Pengamat: Penamaan Nusantara bagi IKN Sudah Tepat

Riko menjelaskan, pemaparan nama Nusantara juga telah melewati uji publik yang memadai. Artinya banyak pihak yang terlibat dan memahami tinjauan filosofis dan historis dari penggunaan nama Nusantara.

oleh Tim News diperbarui 03 Okt 2024, 18:16 WIB
Diterbitkan 03 Okt 2024, 05:50 WIB
Pengamat kebijakan publik IDP-LP Riko Noviantoro.
Pengamat kebijakan publik IDP-LP Riko Noviantoro. (Dok. Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Pengamat kebijakan publik IDP-LP Riko Noviantoro menilai, gagasan Ketua Umum Gerakan Marhaenis (GPM), Izedrik Emir Moeis untuk mengubah nama ibu kota nusantara (IKN) menjadi Soekarnopura adalah gagasan yang kurang tepat.

Menurut pria yang juga peneliti dan akademisi ini, pemilihan nama Nusantara yang disematkan pada ibu kota negara ini telah melewati sejumlah kajian akademis.

“Saya nilai ide Ketua Umum GPM itu kurang tepat ya,” tegas Riko Noviantoro dalam keterangan yang diterima, Kamis (3/10/2024).

Lebih jauh Riko menjelaskan, pemaparan nama Nusantara juga telah melewati uji publik yang memadai. Artinya banyak pihak yang terlibat dan memahami tinjauan filosofis dan historis dari penggunaan nama Nusantara.

Bukan itu saja, menurut Riko pemilihan nama Nusantara juga lebih ideal. Sebagai titik tengah dari berbagai kepentingan paternalistik. Sekaligus penamaan itu sebagai simbol dari momentum dibangunannya kawasan baru.

“Ada banyak tinjauan historis dan filosofis dari nama nusantara tersebut. Sekaligus menjadi berbagai polemik lain dari pilihan nama. Maka sudah tepat dan seimbang,” imbuhnya.

Ketum GPM Emir Moeis Usul Nama IKN Soekarnapura

Sebelumnya, Ketua Umum (Ketum) Gerakan Pemuda Marhaenis Izedrik Emir Moeis menyampaikan usulan agar pemberian nama IKN dikaitkan dengan sejarah berdirinya Negara Indonesia.

“Kita harus ingat sejarah, bahwa salah satu pendiri bangsa ini adalah Soekarno. Selain sebagai presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno adalah tokoh yang merepresentasikan persatuan dan kesatuan bangsa.” kata Emir Moeis saat memberikan sambutan dalam acara bedah buku “Inche Abdoel Moeis, Pejuang Nasionalis Tanpa Pamrih” yang digelar di Ruang Theater Lantai 3 Gedung Prof Masjaya, Universitas Mulawarman, Samarinda, Rabu (4/9/2024).

“Beliau bisa diterima semua kalangan, semua agama dan semua golongan,” tambah Emir Moeis di acara yang dihadiri ratusan mahasiswa, dosen, dan undangan tersebut.

Dalam kesempatan itu, Emir Moeis mengingatkan tentang sejarah perebutan Papua Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi. Papua, menurutnya, mengalami beberapa perubahan ibu kota sepanjang sejarahnya.

Sebelum Papua secara resmi menjadi bagian dari Indonesia, wilayah ini merupakan bagian dari Papua Nugini yang dikuasai oleh Belanda. Pada masa kolonial Belanda, ibu kota administratif di wilayah Papua adalah Hollandia.

“Nama ini digunakan selama masa penjajahan Belanda, dan kota ini menjadi pusat administratif utama di wilayah Papua saat itu. Nama Hollandia kemudian diubah menjadi Sukarnapura hingga tahun 1967. Kemudian oleh Orde Baru diubah menjadi Jayapura hingga sekarang ini,” kata Emir.

Papua Bagian Selatan

Kemudian, selama periode awal abad ke-20, wilayah Papua bagian selatan, yang dikenal sebagai Nieuw Guinea di bawah administrasi Belanda, memiliki beberapa kota administratif yang terpisah.

Jayapura, dengan lokasinya yang strategis di pesisir utara Papua, telah berkembang pesat sejak menjadi ibu kota provinsi dan kini merupakan pusat pemerintahan, ekonomi, dan budaya di Papua.

“Dari sejarah itulah, saya usul agar IKN sebagai ibu kota negara diberi nama Soekarnopura,” kata Emir Moeis yang disambut tepuk tangan meriah para hadirin. Sambutan meriah ini seolah menjadi persetujuan usulan Emir.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya