Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) secara resmi mengumumkan penggantian sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) menjadi Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB). Sistem ini akan diterapkan mulai tahun 2025.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu'ti, menjelaskan bahwa skema SPMB akan memiliki empat jalur penerimaan: domisili, prestasi, afirmasi, dan mutasi.
Advertisement
Baca Juga
"Kami sampaikan bahwa jalur penerimaan murid baru itu ada empat, yang pertama adalah domisili atau tempat tinggal murid, yang kedua prestasi, yang ketiga jalur afirmasi, dan yang keempat jalur mutasi," kata Abdul Mu'ti dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (30/1/2025).
Advertisement
Jalur domisili merupakan penyesuaian dari sistem zonasi yang selama ini diterapkan, dengan beberapa modifikasi sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. Jalur prestasi mencakup prestasi akademik dan non-akademik, termasuk olahraga, seni, dan kepemimpinan.
"Non-akademik ada dua, olahraga dan seni, sekarang ditambah kepemimpinan. Mereka yang aktif sebagai pengurus OSIS atau misalnya Pramuka atau yang lain-lain nanti akan menjadi pertimbangan jalur prestasi," ujarnya.
Jalur afirmasi ditujukan bagi penyandang disabilitas dan murid dari keluarga kurang mampu. Sementara itu, jalur mutasi diperuntukkan bagi murid yang orang tuanya mengalami perpindahan tugas, termasuk anak dari guru yang mengajar di sekolah tertentu.
Abdul Mu'ti menegaskan bahwa perubahan dari PPDB ke SPMB bukan sekadar pergantian nama, tetapi merupakan upaya pemerintah untuk meningkatkan layanan pendidikan bagi semua kalangan. "Rancangan ini sudah kami sampaikan kepada Bapak Presiden, dan beliau mengatakan setuju dengan substansi dari usulan kami," tuturnya.
Terkait hal itu, Pengamat pendidikan Doni Koesoema menekankan pergantian kebijakan PPDB tidak boleh hanya sekadar mengganti istilah tanpa ada perbedaan substansi yang nyata. Menurutnya, perubahan tersebut harus memberikan dampak agar dapat dirasakan oleh masyarakat.
"Pergantian kebijakan itu kan tentu bukan sekedar ganti ya. Jadi pergantian sebuah kebijakan apalagi nama kebijakannya itu diharapkan oleh masyarakat juga ada perubahan dari sisi substansinya," kata Doni kepada Liputan6.com, Jumat (31/1/2025).
Ia menilai bahwa dalam pengalaman pengambilan kebijakan di Indonesia, setiap pergantian menteri kerap membawa perubahan istilah yang terkadang tidak diiringi dengan perubahan dalam sistemnya. Oleh karenanya, ia mendorong adanya inovasi dalam perubahan kebijakan tersebut agar masyarakat mendapatkan manfaat yang nyata dalam proses PPDB yang baru ini.
"Kalau hanya seperti itu, hanya ganti nama saja tetapi substansinya tidak berubah ya sama saja kan, masyarakat tidak menemukan ada inovasi atau kebaruan di dalam proses PPDB ini," imbuhnya.
Doni memandang bahwa perubahan nama PPDB menjadi SPMB sebenarnya dapat mempermudah dalam pelaksanaan penerimaan murid baru ini. Mengingat, hal ini bisa memberi efek formalitas terhadap lembaga pendidikan.
"Penggantian nama ini memang mempermudah ya, sebenarnya sistem penerimaan murid baru kan sudah ada dulu, Sebelum PPDB ya. Jadi mungkin dari sisi penamaannya saja lebih mengutamakan dimensi relasi sekolah, guru dan siswa di sekolah formal. Karena istilah peserta didik itu untuk semua. Peserta didik itu semua yang belajar di pendidikan formal, non formal, informal. Nah kalau murid itu identiknya sekolah formal," ucapnya
"Jadi sekolah biasanya kalau misalkan di sekolah itu ya guru dan siswa atau murid. Nah mungkin ini akan lebih difokuskan ke pendidikan formal, karena seleksi yang diatur itu lebih banyak ke pendidikan formal, bukan pendidikan non formal seperti sanggar belajar atau pusat kegiatan belajar masyarakat itu tidak diatur di dalam PPDB. Maka mungkin lebih tepat ya murid karena ini semua masuk di lembaga formal," sambungnya.
Lebih lanjut, Doni juga mengakui bahwa memang ada beberapa perubahan dalam mekanisme penerimaan siswa dalam SPMB, seperti penyesuaian jalur prestasi yang kini tidak hanya mencakup bidang seni dan olahraga, tetapi juga pengalaman kepemimpinan.
"Jalur prestasi itu kan sebelumnya hanya seni dan olahraga. Yang sekarang ini bisa masuk unsur pengalaman menjadi pemimpin, ya. Jadi ketua OSIS, pemimpin OSIS, pemimpin pramuka atau dia menjadi pemimpin perhimpunan pelajar Indonesia, misalkan itu bisa. Dan saya rasa ini wajar ya dan biasanya para anak-anak muda yang jadi pemimpin itu, biasanya memang sudah punya daya juang yang bagus dan biasanya memang anak-anak yang secara akademik mampu," ungkapnya.
Adapun terkait rencana pemerintah bakal melibatkan sekolah swasta dalam sistem SPMB, Doni melihat hal tersebut merupakan upaya pembelajaran dari kebijakan serupa yang telah diterapkan di DKI Jakarta sejak 2020.
"Saya rasa kementerian belajar dari apa yang terjadi dengan daerah khusus Jakarta. Karena di daerah khusus Jakarta ini sudah sejak 2020 atau 2021 sudah menerapkan kemitraan dengan sekolah swasta. Dan ini bagus. Mengapa? Karena jumlah sekolah negeri, kuota rombongan belajar sekolah negeri itu seringkali enggak mencukupi untuk menampung para lulusan. Padahal dalam UU Daerah anak-anak di daerah itu wajib memperoleh akses pendidikan. Enggak boleh ada yang enggak sekolah, Maka bagaimana pemerintah menyediakan? Ya lewat kerja sama dengan sekolah swasta," kata Doni.
Sistem Zonasi Masih Lebih Baik?
Kemudian terkait koordinasi antara Mendikdasmen dengan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Doni menilai langkah tersebut sudah tepat. Pasalnya, dalam Undang-Undang Otonomi Daerah, pengelolaan SD dan SMP berada di tangan pemerintah kabupaten/kota, sementara SMA berada di bawah kewenangan pemerintah provinsi.
Oleh karena itu, peran Kemendagri sangat penting untuk memastikan implementasi kebijakan ini di daerah. "Mendikdasmen memang harus berkoordinasi dengan Mendagri. Supaya apa? Supaya memastikan pemerintah daerah itu melaksanakan. Karena kalau misalkan nih pemerintah daerah itu nggak melaksanakan, kan menteri nggak bisa memberi sanksi. Yang memberi sanksi kan Mendagri," ujarnya.
Doni menyoroti bahwa koordinasi semacam ini sangat diperlukan dalam sistem pemerintahan yang kompleks seperti Indonesia. Tanpa pengawasan dan sanksi yang jelas, ada kemungkinan pemerintah daerah tidak menjalankan kebijakan SPMB dengan maksimal.
"Jadi sudah benar langkah-langkah seperti itu koordinasi. Karena Indonesia ini jadi ribet gara-gara Undang-Undang Otonomi Daerah itu. Menteri hanya bisa menganjurkan, tetapi yang harus memberi sanksi, memberikan pendampingan, teguran, kalau tidak berhasil dengan baik ya Mendagrinya," pungkasnya.
Sementara itu, Pengamat Pendidikan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jejen Musfah menilai bahwa perubahan PPDB menjadi SPMB hanya bersifat nomenklatur, dan tidak membawa perubahan yang substansial.
"Ya soalnya yang saya dengar hanya berubah nomenklatur. Secara substantif, nggak ada yang berubah. Jadi kesan bahwa kementerian ini hanya mengubah bungkus tidak substantif itu benar-benar terjadi gitu. Karena memang menurut fakta di lapangan dan kajian riset, zonasi adalah tetap merupakan sebuah pilihan yang paling baik," kata Deden kepada Liputan6.com, Jumat (31/1/2025).
Deden mengungkapkan bahwa permasalahan utama dalam sistem zonasi sebenarnya berasal dari keterbatasan jumlah sekolah negeri di sejumlah daerah. Oleh karena itu, ia menekankan bahwa pemerintah seharusnya berfokus pada penyediaan sekolah, bukan justru mengubah nomenklatur kebijakan.
"Nah ketika tidak tersedia sekolah negeri yang memadai maka persentase yang itu tuh diubah gitu persentasenya. Jadi di dalam kondisi normal dimana sekolah-sekolah itu ada merata di setiap kecamatan/kabupaten, maka yang paling besar persentasenya adalah zonasi jarak rumah. Katakanlah dia dapat jatah 50% ya pakai sistem zonasi," ujarnya.
Deden pun mengaku heran adanya perubahan nomenklatur soal kebijakan PPDB tersebut. Menurutnya, hal itu tidak membawa perbedaan signifikan dalam implementasi. Ia pun mencontohkan bahwa dalam sistem zonasi, aplikasi PPDB bisa mengukur jarak secara akurat, sementara domisili berpotensi menimbulkan bias.
"Saya ada kesan secara general ya, mungkin bisa dikaitkan salah satunya dengan zonasi ini. Saya menangkap Menteri ini dan tim ya, Menteri dan jajarannya ini terlalu terburu-buru. Terlalu terburu-buru untuk mengubah satu kebijakan. Dan saya nggak tahu tujuannya apa tapi ini tidak baik dalam konteks prosedur kebijakan. Kebijakan itu sebenarnya secara normatif harus beberapa tahapan kajian mendalam agar justru tidak menghasilkan kebijakan yang lebih baik gitu," ungkapnya
Jejen menekankan bahwa sistem zonasi sebenarnya membantu siswa dari keluarga kurang mampu untuk mengakses pendidikan tanpa harus mengeluarkan biaya transportasi besar. "Oleh karena itu sebenarnya kenapa zonasi itu, saya mendukung zonasi karena siswa itu tidak keluar biaya untuk pergi ke sekolah, kalaupun keluar itu jaraknya dekat ya, artinya masih bisa ditempuh katakanlah jalan kaki atau bersepeda atau motor ya, jadi tidak terlalu jauh," jelasnya.
Menurutnya, sistem zonasi memungkinkan persentase jalur afirmasi bagi warga miskin diperbesar. "Misalnya ada dua orang siswa dengan jarak yang sama ke sekolah, tetapi yang satu miskin, yang satu mampu, maka yang miskin harus diprioritaskan. Ini bisa diterapkan secara aplikasi karena data warga miskin sudah tidak menjadi informasi privat," tambahnya.
Mengevaluasi Kebijakan Zonasi
Wakil Ketua Komisi X DPR Lalu Hadrian Irfani menyatakan, perubahan kebijakan PPDB menjadi SPMB dilakukan melalui kajian komperhensif. Menurutnya, perubahan ini dilakukan setelah mengevaluasi kebijakan sistem zonasi yang sebelumnya menuai banyak kritik.
"Jadi begini, perubahan nama menjadi SPMB itu kan melalui kajian yang komprehensif. Sejak persoalan ini ribut-ribut, ketika kami di Komisi X baru memulai bekerja, bulan November itu tepatnya, Menteri sudah dilantik, ya kami undang. Nah, yang pertama kami bahas adalah kisruh Zonasi," ujar Hadrian kepada Liputan6.com, Jumat (31/1/2025).
Dalam pertemuan tersebut, Komisi X meminta Kemendikdasmen mencari pola baru agar kisruh PPDB tidak berulang. Setelah melalui kajian dan analisis, akhirnya dirancang sistem SPMB dengan beberapa perubahan utama, termasuk penggantian istilah zonasi menjadi domisili.
"Nah, disitu ada dulu namanya zonasi, sekarang berganti nama jadi Domisili. Kalau dulu menggunakan KK, sekarang menggunakan jarak antar sekolah dengan rumah. Bagaimana caranya? Ya tentu kerja sama dengan pemerintah daerah sebagai pemilih wilayah," ungkapnya.
Hadrian menjelaskan bahwa sistem domisili dalam SPMB diterapkan melalui koordinasi dengan pemerintah daerah yang mengatur tata letak. Dengan antara jarak sekolah dan rumah peserta didik.
"Nah, kemudian ada jalur prestasi. Kalau dulu jalur prestasi itu hanya melihat nilai rapor. Sekarang jalur prestasi, selain prestasi dilihat dari rapor, prestasi non-akademik juga dilihat. Kalau dulu kan dari kesenian, dari olahraga, sekarang dilihat lagi dari prestasi organisasi. Misalnya pernah jadi pengurus OSIS, pernah jadi pengurus di Pramuka, pernah ikut Jambore Nasional, hal-hal itu yang menjadi dasar pertimbangan," imbuhnya
"Kemudian jalur afirmasi untuk penyandang disabilitas sama siswa-siswi yang kurang mampu. Itu kuotanya juga ditambah. Nah, yang terakhir jalur perpindahan orang tua yang namanya mutasi," sambungnya.
Dalam rapat dengan Kemendikdasmen, Hardian juga menekankan agar jalur domisili tidak menimbulkan permasalahan baru. Ia mendorong agar proses SPMB dilakukan dengan adil tanpa adanya kecurangan-kecurangan lagi.
"Pada prinsipnya kami di DPR ya itu aja. Kalaupun ini dilaksanakan, jangan menimbulkan masalah baru, terutama Domisili itu Mari sama-sama kita buat seadil mungkin dan serahkan kepada pemerintah daerah untuk mengatur posisi sekolah dan dengan letak rumah dari calon siswa itu," kata dia.
Komisi X, lanjut dia, akan tetap memberikan kesempatan bagi kebijakan baru ini untuk diterapkan, sembari melakukan evaluasi dan perbaikan. “Kita berikan kesempatan kalaupun masih ada kekurangan kan sambil kita jalan, sambil kita perbaiki,” ucapnya.
Kemudian terkait kelebihan dan kekurangan antara sistem zonasi dan domisili, ia mengatakan sejauh ini sebenarnya zonasi masih diterima dengan baik di beberapa daerah. “Karena dari kajian, tidak semua daerah di Indonesia ini yang keberatan dengan adanya zonasi itu. Bahkan di Jakarta ya mereka keberatan kalau zonasi dihapus. Karena dengan sistem di DKI itu zonasi sudah sangat berjalan dengan baik,” katanya.
Namun, ia juga mengakui bahwa tantangan terbesar zonasi ada di daerah dengan jumlah sekolah negeri yang terbatas. “Nah yang jadi persoalan zonasi itu ketika wilayah atau daerah itu yang kurang sekolah, kurang SMP-nya, kurang SMA-nya. Sementara kalau sekarang negara mau bangun sekolah baru juga anggaran terbatas. Nah itulah yang sedang kita pikirkan sama-sama ini,” jelasnya.
Diketahui, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti telah melakukan koordinasi dengan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian guna mematangkan implementasi Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) di berbagai daerah di Indonesia.
"Kami memang menyampaikan kepada Bapak Mendagri bahwa sehubungan dengan sistem yang sekarang kami siapkan peraturannya, ada beberapa yang memerlukan dukungan dari pemerintah daerah," ujar Mendikdasmen Abdul Mu'ti dalam konferensi pers di Jakarta, dikutip dari Antara, Jumat (31/1/2025).
Pihaknya tengah menyiapkan peraturan Mendikdasmen tentang SPMB. Menurut Mu'ti, koordinasi kali ini merupakan lanjutan dari uji publik yang telah dilakukan oleh Kemendikdasmen pada Kamis 30 Januari 2025 terkait berbagai aturan yang akan diimplementasikan.
"Intinya kami menyampaikan bahwa substansi dari SPMB sudah disetujui oleh Pak Presiden dan juga sudah kami bicarakan dengan Menko PMK, yang juga substansinya disetujui, tinggal bagaimana nanti teknis pelaksanaan dan dukungan dari Kementerian Dalam Negeri," papar dia.
Mendikdasmen Abdul Mu'ti mengatakan, dalam pertemuan itu sejumlah hal teknis dibahas, khususnya pada hal yang berkaitan dengan alokasi anggaran daerah untuk sekolah-sekolah swasta.
"Ternyata itu sudah ada di dalam Peraturan Mendagri Tahun 2023. Sehingga nanti berdasarkan itu, akan menjadi rujukan kami dalam konsiderans Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah," terang dia.
Oleh karena itu, Abdul Mu'ti mengucapkan terima kasih atas kerja sama dari Kemendagri terkait hal ini. Ia berharap implementasi SPMB dapat berjalan lancar di seluruh Indonesia.
Sementara itu, Mendagri Tito Karnavian menegaskan, koordinasi antara Kemendikdasmen dengan Kemendagri dinilai penting, lantaran urusan pendidikan dasar dan menengah menjadi tanggung jawab pemerintah daerah (pemda).
"Oleh karena itu, kebijakan seperti SPMB perlu dipahami oleh pemda selaku pelaksana kebijakan. Kemendagri juga akan mendukung kebijakan tersebut sehingga pemda dapat menjalankannya," ucap dia.
"Kami juga akan membantu untuk memonitor, mengawasi pelaksanaan kebijakan yang dibuat oleh Bapak Menteri (Mendikdasmen Abdul Mu'ti)," tutup Mendagri Tito Karnavian.
Advertisement
Apa Perbedaan SPMB dengan PPDB?
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti menjelaskan perbedaan mendasar dalam sistem domisili pada Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB), yang akan menggantikan sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) mulai 2025.
Menurut Abdul Mu'ti, tidak ada perubahan signifikan pada jenjang SD dan SMP. Namun, perbedaan utama terletak pada persentase kuota siswa dalam empat jalur penerimaan, yakni domisili, afirmasi, prestasi, dan mutasi, yang akan diterapkan dalam SPMB.
"Untuk SMA, kita akan menggunakan sistem rayon yang cakupannya lebih luas, tidak hanya sebatas kecamatan, tetapi mencakup seluruh provinsi," ujar Abdul Mu'ti.
Abdul Mu'ti menjelaskan langkah tersebut diambil agar para siswa yang tinggal di kabupaten/kota yang berbatasan dengan kabupaten/kota lainnya berkesempatan untuk dapat belajar di sekolah yang berada di kabupaten/kota tetangga yang berada dalam satu provinsi.
"Tapi dalam hal di mana mereka tinggal di provinsi yang bersebelahan dengan provinsi lain yang secara domisili lebih dekat, maka dimungkinkan mereka juga belajar di provinsi lain yang domisili memang lebih dekat," ujar Mendikdasmen.
Ia mengungkapkan pihaknya telah memiliki berbagai skenario teknis dalam pelaksanaan SPMB yang menggunakan jalur domisili ini.
Berbagai skenario tersebut, lanjutnya, juga disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian. Sehingga dalam pelaksanaan SPMB diharapkan tidak akan menimbulkan masalah.
"Karena itu dimungkinkan untuk murid yang tinggal di kabupaten yang berbatas dengan provinsi lain. Itu memang sangat dimungkinkan dan sudah kami buat skema-skemanya bagaimana akomodasi dari domisili yang mungkin lintas kabupaten, tapi juga ada yang lintas provinsi," tutur Mendikdasmen Abdul Mu'ti.
Sekolah Swasta Dilibatkan dalam SPMB, Alasannya?
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti mengemukakan alasan pelibatan sekolah swasta dalam Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) yang akan menggantikan sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) pada 2025 ini.
Mendikdasmen Abdul Mu'ti menekankan seluruh anak yang mengenyam pendidikan di sekolah swasta juga merupakan anak Indonesia.
"Jadi, jangan ada pemahaman bahwa mereka yang belajar di swasta ini tidak bagian dari anak Indonesia, dan hak mereka juga dijamin melalui Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional," ujar Mendikdasmen Abdul Mu'ti dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (31/1/2025).
Ia melanjutkan, pelibatan sekolah swasta dalam SPMB juga dilakukan dikarenakan daya tampung sekolah negeri di Indonesia terbatas.
Oleh karena itu, menurut Mu'ti, bagi anak yang tidak diterima oleh sekolah negeri dalam SPMB, maka mereka berkesempatan untuk mendapatkan pendidikannya di sekolah swasta.
"Nah, sekolah-sekolah swasta ini itu tentu saja memang sebagian ada yang biayanya lebih tinggi daripada sekolah negeri. Tapi, ada juga swasta yang biayanya juga tidak selalu lebih tinggi daripada negeri," papar dia.
