Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Paulus Tannos di Singapura. Paulus adalah buron dari kasus mega korupsi Kartu Tanda Penduduk elektronik atau e-KTP.
"Benar bahwa Paulus Tannos tertangkap di Singapura dan saat ini sedang ditahan," kata Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcayanto saat dikonfirmasi, Jumat (24/1/2025).
Advertisement
Baca Juga
Fitroh menjelaskan, saat ini pihaknya sudah berkoordinasi dengan Kementerian Hukum dan Kejaksaan Agung untuk melengkapi syarat pemulangan Paulus ke Indonesia secepatnya.
Advertisement
"Secepatnya," tegas Fitroh.
Paulus Tannos berstatus buron atau masuk ke dalam daftar pencarian orang (DPO) sejak 19 Oktober 2021.
Paulus menjadi tersangka bersama tiga orang lainnya pada 13 Agustus 2019. Mereka adalah mantan Direktur Utama Perum Percetakan Negara RI (PNRI) Isnu Edhi Wijaya, anggota DPR periode 2014-2019 Miriam S Hariyani, dan mantan Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan e-KTP Husni Fahmi.
Pada 2023, KPK sempat menyatakan, tersangka kasus korupsi pengadaan e-KTP Paulus Tannos yang masuk ke dalam DPO mengubah identitas. Paulus Tannos sendiri sempat terdeteksi berada di Thailand.
Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri mengatakan Paulus Tannos mengubah paspornya di luar negeri. Namun, Ali tak menjelaskan secara rinci negara mana yang mengeluarkan paspor kepada Paulus Tannos.
"Ya betul, tentu ada paspor yang berubah dari negara lain. Tentu kami tidak bisa sebutkan saat ini, ya, negara mana yang kemudian menerbitkan paspor dari tersangka KPK yang saat ini DPO," ujar Ali soal buron kasus korupsi e-KTP di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Rabu 8 Februari 2023.
Meski identitasnya diubah, Ali menyatakan pihaknya tetap melakukan pengejaran terhadap Paulus Tannos dan buron lainnya.
Perusahaan Paulus Tannos Raup Untung Rp 145,8 Miliar dari E-KTP
Dalam sidang lanjutan perkara korupsi pengadaan kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP terungkap perusahaan yang meraup untung paling banyak dalam bancakan proyek senilai Rp 5,9 triliun. Perusahaan itu adalah PT Sandipala Artha Putra milik Paulus Tannos.
Perusahaan yang tergabung dalam Konsorsium PNRI itu, meraup laba bersih hingga Rp 145,8 miliar. Demikian diungkap Asisten Manajer PT Sandipala Artha Putra Fajri Agus Setiawan.
"Keuntungannya sekitar Rp 140 miliar lebih. Laba bersih sekitar 27 persen," ujar dia saat bersaksi untuk terdakwa Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (15/5/2017).
Nilai keuntungan yang didapat PT Sandipala Arthaputra ini, lebih banyak dari keuntungan perusahaan lain yang ikut dalam pengerjaan e-KTP.
Nilai proyek yang dikerjakan perusahaan Paulus Tannos dalam proyek ini telah dibayarkan Rp 381,24 miliar dengan tagihan yang belum diberikan sebesar Rp 115,3 miliar, ditambah potongan Rp 19,1 miliar untuk konsorsium.
Keuntungan ini berasal dari pekerjaan pembuatan blangko kosong e-KTP ditambah personalisasi kartu. "Jumlah blangko 51 juta sekian, dan personalisasi 48 juta sekian," beber dia.
Dalam sidang kali ini juga terungkap harga satuan pokok produksi yang dikeluarkan PT Sandipala Artha Putra untuk blanko kosong hanya Rp 7.548. Pada persidangan sebelumnya, Direktur Utama Perum PNRI Isnu Edhi Wijaya mengaku harga satuan produksi e-KTP Rp 12 ribu.
Belakangan dia juga baru tahu harga jual blanko yang sudah dipersonalisasi ke Kementerian Dalam Negeri mencapai Rp 16 ribu. Namun dia mengaku jumlah keuntungan yang diperoleh PT Sandipala Artha Putra masih wajar.
Ha tersebut bertentangan dengan pengakuan dari tim keuangan di perusahaan lain yang juga ikut Konsorsium PNRI. Perusahaan lain hanya mendapat laba enam sampai 15 persen.
Perum PNRI sendiri sebagai kepala Konsorsium hanya mendapat untung Rp 107 miliar, sekitar enam persen dari nilai kontrak. Sedangkan PT Sucofindo mendapat laba Rp 8 miliar.
PT LEN Industri sendiri malah merasa rugi dengan pengerjaan proyek ini. Hal tersebut dikatakan Pejabat Keungan PT LEN Industri Yani Kurniati.
"Kami minus Rp 20 miliar. PT LEN perlu menghabiskan 94 persen dari pembayaran yang nilainya Rp 958,8 miliar untuk biaya produksi," ungkap dia.
Dalam perkara ini, KPK telah menetapkan dua mantan pejabat Ditjen Dukcapil Kemendagri Irman dan Sugiharto sebagai tersangka. Irman dan Sugiharto didakwa melakukan korupsi e-KTP secara bersama-sama hingga merugikan negara Rp 2,3 triliun.
Tersangka ketiga yang ditetapkan KPK yakni Andi Agustinus alias Andi Narogong. Andi diduga sebagai otak dari bancakan proyek senilai Rp 5,9 triliun ini.
Tersangka lain yakni Miryam S Haryani, Miryam ditetapkan sebagai tersangka pemberi keterangan tidak benar dalam persidangan e-KTP dengan terdakwa Irman dan Sugiharto.
Advertisement