Cegah Korupsi, Itjen Kemenag Bentuk 187 Unit Pengendalian Gratifikasi

Menurut Faisal, progres positif ini merupakan cermin keseriusan Kementerian Agama dalam menciptakan lingkungan kerja yang bersih dan bebas dari praktik korupsi.

oleh Nafiysul Qodar diperbarui 29 Des 2023, 14:16 WIB
Diterbitkan 29 Des 2023, 14:15 WIB
Irjen Kemenag, Faisal Ali Hasyim
Irjen Kemenag, Faisal Ali Hasyim. (Foto: Humas Kemenag)

Liputan6.com, Jakarta - Komitmen antikorupsi menjadi salah satu pesan yang disampaikan Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas pada awal 2023 lalu. Pesan ini kemudian diterjemahkan Inspektorat Jenderal Kementerian Agama (Itjen Kemenag), salah satunya dengan melakukan percepatan dalam pembentukan Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG).

“Alhamdulillah, sejak 2021 hingga 2023 ini Itjen Kemenag berhasil mengawal terbentuknya 187 UPG. Ini ada di tingkat pusat hingga Kementerian Agama Kabupaten/Kota. Dan ini, tersebar di seluruh Indonesia,” ujar Inspektur Jenderal Kemenag Faisal Ali Hasyim di Jakarta, Jumat (29/12/2023).

Dalam tiga tahun terakhir, Itjen Kemenag melakukan proses percepatan pembentukan UPG. Pada 2021, baru terbentuk 67 UPG pada Eselon I, Kanwil Kemenag Provinsi, Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri, UPT, dan unit kerja lainnya pada Kementerian Agama.

Jumlah UPG makin bertambah pada 2022, mencapai 106 unit. Dan tahun ini bertambah lebih banyak yakni 71 UPG, sehingga total keseluruhannya sudah 187 Unit Pengendalian Gratifikasi.

“Kita akan terus mendorong agar semakin banyak satuan kerja yang memiliki UPG,” kata Faisal.

Menurut Faisal, progres positif ini merupakan cermin keseriusan Kementerian Agama dalam menciptakan lingkungan kerja yang bersih dan bebas dari praktik korupsi.

Ia berharap pembentukan UPG dapat memperkuat sistem pencegahan korupsi di Kementerian Agama, menjaga kebersihan dan transparansi lingkungan kerja serta mendorong partisipasi aktif pencegahan gratifikasi.

“Pembentukan UPG merupakan upaya untuk mengintensifikasi budaya dan pemahaman pegawai tentang antikorupsi serta penguatan struktur tata kelola Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG) pada Satuan Kerja,” kata Faisal.

“Ini adalah langkah konkret dalam mewujudkan good governance di Kementerian Agama,” imbuhnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Cara Pelaporan Gratifikasi

Faisal mengungkapkan, ada dua cara untuk melaporkan gratifikasi. Pertama, melaporkan gratifikasi secara mandiri kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Pelapor, dapat datang langsung, atau mengirimkan laporan via pos, surat elektronik, atau aplikasi KPK pada laman https://gol.kpk.go.id. Kedua, melaporkan gratifikasi melalui UPG Satuan Kerja dan meneruskannya ke UPG Instansi Pusat.

Faisal menambahkan, Kementerian Agama telah menerbitkan Peraturan Menteri Agama 23 Tahun 2021 tentang Pengendalian Gratifikasi pada Kementerian Agama.

Regulasi ini antara lain mengatur tentang gratifikasi yang terbagi menjadi dua kategori, yaitu kategori gratifikasi yang wajib dilaporkan dan tidak wajib dilaporkan.

“Gratifikasi yang wajib dilaporkan merupakan gratifikasi yang berkaitan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugas pegawai. Sedangkan, gratifikasi yang tidak wajib dilaporkan adalah gratifikasi yang tidak terkait dengan kedinasan,” tutur Faisal.

 


Regulasi Gratifikasi

Masalah gratifikasi diatur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.

Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Pasal 12B UU No 20 tahun 2021 menyebutkan bahwa gratifikasi yang diberikan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dapat dianggap suap apabila berhubungan dengan jabatan atau berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.

Penerima gratifikasi diancam hukuman penjara seumur hidup atau paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun dengan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya