Liputan6.com, Jakarta Penamaan kampung atau suatu daerah tidak dibuat dengan asal-asalan tanpa mempertimbangkan berbagai hal di baliknya. Sebagaimana lazimnya, asal-usul nama tempat di Jakarta ini pun masuk dalam ilmu toponimi, yaitu bidang keilmuan dalam linguistik yang membahas tentang asal-usul penamaan nama tempat, wilayah, atau suatu bagian lain dari permukaan bumi, termasuk yang bersifat alam yang buatan.
Orang Betawi tinggal di kampung-kampung yang ada di Provinsi DKI Jakarta maupun di wilayah budaya Betawi yang meliputi dua provinsi lainnya, seperti Jawa Barat dan Banten. Berdasarkan penelitian para ahli, dengan ditemukannya kapak batu, beliung, pahat batu dan aneka perkakas lainnya di beberapa tempat, maka dapat dipastikan bahwa wilayah Jakarta dan sekitarnya telah dihuni oleh kelompok manusia sejak 5000 tahun Sebelum Masehi.
Advertisement
Penamaan kampung-kampung di Jakarta, secara umum mengikuti kontur alam yang berciri agraris. Segala jenis flora dan fauna hidup serta berkembang dengan subur dan aman di Jakarta.
Advertisement
Menurut Yahya Andi Saputra, budayawan Betawi, di Jakarta sangat jelas ada upaya penamaan nama kampung, kelurahan, dan kecamatan berdasarkan toponimi. “Paling banyak adalah toponimi vegetasi, yaitu penamaan tempat didasarkan pada nama tumbuhan atau pohon yang berada di sekitar wilayah tersebut,” ujarnya menegaskan kepada Liputan6.com (01/05/2023).
Ketua Penelitian dan Pengembangan Lembaga Kebudayaan Betawi ini menegaskan, di DKI Jakarta paling tidak terdapat 123 kelurahan yang memakai nama tumbuhan. “Meski juga bisa diperdebatkan apakah Kelurahan Wijaya Kusuma, misalnya, itu nama orang atau nama tumbuhan,” katanya lagi.
Meski sangat banyak, namun penamaan kampung atau kelurahan di Jakarta tidak hanya terbatas pada nama pohon saja. Bisa jadi diambil dari sejarah atau peristiwa yang dulu penah terjadi di tempat tersebut. Sebagai contoh, Yahya menyebut nama Condet. Sebagai kampung tua dan penuh dengan sejarah, nama Condet berasal dari nama sebuah anak sungai Ci Liwung, yaitu Ci Ondet.
Asal-Usul Nama Tempat di Jakarta, Salah Satunya Cipinang
Sementara itu, menurut Yahya, banyak juga toponimi di DKI Jakarta yang berdasarkan kontur atau kecenderungan wilayah yang bersangkutan. “Misalnya dapat dikenali dari penamaan kali, rawa, pulo, poncol, sumur, gunung, kebon, hutan, lubang, ceger, tugu, tanjong, bendungan dan lainnya. Bahkan, ada pula berdasarkan profesi seperti Kemandoran, Penggilingan, Petukangan, Pejagalan, Pekayon, dan sebagainya,” ucap laki-laki kelahiran Gandaria, Jakarta Selatan, ini.
Namun, memang di Jakarta, yang lebih mencolok adalah penamaan berdasarkan toponimi vegetasi. Mari kita kenal beberapa di antaranya.
Cipinang yang masuk dalam Kecamatan Pulogadung di Jakarta Timur, berasal dari kata Ci yang berarti ‘air’ dan Pinang, yaitu sejenis pohon palma dengan nama Latin Areca catechu. Berdasarkan buku Penulisan Sejarah Kebudayaan Betawi Toponimi Nama Kelurahan di Jakarta, nama wilayah ini sudah tertera pada peta Batavia tahun 1840. Akan tetapi, pada peta 1897 tertulis Tjipinang Besar.
Pada abad ke-19, Cipinang merupakan tanah partikelir di Afdeeling Mester Cornelis yang dimiliki dan dikelola oleh perusahaan swasta dan perseorangan. Pemilikinya adalah Oey Kim Eng dengan hasil utama padi dan kelapa. Sementara Tijipinang Pisangan dan Tijipinang Pondok Bamboe dikuasai Lie Tjing Hoe dengan hasil utama padi.
Ternyata pohon pinang memang tumbuh hampir merata di tanah Betawi. Paling tidak terdapat delapan nama kelurahan memakai pohon pinang, antara lain Cipinang (Pulo Gadung, Jakarta Timur), Cipinang Cempedak (Jatinegara, Jakarta Timur), Cipinang Besar Selatan (Jatinegara, Jakarta Timur), Cipinang Besar Utara (Jatinegara, Jakarta Timur), Cipinang Muara (Jatinegara, Jakarta Timur), Pinang Ranti (Makassar, Jakarta Timur), Cipinang Melayu (Makassar, Jakarta Timur), dan Pondok Pinang (Kebayoran Lama, Jakarta Selatan).
Advertisement
Asal-Usul Nama Kampung Rawa
Toponimi vegetasi juga nampak pada penamaan Kampung Rawa, yang merupakan kelurahan baru dalam Kecamatan Johar Baru. Semula wilayah ini merupakan sebuah rawa yang berada dekat Tanah Tinggi. Pada awal abad ke-20, kemudian berkembang menjadi permukiman penduduk, sehingga dinamakan Kampung Rawa atau disebut Rawa Tinggi, seperti yang tertera pada peta Batavia tahun 1923, peta tahun 1947 dan peta 1959.
Nama Kampung Sawah sangat jelas menunjukkan kondisi alam yang sebagian besarnya adalah rawa. Berdasarkan buku Penulisan Sejarah Kebudayaan Betawi Toponimi Nama Kelurahan di Jakarta, pada abad ke-19, kawasan ini dijadikan sebagai particuliere landerijen atau tanah partikelir. Tuan tanah yang menguasainya adalah Tan Siep Nio. Hasil utama perkebunan swasta ini adalah kelapa dan padi.
Kecamatan Johar Baru kini menjadi salah satu permukiman terpadat di Ibu Kota. Bahkan, kecamatan ini disebut sebagai salah satu permukiman terpadat di Asia Tenggara.
Kecamatan Johar Baru ini memiliki empat kelurahan, yaitu Galur, Tanah Tinggi, Kampung Rawa dan Johar Baru. Dan salah satu kelurahan yang paling padat adalah Kampung Rawa.