Liputan6.com, Jakarta Revisi Peraturan BPOM Nomor 6 Tahun 2024 yang mewajibkan produsen Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) untuk mencantumkan label peringatan bahaya bisfenol A (BPA) pada galon air minum berbahan plastik polikarbonat sudah terbit per 1 April 2024.
Akan tetapi, masih banyak masyarakat yang belum mengetahui atau sadar akan adanya peraturan tersebut. Pasalnya, sosialisasi akan revisi peraturan yang bisa memberikan keamanan produk untuk konsumen itu kurang dilakukan.
Melihat hal tersebut, Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Muhammad Mufti Mubarok merasa prihatin dan mendesak Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk gencar mensosialisasikan kebijakan pelabelan BPA pada masyarakat luas.
Advertisement
“Kami sangat terbantu dengan adanya kebijakan pelabelan BPA ini dan konsumen akhirnya bisa memilih produk yang lebih aman,” ujarnya.
“BPKN telah lama menyoroti kandungan BPA yang berpotensi berbahaya dalam kemasan plastik polikarbonat, mulai dari kandungannya, kontaminasi ke air, hingga distribusi dan penyimpanan di retail,” jelas Mufti.
Dirinya pun membeberkan, terdapat beberapa penyebab mengapa peraturan BPOM Nomor 6 tahun 2024 belum tersebar luas di masyarakat.
“Kemungkinan pertama, kita harus menyadari bahwa BPOM mungkin agak kesulitan karena pelaku usaha belum siap, karena proses produksi ini kan bahan bakunya impor dan kalau diterapkan secepat mungkin bisa kelimpungan, maka itu diberi waktu tenggat sampai empat tahun,” beber Mufti.
“Walau begitu, semua harus tetap bergerak, baik regulator maupun produsen sudah harus mulai melaksanakan atau mempersiapkan implementasi peraturan ini,” jelasnya.
Lakukan Sosialisasi Secara Masif
Mufti pun mendesak BPOM untuk segera melakukan sosialisasi dan kampanye secara masif, terutama kepada asosiasi air minum kemasan.
“Menurut saya, BPOM sudah harus melakukan kampanye besar-besaran,” ujarnya.
Selain itu, Mufti juga menekankan pentingnya adanya petunjuk teknis atau peraturan turunan untuk membantu produsen mengimplementasikan perubahan ini.
“Teknisnya mau seperti apa, karena mengubah bahan kemasan produk AMDK ini kan tidak cepat, ada proses yang harus dilalui dan produsen harus menghitung ulang alternatif pengganti atau menyiapkan biaya untuk mencetak label BPA di kemasan,” ujarnya.
Mufti pun mengungkapkan, dengan banyaknya jumlah produsen AMDK, akan sulit menerapkan peraturan ini tanpa adanya sosialisasi yang baik.
“Empat tahun itu kan panjang, ada waktu, jadi paling tidak harus ada satu brand terkenal yang mulai, sehingga nantinya diikuti perusahaan air minum di daerah,” ungkapnya.
“Harus ada satu contoh produk yang sudah mematuhi peraturan ini, sehingga yang lain bisa ikut,” imbuh Mufti.
Advertisement
Brand Besar Memulai
Mufti menyarankan agar BPOM menunjuk brand besar untuk memulai pelabelan BPA.
“Kalau tidak dimulai, tidak akan selesai, sebentar lagi sudah 2025 dan empat tahun tidak terasa, kami tidak peduli brand apa yang mau mulai, kami hanya berusaha menegakkan peraturan ini demi masyarakat,” ujarnya.
Mufti pun menegaskan bahwa pihaknya siap membantu BPOM dalam menggaungkan peraturan pelabelan BPA ke masyarakat luas. Untuk itu, ia kembali mendesak BPOM segera melakukan sosialisasi, memberikan petunjuk teknis kepada produsen, dan menyebarkan informasi penting ini kepada konsumen.
“Kami sangat siap ketika BPOM meminta kami untuk sosialisasi, komunitas kami di seluruh Indonesia banyak dan kami memiliki LPKSM se-Indonesia, ada komunitas di kampus dan sekolah, semua siap digerakkan agar edukasi lebih terstruktur, sistemik, dan masif,” tegasnya.
(*)