Kisah Hayati Takoro, Guru Asli Papua yang Berjuang Agar Anak Didik Bisa Sekolah Gratis

Hayati merasakan betul kendala keuangan orangtua siswa yang tak mampu sehingga berimbas pada proses belajar anak didik.

oleh Ady Anugrahadi diperbarui 30 Agu 2023, 05:18 WIB
Diterbitkan 30 Agu 2023, 05:18 WIB
Hayati
Hayati Tokoro (46) saat berada Balai Pertemuan di Kelurahan Dobonsolo di Jalan Yahim, Kabupaten Jayapura, Papua. (Liputan6.com/Ady Anugrahadi)

Liputan6.com, Jayapura - Seorang wanita mengenakan pakaian dinas berwana cokelat duduk di kursi putih. Posisinya paling pojok dari sisi sebelah kanan. Ia duduk berjejer dengan belasan warga lain di Balai Pertemuan di Kelurahan Dobonsolo di Jalan Yahim, Kabupaten Jayapura, Papua.

Sosok wanita itu adalah Hayati Tokoro (46) mewakili TK Negeri Dobonsolo untuk mendengarkan pemaparan sekaligus menyampaikan unek-unek yang selama ini dipendam dalam hati.

Pertemuan ini digagas langsung oleh USAID Kolaborasi melalui Wahana Visi Indonesia. Mereka punya program bertajuk Suara dan Aksi Warga untuk mendorong partisipasi serta menciptakan dialog antara masyarakat dan pemerintah agar terjadi peningkatan layanan dalam bidang kesehatan dan pendidikan, terutama yang memanfaatkan dana Otonomi Khusus (Otsus) Papua.

Wanita yang akrab disapa Yati selama ini terus berjuang agar sekolah mendapatkan kucuran dana baik dari pemerintah pusat, provinsi maupun kabupaten. Tiap kali ada bantuan pemerintah khusus untuk sekolah-sekolah PAUD, Yati hanya sebatas mendengar dan tidak pernah sama sekali merasakannya.

Berulang kali, Yati mondar-mandir ke kelurahan untuk meminta penjelasan. Namun usahanya sia-sia dan ia hanya bisa pasrah menghadapi kenyataan.

"Kami sendiri setiap bulan ada laporan dari sekolah untuk kelurahan atau ke kampung tapi hanya laporan saja," kata Yati ditemui, Selasa (29/8/2023).

"Kami tanyakan di sini (kelurahan) tapi kami disuruh cek ke dana kampung. Kami ke kampung juga disuruh kembali ke kelurahan. Akhirnya kami tidak lanjutkan lagi. Ah biar sudah," Yati menambahkan.

Yati terus terang sangat membutuhkan uluran tangan dari pemerintah khususnya untuk meringankan beban siswa-siswa yang kurang mampu. Menurut catatanya, dari 21 siswa setidaknya ada 7 orang yang orangtuanya hidup serba kekurangan.

"Kami ingin jangan ada tagihan untuk mereka-mereka biar belajarnya dengan gratis saja begitu," ujar Yati.

Bukan tanpa sebab, Yati merasakan betul kendala keuangan orangtua tak mampu berimbas pada proses belajar siswa. Misal saja, soal seragam.

Saat itu, pihak sekolah meminta siswa mengenakan seragam. Biaya dibebankan kepada orangtua murid. Namun, yang terjadi justru anak-anak kurang mampu menolak berangkat ke sekolah.

"Orangtua mereka tidak mau lagi antar anaknya pergi ke sekolah," ujar dia.

 

Buat Kebijakan Siswa Gratis

Yati bersama guru-guru dan kepala sekolah akhirnya membuat kebijakan agar uang seragam maupun SPP digratiskan untuk siswa kurang mampu.

"Biar mereka datang belajar saja, karena mereka tidak bisa bayar SPP atau baju seragam saja dari sekolah kami kasih gratis," ucap dia.

Yati bersama kepala sekolah pun harus memutar otak agar dana yang didapat dari SPP tercukupi. Disamping untuk membayar gaji honorer, juga mengalokasikan dana tersebut untuk subsidi siswa kurang mampu.

Karena, TK Negeri Dobonsolo juga memiliki program makan bergizi kepada siswa kurang mampu minimal dua kali dalam sebulan. "Kami bagi untuk guru honor berapa, dan uang makannya kami pakai berapa," ujar dia.

Sosok Yati memang dikenal paling dekat dengan murid-muridnya. Dia sudah sejak tahun 2009 mengabdikan diri menjadi guru di TK Negeri Dobonsolo. Walaupun, diawal-awal mengajar sama sekali tidak mendapat bayar sepersen pun.

"Tahun 2009, tahun 2010, tahun 2011, tahun 2012, tahun 2013 gratis tidak dibayar. Mulai dibayar Rp 100 ribu perbulan sejak 2014 dan merangkak naik sampai sekarang Rp 800 ribu perbulan," ujar dia.

Yati tinggal bersama suami dan lima orang anaknya. Sejak 2016 silam, ia harus jadi tulang punggung keluarga lantaran suaminya sudah pensiun. Selain menjadi guru, Yati juga berjualan gorengan demi menambah pemasukan. Dia memanfaatkan lahan di belakang sekolah.

"Banyak kekurangan setelah suami pensiun," ujar dia.

 

Gaji Tidak Cukup untuk Kebutuhan

Yati menuturkan, upah Rp 800 ribu perbulan sangat tidak cukup membeli kebutuhan sehari-hari. Ia sebenarnya sudah pernah mengajukan pengunduran diri.

Namun, jiwanya merasa terpanggil untuk mendidik anak-anak PAUD. Apalagi, ada momen yang buat dirinya terharu. Yati yang saat itu sudah nonaktif diminta para siswa kembali mengajar.

"Anak-anak dekat sama saya, seperti anak sendiri mereka selalu memanggil 'bunda bunda kami mau belajar dengan bunda'. Saya bilang 'ada bunda banyak'. Aduh dia bilang 'kami tidak mau bunda Yati boleh'. Oke sudah akhirnya saya kembali lagi," ujar dia.

Yati memgatakan, kepala sekolah juga keberatan jika dirinya berhenti menjadi guru. Bahkan, saat itu gelar sarjana pun sempat diungkit.

"Dia bilang 'lalu sarjana mau taruh ke mana," kata Yati yang merupakan lulusan sarjana PAUD Universitas Cenderawasih (UNCEN).

Yati menaruh harapan besar kepada USAID Kolaborasi untuk menjadi penyambung lidah ke pemerintah terkait. Dia sangat menginginkan adanya perhatian dari pemerintah. Yati juga menyinggung gaji guru-guru PAUD yang dinilai belum sejahterah.

"Kedepan supaya anak-anak ini belajar dengan nyaman tidak ada beban dengan dana-dana selama ini merasa terbeban," ujar dia.

Sementara itu, Chief of Party USAID Kolaborasi Project Caroline Tupamahu menerangkan, program suara dan aksi warga merupakan salah satu metode untuk mengidentifikasi masalah yang dialami warga yang kemudian dibantu untuk mencarikan solusi.

"Kita juga mengajak mereka untuk mengetahui aturan dan peraturan yang ada. Sebenarnya ketika ada isu harusnya diselesaikan, tapi sesuai gak dengan aturan yang ada," kata Caroline.

Caroline menerangkan, pihaknya akan memanggil pemangku kepentingan yang berhubungan dengan isu yang disuarakan oleh warga. Di sini, USAID Kolaborasi berusaha menjadi jembatan bagi warga ke pemerintah.

"Kami akan pertemukan mereka, apakah sama nih. Jika ada gap (pemisah) berarti perlu saling menjelaskan. Kalau gak ada gap tinggal menentukan mana nih isu yang harus diselesaikan yang paling dekat menurut mereka," ujar dia.

Infografis: Divestasi Freeport, APa manfaatnya untuk Papua? (Dok Kementerian BUMN)
Infografis: Divestasi Freeport, APa manfaatnya untuk Papua? (Dok Kementerian BUMN)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya