Almas Tsaqibbiru dan Arkaan Wahyu, 2 Mahasiswa Solo Anak Boyamin Saiman Pembuat Gempar Urusan Usia Capres-Cawapres di MK

Almas Tsaqibbiru Re A dan Arkaan Wahyu Re A, dua anak muda asal Surakarta atau Solo, Jawa Tengah yang menjadi pemohon uji materiil Pasal 169 huruf q UU 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 17 Okt 2023, 09:25 WIB
Diterbitkan 17 Okt 2023, 09:10 WIB
Almas Tsaqibbirru
Almas Tsaqibbirru merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta (UNSA) yang gugatannya dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK).(Liputan6.com/Fajar Abrori) 

Liputan6.com, Jakarta - Almas Tsaqibbiru Re A dan Arkaan Wahyu Re A, dua anak muda asal Surakarta atau Solo, Jawa Tengah yang menjadi pemohon uji materiil Pasal 169 huruf q UU 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum ini merupakan anak dari tokoh Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman.

"Aku hanya konfirmasi itu anakku," ujar Boyamin kepada Liputan6.com, Selasa (17/10/2023).

Saat diminta untuk memberikan pendapat lantaran gugatan sang anak dimenangkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), Boyamin enggan berkata banyak. Dia meminta untuk menghubungi tim penasihat hukum Almas yang bernama Arif Sahudi.

"Selebihnya lawyer karena hargai kerja-kerja lawyernya," kata Boyamin.

Sementara Almas dalam sebuah wawancara yang beredar di media sosial membenarkan soal gugatan yang dilayangkan ke MK merupakan kinerja dari tim kuasa hukumnya. Dia mengaku mendapat dukungan dari tim kuasa hukum.

"Diskusi sama kuasa hukum sih, aya dulu ini kan statusnya magang, jadi ya banyak diskusi sama orang sana. Dapet suport dari sana juga, ya makasih lah," kata Almas.

Namun, Almas mengaku tak tahu soal waktu dirinya menggugat UU Pemilu tersebut ke MK. Bahkan, Almas juga tak ingat kapan dirinya menarik laporan hingga akhirnya kembali mengajukan gugatan yang sama.

"Masalah tanggalnya itu saya kurang tahu, mungkin tanya kuasa hukum lebih tahu. Soal masalah hari, tanggal, bingung saya ini," kata Almas.

Pengajuan Gugatan Atas Kemauan Sendiri

Almas Tsaqibbirru, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta (Unsa) yang bikin MK mengabulkan sebagian gugatan uji materil Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) terkait batas usia capres-cawapres.
Almas Tsaqibbirru, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta (Unsa) yang bikin MK mengabulkan sebagian gugatan uji materil Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) terkait batas usia capres-cawapres hingga bisa loloskan Gibran Rakabuming Raka maju jadi bakal cawapres. (Instagram @almas.tsaqibirru)

Berkaitan dengan dugaan adanya dorongan dan saran dari Boyamin selaku sang ayah dalam mengajukan gugatan tersebut, Almas tak bersedia menjelaskannya. Namun Almas menegaskan gugatan itu dia layangkan atas kemauannya sendiri.

"Kalau bapak (Boyamin) kayaknya kurang relevan itu, bapak kalau masalah ini, ya itu niat saya sendiri saja," kata dia.

Saat didesak kembali soal adanya campur tangan Boyamin dalam gugatan ini, Almas hanya tertawa. Meski demikian, Almas mengklaim Boyamin tak memberikan saran dan masukan atas permohonannya ke MK.

"Hahaha, ya enggak (masukan dari Boyamin) lah," kata Almas.

MK Kabulkan Sebagian Gugatan Almas Tsaqibbirru

Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan Mahasiswa UNS, Almas Tsaqibbirru, mengenai batas usia minimal calon presiden dan wakil presiden 40 tahun atau pernah jadi kepala daerah, Senin (16/10/2023). Dia memohon agar aturan batas usia minimal 40 tahun tidak mengikat jika memiliki pengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," ucap Ketua MK Anwar Usman saat membacakan putusan.

Menurut MK, batas usia paling rendah 40 tahun bertentangan dengan UUD dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

"Sepanjang tidak dimaknai, "Berusia paling rendah 40 tahun atau pernah sedang menduduki jabatan yang dipilih, melalui pemilihan umum termasuk pemilihan umum daerah"," kata hakim MK.

Hakim Konstitusi Saldi Isra pun memiliki pendapat berbeda atau dissenting opinion atas putusan tersebut. Dia mengaku tidak habis pikir dengan situasi tersebut.

“Saya bingung dan benar-benar bingung untuk menentukan harus dari mana memulai pendapat berbeda ini. Sebab, sejak menapakkan kaki sebagai Hakim Konstitusi di Gedung Mahkamah ini pada 11 April 2017, atau sekitar enam setengah tahun yang lalu, baru kali ini saya mengalami peristiwa aneh yang luar biasa dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar. Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat,” tutur Saldi di Gedung MK, Jakarta, Senin (16/10/2023).

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya