Liputan6.com, Jakarta Presiden Prabowo Subianto enggan membeberkan secara detail isi pertemuannya dengan ketua umum (ketum) partai politik (parpol) dari Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus di Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan, Sabtu (28/12/2024). Prabowo menyebut pertemuan tersebut merupakan agenda rutin.
Menurut dia, pertemuan dengan ketua umum parpol dilakukan setiap minggu. Hanya saja, Prabowo rutin melakukan kunjungan ke luar negeri dalam dua bulan terakhir.
Advertisement
Baca Juga
"Pertemuan kan sudah beberapa saat saya keliling pergi ke luar negeri. Biasanya kita seminggu sekali bertemu," kata Prabowo kepada wartawan di Indonesia Arena Jakarta, Sabtu (28/12/2024).
Advertisement
Prabowo tidak menjawab apakah pertemuan dengan para ketua umum partai politik pendukung pemerintah ini membahas soal evaluasi kenaikan PPN menjadi 12 persen. Menurutnya, pertemuan itu dalam rangka menyambut libur akhir tahun.
"Jadi (pertemuan) ini dalam rangkaian menghadapi libur dan sebagainya," ujar Prabowo Subianto.
Prabowo juga tak menjawab saat ditanya soal isu penting yang dibahas bersama ketua umum partai politik. Dia justru pura-pura membisiki wartawan, namun tak memberikan jawaban terkait isu yang dibahas.
"Yang dibahas..." ucap Prabowo sambil menghampiri dan membisiki wartawan.
Sementara itu, Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia menyampaikan para ketua umum parpol hanya berdiskusi santai dengan Prabowo. Dia menegaskan tak ada pembahasan soal PDI Perjuangan (PDIP) masuk kabinet maupun kasus Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.
"Kumpul-kumpul aja. Diskusi-diskusi biasa karena mau menjelang akhir tahun, bagaimana ke depan," tutur Bahlil.
Senada, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono juga enggan mengungkapkan isi pertemuan ketua umum parpol KIM dengan Prabowo. Dia hanya menyebut pertemuan tersebut membahas internal KIM dan masalah politik.
"Internal, internal antarketua umum,"Â ujar AHY.
Wacana Kepala Daerah Dipilih DPRD Turunkan Kepercayaan Publik pada Prabowo
Lingkaran Survei Indonesia Denny JA (LSI Denny JA) mewanti-wanti potensi merosotnya kepercayaan publik kepada Prabowo Prabowo Subianto akibat wacana kepala daerah dipilih DPRD. Sebab isu ini mendapat sentimen negatif dari publik.
Peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saidiman Ahmad, mengatakan isu kepala daerah dipilih DPRD memang merupakan gagasan yang sangat tidak populer. Dia menilai bahwa masyarakat sudah mutlak menolak wacana itu.
Menurut Saidiman, hal ini sejalan dengan penolakan publik untuk mengubah pemilihan presiden oleh MPR.
"Isu penghapusan pemilihan langsung selama ini memang merupakan gagasan yang sangat tidak populer. Mayoritas masyarakat Indonesia mutlak menolak ide pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Ini konsisten dengan penolakan publik untuk mengubah pemilihan presiden dari langsung menjadi dipilih MPR," kata Saidiman saat dihubungi, Jumat (27/12/2024).
Saidiman mengatakan, pada umumnya masyarakat Indonesia memiliki kesadaran yang sangat baik tentang hak mereka menentukan pemimpin, baik di tingkat nasional maupun lokal. Selain itu, ketidakpercayaan pada partai dan DPR/DPRD juga sangat tinggi.
"Karena itu, wajar kalau publik menolak memberi mandat pada DPRD atau DPR untuk menentukan pemimpin daerah," ucap Saidiman.
Saidiman menuturkan saat ini kepercayaan publik pada Prabowo Subianto masih sebatas pada janji-janji kampanye. Seiring waktu, publik akan lebih banyak menuntut pembuktian janji-janji tersebut.
Bila dalam beberapa bulan ke depan janji-janji kampanye Prabowo tak terbukti terlaksana atau mulai terlihat diingkari, maka bukan mustahil ketidakpercayaan publik akan meningkat.
"Dan sekarang sudah muncul beberapa isu yang bisa menurunkan kepercayaan publik tersebut, antara lain soal menghapus pemilihan langsung kepala daerah dan mengampuni koruptor," ucap Saidiman.
Belum lagi, kata Saidiman, sedang ramai isu PPN 12 persen dan pengurangan anggaran makan bergizi gratis.
"Isu lain yang bisa menurunkan kepercayaan publik pada Prabowo adalah peningkatan PPN menjadi 12 persen dan pengurangan budget program makan siang gratis dari 15 ribu per-anak menjadi 10 ribu rupiah," pungkasnya.
Advertisement
Pernyataan Prabowo soal Memaafkan Koruptor Kurangi Keseriusan Penanganan Korupsi
Direktur Eksekutif Kemitraan, Laode M Syarif berpandangan, Asta Cita soal korupsi yang disampaikan Prabowo terkesan hanya lip service semata.
"Salah satu program Asta Cita yang berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan korupsi berpotensi hanya akan menjadi lip service belaka saat Presiden menyampaikan bahwa akan memberikan maaf kepada koruptor ketika bersedia mengembalikan kerugian negara," kata Laode dalam keterangannya, Jumat (27/12/2024).
Menurut Laode, pernyataan Presiden Prabowo mengenai pemberian maaf kepada koruptor tidak sejalan dengan makna kejahatan korupsi yang dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa. Karena sifatnya yang luar biasa, maka perlu ada upaya luar biasa pula yang wajib dilakukan oleh pemerintah.
"Bila tidak, maka upaya memberikan efek jera pada koruptor semakin jauh panggang dari api. Pengampunan kepada koruptor tersebut dapat dipastikan akan semakin memperburuk kondisi perlawanan terhadap korupsi yang kini telah melemah," ungkap dia.
"Kondisi tersebut jelas juga tak menguntungkan pemerintahan Prabowo Subianto karena wabah korupsi juga mengancam program-program strategis pemerintah," sambungnya.
Laode menegaskan, dalam memberikan efek jera bagi koruptor, Pemerintah patut diduga tidak melakukannya dalam koridor yang luar biasa. Jika pemerintah serius ingin mengoptimalkan pengembalian kerugian yang diakibatkan praktik korupsi, alih-alih memberi pengampunan, pemerintah semestinya segera merealisasikan pengesahan RUU Perampasan Aset yang telah molor sejak 2012 lalu.
"RUU tersebut patut dilihat juga sebagai upaya pemulihan keuangan negara terhadap kerugian kejahatan ekonomi, termasuk korupsi. Jika aturan tersebut disahkan, maka koruptor tidak perlu lagi untuk mengembalikan kerugian negara secara sukarela. Sebab, telah ada mekanisme hukum yang ditempuh agar pengembalian kerugian negara jauh lebih optimal," ungkap dia.
Menurut Laode, pernyataan pengampunan kepada koruptor juga merupakan suatu bentuk anomali kebijakan melawan korupsi yang juga bertentangan dengan perangkat hukum yang berlaku.