Liputan6.com, Jakarta - Pakar Hukum Tata Negara Hibnu Nugroho mengatakan, sikap tegas Kejaksaan Agung (Kejagung) yang tidak akan menggunakan restorative justice (RJ) atas kasus penganiayaan yang dilakukan Mario Dandy terhadap David Ozora sudah tepat. Peraturan Kejaksaan Agung tegas mengatur bahwa restorative justice hanya untuk pidana ringan.
"Sudah tepat itu. Karena kalau restorative justice justru akan menyalahi Peraturan Kejaksaan Agung," kata Hibnu dalam keterangan tertulis, Minggu (19/3/2023).
Hibnu mengatakan, peraturan Kejagung tegas menguraikan bahwa restorative justice untuk tindak pidana ringan. Sementara kasus penganiayaan yang dilakukan Mario Dandy adalah tindak pidana berat.
Advertisement
"Hukumannya berat. Perencanaan (penganiayaan direncanakan) lagi," ungkap Hibnu.
Apalagi, pihak keluarga David Ozora juga menolak tawaran damai. "Kalaupun pihak keluarga korban menerima, negara pun belum tentu bisa menerima," ungkap dia.
Menanggapi kemungkinan tersangka AG yang masih kategori anak, apakah bisa direstorative justice, menurut Hibnu, dimungkinkan pelaku anak bisa restorative justice. Akan tetapi, hal tersebut untuk kasus yang ancaman hukumannya di bawah 7 tahun penjara.
Sementara AG pacar Mario Dandy, kata Hibnu, dijerat dengan pasal penganiayaan berat yang ancaman hukumannya di atas 7 tahun.
Mario Dandy Cs Diwacanakan Dapat Restorative Justice, Kejagung: Mereka Tidak Layak
Tersangka dugaan penganiayaan berat terhadap seorang pemuda bernama David Ozora, Mario Dandy bersama rekannya Shane Lukas serta AG diwacanakan akan mendapatkan restorative justice. Adapun ini dilontarkan oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.
Terkait hal tersebut, Kejaksaan Agung (Kejagung) tidak angkat bicara. Menurut dia, pihaknya tak mentolerir aksi penganiayaan terhadap David Ozora tersebut. Sehingga, pemberian restorative justice atau RJ kepada Mario Dandy tidak layak.
"Secara tegas disampaikan bahwa Tersangka Mario Dandy dan Shane Lukas tidak layak mendapatkan RJ," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Ketut Sumedana dalam keterangannya, Minggu (19/3/2023).
Dia menilai yang menjadi dasar untuk tidak menerima RJ seperti tercantum dalam Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia No. 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
"Perbuatan yang dilakukan oleh tersangka sangat keji dan berdampak luas baik di media maupun masyarakat, sehingga perlu adanya tindakan dan hukuman tegas bagi para pelaku," jelas Ketut.
Adapun untuk anak yang berkonflik dengan hukum alias pelaku AG, mengacu pada undang-undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak agar mewajibkan penanganan perkara untuk dilakukan upaya diversi.
Dalam hal ini antara AG dengan korban dan keluarga korban ada upaya untuk pemberian maaf dan berdamai.
"Bila tidak ada kata maaf, maka perkara pelaku anak harus dilanjutkan sampai pengadilan," pungkas Ketut.
Advertisement
Proses Kelengkapan Berkas Mario Dandy Cs
Sementara itu, Polda Metro Jaya sampai saat ini masih dalam proses kelengkapan berkas perkara terhadap para tersangka. Polisi pun telah mengkonstruksikan pasal baru terhadap kedua tersangka dan satu pelaku anak.
Untuk tersangka Mario, dijerat dengan pasal 355 KUHP ayat 1, subsider pasal 354 ayat 1 KUHP, subsider 535 ayat 2 KUHP, subsider 351 ayat 2 KUHP. Penyidik juga mengenakan Mario pasal 76c Jo 80 Undang-Undang Perlindungan Anak.
"Dengan ancaman maksimal 12 tahun penjara," tutur Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Kombes Hengki Haryadi.
Lanjut, untuk tersangka Shane dijerat pasal 355 ayat 1 Jo pasal 56 KUHP, subsider 354 ayat 1 Jo 56 KUHP, subsider 353 ayat 2 Jo 56 KUHP, subsider 351 ayat 2 Jo 76c Und
Sedangkan untuk pelaku AG, pasal 76 c jo pasal 80 UU Perlindungan Anak dan atau 355 ayat 1 Jo 56 subsider 353 ayat 1 KUHP subsider 351 ayat 2 KUHP.