PRIMA diajukan dengan menggunakan hukum umum yaitu hukum perdata berupa Perbuatan Melawan Hukum. Padahal permasalahannya adalah terkait pemilu yang seharusnya tunduk pada UU Pemilu.
"UU Administrasi Pemerintahan telah menyatakan bahwa sejak berlakunya UU Administrasi Pemerintahan, maka gugatan perbuatan melawan hukum oleh pejabat pemerintahan merupakan kewenangan dari PTUN," kata Basarah saat dikonfirmasi.
Basarah menilai, putusan PN yang menunda Pemilu 2024 bertentangan dengan UU 1945 yang secara jelas menyebutkan pemilu dilaksanakan setiap 5 tahun sekali.
"Jelas bertentangan dengan UU 1945. Padahal hakim dalam memutus perkara harus berpedoman kepada UUD NRI 1945 sebagai hukum dasar tertinggi," kata dia.
Wakil Ketua MPR itu menilai, upaya hukum banding oleh KPU atas putusan PN ini merupakan langkah yang tepat dan beralasan menurut hukum.
"Karena ada upaya banding oleh KPU, maka putusan PN Jakarta Pusat tersebut belum berkekuatan hukum tetap. Artinya tahapan Pemilu 2024 harus tetap berjalan sebagaimana mestinya," pungkasnya.
Â
7. Partai NasDem dan Demokrat
Mahkamah Agung didesak untuk memberikan peringatan kepada PN Jakarta Pusat atas putusan penundaan Pemilu. PN Jakarta Pusat dinilai keluar dari kewenangan mengadili gugatan Partai PRIMA.
"MA yang punya fungsi pembinaan dan pengawasan untuk itu, untuk memberikan peringatan juga terhadap PN Jakpus ya karena sudah jelas bahwa itu di luar kewenangan menangani sengketa proses pemilu dalam hal ini sengketa verifikasi parpol," ujar Wakil Ketua Komisi II DPR Fraksi NasDem Saan Mustopa kepada wartawan.
Saan menegaskan, dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 jelas mengatur sengketa proses pemilu hanya bisa diadili oleh Bawaslu dan PTUN. Tidak ada kewenangan Pengadilan Negeri menerima sengeketa partai politik.
Saan mengatakan, PN Jakarta Pusat seharusnya paham berdasarkan undang-undang tersebut tidak menerima gugatan yang diajukan Partai PRIMA.
"Nah harusnya PN ketika ada pengajuan sengketa proses dan paham betul UU itu kan harusnya tidak menerima. Bukan hanya memutus tapi juga tidak boleh menerima terkait gugatan itu. Dan harusnya dia menyampaikannya ke PTUN," tegas Saan.
Sekretaris Fraksi NasDem DPR ini mengaku tidak paham apakah ada kelalaian oleh hakim yang memutus. Tetapi, Mahkamah Agung seharusnya cepat memberikan sikap meluruskan masalah ini agar tidak semakin panjang.
"Kalau saya lebih baik lembaga di atasnya, yaitu MA harus meluruskan terkait dengan itu," kata Saan.
Sementara itu, Wakil Sekjen Partai Demokrat Irwan Fecho angkat suara, soal putusan perdata Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) terkait penundaan Pemilu 2024 terhadap KPU.
Irwan menduga, adanya vonis janggal yang sudah pasti diprotes banyak pihak itu sengaja dilakukan untuk memancing riak publik atau testing the water. Tujuannya, semata untuk memperpanjang masa jabatan presiden saat ini.
"Bisa jadi sebagai upaya test the water untuk hidupkan terus upaya penundaan pemilu sebagai bagian dari perpanjangan masa jabatan presiden," kata dia.
Irwan meyakini, vonis tersebut adalah kekuatan besar yang mengorkestrasi upaya-upaya perpanjangan di semua sektor dan harus segera diketahui dan dihentikan oleh rakyat. Sebab, vonis tersebut pasti memiliki efek domino yang jika tidak memiliki ‘backing’ maka akan berakibat fatal.
"Tidak mungkin dari menteri, pengamat politik, organisasi pemuda, pengusaha, aparat desa sampai dengan hakim berani bermain-main di area isu ini jika tidak diorkestrasi," yakin dia.
Irwan mewanti, agar jangan ada yang bermain-main dengan tahapan Pemilu 2024. Menurut dia, semua harus dijalankan sesuai amanat Undang-Undang yang berlaku. Dia pun mengajak masyarakat sebagai kekuatan sipil untuk bersatu agar tidak ada yang ‘masuk angin’.
"Demokrasi dan Konstitusi kita makin dipinggir jurang. Rakyat harus bersatu, siaga dan waspada," Irwan memungkasi.
Â
Advertisement
8. DPR RI dan Istana
Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia menilai, putusan PN Jakarta Pusat soal penundaan Pemilu sudah melampaui kewenangan. Menurutnya, Bukan ranah pengadilan negeri untuk memutuskan soal pemilu, melainkan Mahkamah Konstitusi (MK).
"Saya cukup menyayangkan keputusan PN itu. Pertama bahwa itu kan putusan itu melampui kewenangannya. Kan, pemilu ini diatur dalam UU, bahkan UUD kita mengatakan pemilu itu lima tahun sekali. Jadi, abis dari 2019 ya 2024. Nah, terus kalau pun kita mau menunda pemilu, ya, atau yang dipersoalkan itu UU-nya. Nah, kalau mau mempersoalkan UU, itu ranahnya MK. Bukan ranah PN," ucap Doli.
Selain itu, pengadilan negeri melampaui kewenangan karena membatalkan perintah undang-undang. Doli memandang, putusan PN Jakarta Pusat tidak mengikat. Sehingga seharusnya pemilu bisa terus berjalan.
"Kenapa keputusan KPU yang digugat, putusan akhirnya tiba-tiba penundaan pemilu yang mau membatalkan UU. Nah, itu yang saya sebut bahwa dia mengambil keputusan melampaui kewenangannya. Oleh karena itu putusan itu tidak mengikat. Jadi, menurut saya, pemilu jalan terus, karena ranahnya berbeda," ujar politikus Golkar ini.
Juga payung hukum UU No.7 tahun 2017 tentang Pemilu masih berlaku. Serta tahapan pemilu sedang berjalan. Sehingga tanpa perubahan undang-undang tidak akan bisa ditunda.
"Selama UU belum berubah, pemilu ini payung hukumnya UU Nomor 7 tahun 2017 dan sekarang kita semua sedang melakukan persiapan utk itu. Tahapan sudah jalan, ya, kan, semua elemen dalam pemilu sudah bekerja, jadi jalan saja," ujar Doli.
Doli mengatakan, Komisi II DPR akan memanggil KPU terkait putusan PN Jakarta Pusat soal penundaan tahapan Pemilu 2024. Komisi II akan menggelar rapat untuk membahas masalah tersebut.
Doli mengatakan, pihaknya ingin memastikan bahwa banding yang diajukan KPU terhadap putusan PN Jakarta Pusat itu tepat.
"Ya, kami akan panggil KPU karena mereka mau banding, cuma bandingnya harus tepat," ujar Doli.
DPR akan meminta KPU untuk memastikan penyelenggaraan Pemilu 2024 tidak terganggu. Doli ingin KPU memastikan pemilu tidak dapat ditunda.
"Nanti makanya kami akan memanggil KPU sebagai penyelenggara pemilu untuk memastikan persiapan jalan terus," ujarnya.
Komisi II akan mengupayakan rapat dengan KPU ini bisa digelar. Mereka akan meminta pimpinan untuk digelar rapat pada masa reses.
"Ya, bila perlu kalau sepakat pimpinan komisi sama kapoksi, oke sebelum masa sidang kita rapat dahulu," ujar Doli.
Sementara itu, Kantor Staf Presiden (KSP) meminta masyarakat tetap tenang, ditengah kontroversi putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus) soal penundaan Pemilu 2024. Dia mengingatkan masyarakat untuk tak terprovokasi dengan gerakan-gerakan yang dapat memperkeruh suasana.
"Kepada masyarakat untuk tetap tenang dan menjaga suasana kondusif. Jangan terprovokasi dengan informasi atau gerakan yang memperkeruh suasana," kata Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP) Jaleswari Pramowardhani.
Dia meminta masyarakat mempercayakan soal ini kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU), yakni terkait langkah-langkah yang akan diambil. Jaleswari memastikan KPU akan berupaya agar Pemilu 2024 tetap dilanjutkan sesuai jadwal yang sudah ditetapkan.
"Percayakan kepada KPU untuk mengambil langkah terbaik. KPU untuk terus bekerja sebaik-baiknya, bekerja secara mandiri, profesional, dan berintegritas, tetap melanjutkan pelaksanaan tahapan Pemilu 2024 yang telah dimulai sebelumnya," jelasnya.
Jaleswari menekankan bahwa pemerintah juga mendukung KPU agar Pemilu 2024 digelar sesuai jadwal. Hal ini, kata dia, juga ditegaskan Presiden Joko Widodo atau Jokowi di berbagai kesempatan.
"Pemilu secara rutin merupakan agenda konstitusi yang harus bersama-sama didukung dan dilaksanakan sebaik-baiknya," ujar dia.
"Pemerintah akan terus memberikan fasilitas dan dukungan pelaksanaan tahapan pemilu sebagaimana yang telah diagendakan KPU," pungkas Jaleswari.