Liputan6.com, Jakarta - Karpet merah dan senyum merekah dari Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar atau Cak Imin menyambut kehadiran presiden terpilih Prabowo Subianto ke markasnya pada Rabu 24 April 2024. Sambutan ini jelas berbeda sekitar delapan bulan lalu, di mana Cak Imin acap menyindir Prabowo yang dinilainya emosi saat debat kandidat capres.
Setali tiga uang, Surya Paloh sang Ketua Umum NasDem juga langsung menyatroni Prabowo di Jalan Kertanegara, Jakarta pada Kamis 25 April 2024. Tawa dan pelukan di depan awak media pun diperlihatkan keduanya.
Baca Juga
Bukan hanya suka dan riang yang diperlihatkan Paloh dan Cak Imin. Kedua ketum ini juga secara lugas akan mendukung pemerintahan Prabowo bersama Gibran Rakabuming Raka.
Advertisement
Diketahui, selain Nasdem dan PKB, sudah ada Gerindra, Golkar, PAN, Demokrat, PBB, Partai Gelora Indonesia, PSI, Partai Garuda yang sudah berada di sisi Prabowo-Gibran.
"Beroposisi bisa setiap saat, tapi bekerja membantu pemerintahan itu dibutuhkan juga suatu semangat, suatu spirit, dan keikhlasan hati yang mengedepankan objektivitas yang tetap menjaga nalar dan daya kritis," kata Paloh.
Pengamat Politik sekaligus Peneliti Indikator Politik Indonesia, Bawono Kumoro menyebut, ini bukan hal yang mengemparkan jika NasDem maupun PKB merapat Prabowo-Gibran.
Salah satu alasan yang kuat adalah kedua partai ini tak pernah sekalipun memiliki DNA politik menjadi oposisi.
"Pertemuan Ketua Umum PKB dan Prabowo Subianto bisa dilihat sebagai bentuk cerminan sikap politik PKB sebagai salah saru partai politik pendukung pasangan calon 01 (Anies-Cak Imin) telah sepenuh hati menerima hasil dari pemilihan presiden 2024. (PKB) mencari peluang berkoalisi di pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, ketimbang mengambil peran sebagai oposisi selama lima tahun mendatang," kata Bawono kepada Liputan6.com, Jumat (26/4/2024).
"Apalagi selama berkiprah di panggung politik nasional, PKB tidak memiliki DNA sebagai partai oposisi," sambungnya.
Bawono meyakini, tak hanya PKB dan NasDem yang merapat, tapi akan ada partai-partai lain yang bergabung dan membuat semakin gemuk koalisi Prabowo-Gibran. Pasalnya, langkah bergabung dengan pemerintah ini dipandang realistis ketimbang menjadi oposisi.
"Seperti juga PKB, besar kemungkinan Partai NasDem dan PPP juga akan bersikap realistis melihat peluang untuk bergabung di pemerintahan mendatang ketimbang berperan sebagai oposisi selama lima tahun," tutur dia.
Senada, Pengamat Politik Populi Center Usep Saepul Ahyar melihat sikap PKB dan NasDem ini memang yang diinginkan Prabowo, untuk bagaimana menciptakan koalisi yang gemuk. Salah satu alasan, agar kepentingan yang akan dibawa pemerintahannya ke depan bisa cepat teralisasikan.
Dia menduga, Prabowo-Gibran ingin segera melakukan konsolidasi politik dengan cepat sebelum mereka resmi dilantik menjadi presiden dan wakil presiden.
Menurut Usep, semua ini bisa terjadi bukan hanya karena Prabowo-Gibran membuka tangannya, tapi juga lantaran budaya politik di partai Indonesia masih malas untuk menjadi pembeda di tengah demokrasi ini.
"Padahal suasana kompetisi, manajemen konflik, saya kira di satu sisi itu bagus juga dalam konteks demokrasi. Sistem demokrasi ada itu juga untuk kompetisi. Sehingga perbedaan-perbedaan yang ada itu diperlombakan. Ide-ide itu dipertemukan, dipertarungkan. Sehingga muncul ide-ide yang paling baik untuk kepentingan negara bangsa," ungkap dia kepada Liputan6.com, Jumat (26/4/2024).
"Jadi bukan hanya untuk satu kelompok tertentu yang kemudian dikumpulkan dan dominan, sehingga kepentingan-kepentingan yang kecil dalam proses demokrasi terkalahan, tidak muncul ke permukaan. Saya kira itu buruk dalam konteks demokrasi," sambungnya.
Usep mengungkapkan, dalam budaya politik Indonesia, hanya sedikit parpol yang berani di luar pemerintahan. Lantaran selalu dinarasikan akan berpuasa dan tak bisa mengecap kekuasaan.
"(Banyak parpol) Tidak berani lapar juga dalam sekian tahun. Sehingga hampir semua partai berlomba untuk masuk ke koalisi pemerintahan, berada di dalam. Tradisi-tradisi di luar itu paling PDIP dan PKS yang sudah teruji dengan itu," tutur dia.
Selain itu, Usep juga melihat banyak yang tak percaya diri menjadi oposisi, lantaran hanya berkutat dalam jumlah semata dan bukan memperjuangkan nilai atau ideologi yang dimiliki.
"Menurut saya tantangan kita itu bukan soal besar kecilnya oposisi atau besar kecilnya jumlah tapi lebih menantang lagi, tantangan partai itu sebenarnya bagaimana membuat oposisi yang lebih bermakna sebagai kelompok yang memerankan check and balance dan itu penting dalam konteks demokrasi," jelas dia.
"Seringkali oposisi itu kalau kita lihat lebih banyak pada soal membangun posisi tawar agar yang di luar mendapatkan bagian, jatahnya. Ini kan bagi-bagi politik 'dagang sapi' yang mungkin juga tidak dikehendaki rakyat. Jadi bukan soal besar kecilnya, tapi bagaimana membangun oposisi yang bermakna," sambungnya.
Tak Sehat untuk Demokrasi
Usep berpandangan, koalisi gemuk ini tidak sehat dan baik bagi perpolitikan Indonesia, di tengah kondisi geopolitik dan geoekonomi dunia yang sulit ditebak arahnya.
"Yang jelas semakin dablek aja pemerintahan kalau merasa kuat seperti itu. Sementara, masyarakat sipil mudah dikendalikan ketika mereka punya koalisi yang gemuk. Karena kontrol masyarakat sipil ketika memerankan itu sangat terbatas dari sisi waktu karena fungsinya bukan disitu. Kemudian dari sisi pendanaan juga terbatas," kata dia.
"Jadi kalau tidak ada partai yang tidak ada bekerja untuk itu, saya kira itu akhirnya kepentingan penguasa yang berkuasa itu akan sangat dominan. Sehingga apapun yang menghambat itu akan mudah "diberangus" itu kan yang tidak diinginkan," lanjut Usep.
Selain itu, banyak kekhawatiran akan hilangnya mekanisme kontrol dan kritik yang selalu menjadi bagian dari sistem demokrasi. Hal ini karena dominasi dari penguasa lantaran cakupan kekuasaannya besar.
"Karena rumusnya kan power tends to corrupt (kekuasaan itu cenderung korup). Kekuasaan besar itu kecenderungan corrupt-nya, diselewengkannya itu besar. Jadi jangan sampai dominan kekuasaan itu. Kalau demokrasi itu harus ada peran penyeimbang dan itu harus diperankan oleh partai-partai," jelas Usep.
"Jadi kontribusi partai untuk negara itu tidak hanya berada di dalam lingkup kekuasaan, tapi berada di luar kekuasaan memerankan itu, dan menyokong demokrasi yang lebih baik dan sehat," tuturnya.
Hilangnya Keseimbangan Politik
Peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Aisah Putri Budiatri meyakini, koalisi Prabowo-Gibran akan semakin gemuk jika akhirnya PKB dan NasDem memutuskan untuk bergabung.
Karena kehadiran kedua partai itu diprediksi menyentuh lebih dari 70 persen kursi di parlemen. Sehingga hanya sedikit pihak yang mengawasi pemerintahan.
"Tentunya hal ini tidak sehat karena tidak ada perimbangan di dalam parlemen antara koalisi pemerintah dan oposisi. Padahal, eksistensi oposisi penting untuk menjaga pengawasan terhadap kerja pemerintah tetap terlaksana secara efektif, karena tanggung jawab ini akan tak mudah dijalankan oleh mereka yang menjadi bagian dari koalisi pemerintah, lantaran ada komitmen bersama antara partai dan pemerintah," kata Putri kepada Liputan6.com, Jumat (26/4/2024).
Tak hanya itu, menurut dia, fenomena kutu loncat partai politik ini semakin menghilangkan sikap idealisme dan menunjukan sikap inkonsisten serta oportunisme sebuah partai politik.
"Hal ini menunjukan bagaimana partai bekerja tidak didasarkan oleh komitmen ideologi dan kepentingan konstituennya dengan orientasi jangka panjang, tetapi hanya pada kepentingan politik jangka pendek. Hal ini bukan gambaran politik yang bermartabat untuk dilihat publik. Efek lainnya tentu, hal ini akan semakin memperburuk kondisi demokrasi kita yang saat ini pun sedang mengalami regresi," ungkap Putri.
Bukan hanya pada demokrasi yang terkikis, lanjut putri, tapi kemungkinan kepentingan publik semakin tergadaikan lantaran tidak ada yang menyeimbangkan kepentingan pemerintah.
"Efeknya meluas mulai dari kerja partai politik menjadi tak efektif, check and balances politik tereduksi bahkan hilang, kepentingan publik semakin tergadaikan, dan secara keseluruhan berdampak pada regresi demokrasi yang semakin dalam," jelas dia.
Senada, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati mengingatkan bahayanya akan demokasi. Dia pun mengingatkan, agar penguasa dalam hal ini Prabowo-Gibran jangan juga untuk berusaha merangkul semua pihak hanya untuk berbagi kekuasaan.
"Sebetulnya dalam demokrasi juga dibutuhkan check and balances, dan ini bisa terjadi jika ada partai yang mengambil posisi itu. Sehingga ada kontrol terhadap pemerintah. Selain itu pemerintahan juga dibentuk dengan tidak mencoba merangkul semua dengan membagi-bagi kekuasaan," ungkap dia kepada Liputan6.com, Jumat (26/4/2024).
Menurut Khoirunnisa, dengan penguasa yang merangkul parpol dengan bagi-bagi kue kekuasaan, dikhawatirkan dalam menjalani roda pemerintahannya tak ada pihak yang mengawasi kinerja bahkan kebijakannya.
"Kekhawatirannya adalah tidak ada yang melakukan pengawasan kepada jalannya pemerintahan," kata dia.
Advertisement
Dalih Membangun Bangsa untuk Hadapi Masalah Bersama
Partai Demokrat menyambut baik perihal partai politik lain yang bergabung ke Koalisi Indonesia Maju (KIM). Menurut anggota Majelis Tinggi Demokrat Syarieh Hasan perlu kebersamaan untuk membangun Indonesia lebih maju.
"Membangun bangsa yang besar seperti negara kita ini perlu kebersamaan sehingga lebih cepat maju kedepan," kata Syarief melalui pesan singkat, Jumat (26/4/2024).
Dia pun menyambut baik jika NasDem dan PKB gabung koalisi untuk mendukung pemerintahan Prabowo-Gibran.
"Bagi PD bagus dan menyambut baik kalau NasDem dan PKB gabung KIM," ucap Syarief.
Senada, Ketua Fraksi PAN DPR RI Saleh Daulay meyakini, Prabowo Subianto bertindak profesional untuk melakukan komunikasi politik dengan parpil yang memang bisa berdampak dalam penyusunan kabinetnya nanti.
"Partai Amanat Nasional tidak pernah merasa khawatir dengan bergabungnya partai partai di luar koalisinya pak Prabowo. Sebab kami yakin bahwa Pak Prabowo itu akan bertindak secara profesional sesuai dengan komitmen beliau dalam membangun koalisi, juga sesuai dengan komitmen beliau untuk membangun Indonesia," kata Saleh kepada wartawan, Jumat (26/4/2024).
Saleh menuturkan, jika pun nanti NasDem bergabung, maka tentu Prabowo memberikan tugas dan kewenangan kepada mereka. Soal posisi menteri yang diinginkan PAN, Saleh menyerahkan kepada Prabowo.
"Nah soal jatah menteri yang akan diberikan kepada NasDem itu kita harus menyerahkan sepenuhnya kepada Pak Prabowo. Karena untuk membagi jabatan menteri kepada partai partai yang bergabung itu hak prerogatif dari presiden," ucapnya.
Saleh menegaskan, PAN adalah partai yang sangat loyal kepada Prabowo. Pasalnya, sudah 3 kali Pilpres PAN tetap setia mendukung Prabowo.
Karena itu, PAN tidak pernah khawatir dengan komitmen Prabowo kepada PAN. Sebab, PAN sudah menunjukkan komitmen luar biasa tinggi kepada pak Prabowo.
"Jadi kita serahkan sepenuhnya persoalan jatah menteri ini kepada Pak Prabowo," katanya.
Di lain pihak, Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Said Abdullah menyatakan arah politik partainya di pemerintahan baru adalah kewenangan sepenuhnya Ketua Umum Megawati Soekarnoputri.
Meski demikian, Megawati akan mendapat masukan dari jajaran DPP dan juga tokoh lain sebelum menentukan menjadi oposisi atau bergabung dalam koalisi pemerintah.
"Kewenangan tentang arah politik PDI Perjuangan ditentukan oleh Ibu Ketua Umum. Dan beliau tentu saja akan mendapatkan masukan dari jajaran DPP partai dan lintas tokoh," kata Said, Jumat (26/4/2024).
Said mengatakan, PDIP saat ini memiliki dua agenda untuk meningkatkan elektoral jelang pilkada serentak.
"Dalam hemat saya, ada dua agenda internal dan eksternal untuk meningkatkan kualitas demokrasi elektoral yang harus ditempuh oleh PDI Perjuangan ke depan," kata Said.
Terkait agenda internal, lanjutnya, agenda itu adalah program peningkatan kualitas kader PDIP di semua tingkatan lewat kaderisasi berjenjang, memantapkan konsolidasi ideologi, organisasi, program, sumber daya, dan kader.
"Agenda eksternal lebih banyak lagi langkah-langkah yang diperlukan, antara lain mengevaluasi total atas pelaksanaan pemilu legislatif dan eksekutif, khususnya atas pelaksanaan Pemilu 2024 sebagai titik pijak perubahan atas pemilu 2029," ucap Said.
Infografis Ragam Tanggapan Nasdem dan PKB Merapat ke Prabowo-Gibran
Advertisement