Liputan6.com, Jakarta - Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengakui, sistem demokrasi yang dianut sejumlah negara turut menjadi penyebab pembelahan di masyarakat. Tidak terkecuali, di Indonesia. Menurut Tito Karnavian, pembelahan akibat demokrasi disebabkan rakyat sebagai pemegang mandat tertinggi dibolehkan memiliki tujuan pribadi yang berbeda.
“Ini harga yang memang harus dibayar dari sistem demokrasi karena kita menganutnya dengan sistem pemilihan langsung,” kata Tito saat berpidato dalam acara BNPT bertajuk Dialog Kebangsaan bersama Parpol dalam persiapan Pemilu 2024 di Hotel St. Regis Jakarta, Senin (13/3/2023).
Baca Juga
Tito juga menjelaskan, dalam penafsirannya pembelahan akibat demokrasi adalah melegalisasi terjadinya polarirasi. Sebab atas nama demokrasi membedakan mereka memberikan hak pilih untuk sesuai keinginannya.
Advertisement
“Atas nama demokrasi membedakan mereka dalam memberikan hak pilih untuk sesuai pilihan masing-masing, atas nama demokrasi hal ini dibenarkan,” jelas Tito.
Artinya, lanjut Tito, pembelahan yang diakibatkan konflik tentu memicu potensi konflik dan ketersinggungan antarpihak. Oleh karena hal yang seharusnya dibenahi bukanlah mengubah sistemnya, melainkan mengantisipasi potensinya agar tidak mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
“Konflik adalah hal biasa karena berbeda tujuan namun tidak boleh saling menghancurkan, harus dikelola agar konflik tidak mengoyak kebangsaan apalagi di tengah bangsa yang sangat plural,” jelas Tito.
Tito mencontohkan, salah satu cara untuk mengantisipasi konflik tersebut adalah dengan terus menggaungkan sikap Pancasila yang toleran dengan penuh semangat persatuan dan kesatuan.
“Kita berharap tidak terjadi pemecahan karena negara kita sangat plural dan toleran, langkah kita adalah memperkuat dan terus mengampanyekan narasi moderat agar persatuan bangsa tidak goyah seperti Pancasila sebagai final dan unity in diversity,” Tito menandasi.
Demokrasi Berbasis Pancasila
Megawati Institute menggelar diskursus, soal demokrasi di ASEAN dengan membedah buku berjudul “The Meaning of Democracy in Southeast Asia yang ditulis Diego Fossati pada tahun 2023.
Menurut Direktur Eksekutif Megawati Insititute Arif Budimanta, diskusi akan dibedah oleh Gusti Ragananta, alumnus University of Tokyo dan Reno Konconegoro peneliti dari Sigmaphi.
“Yang kita bahas kali ini adalah the meaning of Democracy in Southeast Asia jadi membahas ini soal liberalisme, egalitarianisme dan partitipation yang diterbitkan oleh Cmbridge University di tahun 2023,” ujar Arif saat membuka diskusi yang disiarkan daring, Senin (6/1/2023).
Dia menambahkan, berbicara mengenai Asia Tenggara (ASEAN) banyak hal yang bisa dipetik pemaknaannya dari sebuah proses demokrasi.
Mulai dari demokrasi yang berbasis deliberatif, substantial mau pun varian demokrasi lainnya seperfi fraud democracy juga prosedural democracy.
“Indonesia kita tahu memiliki pilihan dan jalan sendiri dalam penempuhan aspek demokrasi yang sudah dituangkan oleh para pendiri bangsa, yaitu demokrasi yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila,” jelas Arif.
“Jadi boleh dikatakan demokrasi di Indonesia basisnya counter terhadap demokrasi model liberalisme,” tegas dia.
Advertisement