Guna mengatasi hal itu, menurut Mu'ti, pihaknya juga melakukan koordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), sehingga pendidikan di sekolah swasta juga bisa dibantu. Tujuannya agar tidak membebani orang tua siswa yang anaknya belajar di sekolah swasta.
"Ternyata, tadi sudah ada Peraturan Mendagri yang menyebutkan bahwa sekolah swasta dapat dibantu oleh pemerintah. Jadi, ini bukan kebijakan sama sekali baru ternyata, dan itu sudah (dari) tahun 2023," tegas Mendikdasmen Abdul Mu'ti.
Luncurkan Aplikasi Rumah Pendidikan
Diketahui, sistem PPDB yang menerapkan mekanisme zonasi sempat mendapatkan banyak kritik dari berbagai kalangan karena dianggap tidak adil dan kurang efektif dalam mendistribusikan akses pendidikan.
Dengan adanya perubahan menuju SPMB, pemerintah optimis dapat menyelesaikan masalah tersebut dan meningkatkan mutu pendidikan di tanah air.
Lebih dari itu, perubahan ini diharapkan juga dapat memberikan peluang yang lebih besar bagi siswa-siswa berprestasi. Selain itu, penting untuk memastikan bahwa siswa dari keluarga kurang mampu dan penyandang disabilitas mendapatkan akses pendidikan yang layak.
Kemendikdasmen berkomitmen untuk terus melakukan evaluasi dan perbaikan sistem penerimaan murid baru guna mencapai tujuan tersebut.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) juga aktif melakukan sejumlah sosialisasi terkait peluncuran aplikasi Rumah Pendidikan. Aplikasi tersebut menjadi salah satu upaya pemerintah melalui Kemendikbudristek untuk menyederhanakan dan meningkatkan efisiensi sistem pendidikan di Indonesia.
Aplikasinya diperkenalkan sebagai pengganti dari berbagai platform pendidikan yang sebelumnya telah tersebar seperti salah satunya Platform Merdeka Mengajar (PMM) yang sering kali mendapatkan sorotan dari para guru.
Adapun rencana hadirnya aplikasi ini mendapatkan respons pro dan kontra dari masyarakat. Terutama bagi dunia pendidikan karena belum diketahui pasti apakah aplikasinya akan menjadi solusi bagi para guru atau menambah masalah baru.
Sementara itu, kegiatan sosialisasi aplikasi Rumah Pendidikan sudah dilakukan oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu’ti secara daring pada Selasa (14/1/2025).
Melalui sosialisasi tersebut disebutkan bahwa aplikasinya menjadi salah satu pendukung program quick win dan prioritas Presiden Prabowo Subianto. Kemudian digadang-gadang menjadi platform pemersatu yang mengintegrasikan semua aplikasi yang sudah ada.
“Rumah Pendidikan menjadi bagian dalam mendukung program quick win program prioritas dari Presiden,” ucapnya.
Platform digital ini juga diharapkan bisa memberikan pelayanan yang baik dan mengusung standar Responsif, Akuntabel, Melayani, Adaptif, dan Harmonis (RAMAH).
Delapan Fitur Utama Rumah Pendidikan
Melansir dari keterangan Kemendikdasmen, Rumah Pendidikan menjadi platform digital yang dirancang untuk memudahkan akses pendidikan secara daring. Platformnya menyatukan berbagai materi dan fitur interaktif untuk siswa dan pengajar.
Aplikasi ini mempunyai delapan ruang utama yang masing-masing untuk kebutuhan guru, sekolah, murid, orang tua, dan lainnya. Ruangan tersebut dirancang untuk mendukung pembelajaran menjadi lebih efektif, kolaboratif, dan terintegrasi antara semua pihak terkait.
Adapun berikut ini kenali delapan ruang utama dalam aplikasi digital Rumah Pendidikan:
1. Ruang GTK: untuk guru.
2. Ruang Sekolah: untuk data dan informasi sekolah.
3. Ruang Bahasa: untuk sumber belajar bahasa.
4. Ruang Murid: untuk akses materi pembelajaran dan tugas.
5. Ruang Pemerintah: untuk kebijakan dan monitoring.
6. Ruang Mitra: untuk kolaborasi.
7. Ruang Publik: untuk informasi umum.
8. Ruang Orang Tua: untuk memantau perkembangan anak.
Advertisement